Bank BII naikkan suku bunga maksimal 1%
A
A
A
Sindonews.com - PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII) menargetkan akan menaikkan suku bunga simpanan dan pinjaman maksimal 1 persen. Hal ini dilakukan demi terus berkompetisi dan mengimbangi kenaikan BI rate yang menyebabkan naiknya cost of fund perbankan.
Direktur Perbankan Ritel BNII Lani Darmawan mengatakan, di semester dua nanti perseroan tidak akan mengalami banyak gangguan di sektor ritel. Target sales hingga akhir tahun tidak akan terpengaruh, namun di sisi net interest margin (NIM) akan mengalami koreksi 5-10 persen.
"Rata-rata kenaikan suku bunga di kisaran 0,25 persen hingga maksimal 1 persen. Namun kami tetap optimistis daya beli pasar masih kuat sehingga pertumbuhan kami masih di kisaran 15 persen untuk dana pihak ketiga (DPK)," ujar Lani saat dihubungi di Jakarta, Rabu (14/8/2013).
Dia juga mengaku strategi perseroan di semester dua nanti akan memaksimalkan segmen nasabah premium dan melakukan cross selling. Hal ini dilakukan demi mengantisipasi menurunnya daya beli nasabah menengah kebawah.
Sementara itu, perseroan juga tetap yakin fee based income masih akan terus menguntungkan hingga akhir tahun. "Nasabah premium kami tidak akan terganggu secara landing dan funding. Sehingga kami bisa melakukan cross selling. Sedangkan fee base income di ritel masih akan terus menjanjikan," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Direktur BNII Dato` Khairussaleh Ramli memproyeksikan kredit korporasi perseroan akan tumbuh 18 persen pada akhir 2013, kendati semester pertama tahun ini hanya tumbuh 2 persen.
"Di semester kedua kemungkinan akan lebih bagus, prediksi akhir mungkin lebih kurang 18 persen," ujar Khairussaleh.
Menurutnya, kredit korporasi kembali tumbuh sebesar 2 persen dari Rp23,3 triliun menjadi Rp23,9 triliun setelah sempat menurun pada kuartal pertama tahun ini. Hal ini sebagai dampak penyesuaian portofolio dalam upaya mengelola risiko kredit secara proaktif.
"Kami agak membetulkan portofolio kami, yang tidak mau kami kembangkan kami kurangkan misalnya commodity trade finance kita tidak mau lagi dari segi produk, risikonya agak tinggi," ujarnya.
Sementara itu, lanjutnya, untuk sektor seperti minyak dan gas, listrik serta manufaktur dianggap cukup baik dan masih akan terus dikembangkan. Sedangkan Kredit bisnis perbankan (UKM & Komersial) sendiri mengalami pertumbuhan paling tinggi yaitu dari Rp23,5 triliun menjadi Rp30,2 triliun atau tumbuh 29 persen. Sementara untuk kredit retail meningkat 16 persen dari Rp26,7 triliun menjadi Rp31,1 triliun.
Direktur Perbankan Ritel BNII Lani Darmawan mengatakan, di semester dua nanti perseroan tidak akan mengalami banyak gangguan di sektor ritel. Target sales hingga akhir tahun tidak akan terpengaruh, namun di sisi net interest margin (NIM) akan mengalami koreksi 5-10 persen.
"Rata-rata kenaikan suku bunga di kisaran 0,25 persen hingga maksimal 1 persen. Namun kami tetap optimistis daya beli pasar masih kuat sehingga pertumbuhan kami masih di kisaran 15 persen untuk dana pihak ketiga (DPK)," ujar Lani saat dihubungi di Jakarta, Rabu (14/8/2013).
Dia juga mengaku strategi perseroan di semester dua nanti akan memaksimalkan segmen nasabah premium dan melakukan cross selling. Hal ini dilakukan demi mengantisipasi menurunnya daya beli nasabah menengah kebawah.
Sementara itu, perseroan juga tetap yakin fee based income masih akan terus menguntungkan hingga akhir tahun. "Nasabah premium kami tidak akan terganggu secara landing dan funding. Sehingga kami bisa melakukan cross selling. Sedangkan fee base income di ritel masih akan terus menjanjikan," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Direktur BNII Dato` Khairussaleh Ramli memproyeksikan kredit korporasi perseroan akan tumbuh 18 persen pada akhir 2013, kendati semester pertama tahun ini hanya tumbuh 2 persen.
"Di semester kedua kemungkinan akan lebih bagus, prediksi akhir mungkin lebih kurang 18 persen," ujar Khairussaleh.
Menurutnya, kredit korporasi kembali tumbuh sebesar 2 persen dari Rp23,3 triliun menjadi Rp23,9 triliun setelah sempat menurun pada kuartal pertama tahun ini. Hal ini sebagai dampak penyesuaian portofolio dalam upaya mengelola risiko kredit secara proaktif.
"Kami agak membetulkan portofolio kami, yang tidak mau kami kembangkan kami kurangkan misalnya commodity trade finance kita tidak mau lagi dari segi produk, risikonya agak tinggi," ujarnya.
Sementara itu, lanjutnya, untuk sektor seperti minyak dan gas, listrik serta manufaktur dianggap cukup baik dan masih akan terus dikembangkan. Sedangkan Kredit bisnis perbankan (UKM & Komersial) sendiri mengalami pertumbuhan paling tinggi yaitu dari Rp23,5 triliun menjadi Rp30,2 triliun atau tumbuh 29 persen. Sementara untuk kredit retail meningkat 16 persen dari Rp26,7 triliun menjadi Rp31,1 triliun.
(gpr)