Mudahnya valuasi obligasi

Minggu, 18 Agustus 2013 - 13:30 WIB
Mudahnya valuasi obligasi
Mudahnya valuasi obligasi
A A A
Sindonews.com - Setelah mengukir rekor terendah dalam dua tahun terakhir yaitu 3,9 persen dan 4,3 persen pada 2011 dan 2012, inflasi tahun ini akan kembali membubung tinggi meskipun lebih rendah dari pada 2005 dan 2008 yang masing-masing menembus 17 persen dan 11 persen.

Dampak langsung dari melesatnya inflasi ini adalah bank sentral menaikkan bunga acuannya dari terendah sepanjang sejarah sebelumnya yaitu 5,75 persen menjadi 6 persen dan 6,5 persen. Dalam beberapa bulan ke depan sangat mungkin Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan bunga bebas risiko ini menuju 7 persen.

Pada saat yang sama, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menaikkan suku bunga penjaminannya dari 5,5 persen menjadi 5,75 persen dan terakhir 6,25 persen untuk bank umum. Sementara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menjadi 8,25 persen. Pelan tetapi pasti kita akan menyaksikan bank-bank komersial akan mengikuti kebijakan bank sentral untuk bunga tabungan, deposito, dan kreditnya.

Efek fisher

BI perlu menaikkan suku bunganya agar rupiah tidak kehilangan daya tariknya di mata pemilik dana. Ini sesuai apa yang dikatakan Fisher bahwa suku bunga nominal mesti di atas inflasi yang terjadi agar pemegang uang masih memperoleh kenaikan daya beli atau suku bunga riil. Maksudnya adalah penabung, deposan, dan pemegang obligasi yang mendapatkan bunga bersih 7 persen saat inflasi hanya 5 persen akan memperoleh bunga riil sebesar 2 persen.

Namun, jika inflasi ternyata 8 persen, mereka akan mengalami penurunan daya beli sebesar 1 persen. Inilah sebabnya investor lihai yang sangat peduli dengan bunga atau return riil umumnya tidak menyukai deposito. Mereka akan mencari alternatif investasi lain seperti saham, tanah, properti, reksa dana saham, atau reksa dana campuran yang dapat memberikan return jauh di atas inflasi. Kenaikan bunga BI sebesar 0,75 persen masih relatif rendah jika dibandingkan dengan kenaikan yield obligasi yang terjadi belakangan ini.

Mengikuti kenaikan inflasi yang diprediksi akan sebesar 3,5 persen, dari 4,3 persen tahun lalu menjadi 7,8 persen tahun ini, yield obligasi acuan pemerintah juga naik sekitar angka itu. Yield obligasi acuan bertenor lima tahun mengalami kenaikan yield yang hampir sama yaitu dari 4,5 persen pada 8 Januari lalu menjadi 7,6 persen pada pertengahan bulan lalu. Sementara obligasi 10 tahun RI naik dari terendah 5,1 persen pada Januari lalu menjadi 8,3 persen pada Juli kemarin dan yield obligasi 20 tahun menjadi 8,4 persen.

Harga obligasi turun

Kenaikan signifikan yield ini membuat harga obligasi berbunga tetap terjun bebas dalam enam bulan terakhir. Obligasi pemerintah RI yang bertenor lima tahun (FR 0066) turun dari 103,3 menjadi 91,0, yang bertenor 10 tahun (FR 0063) dari 104,5 menjadi 83,7, yang bertenor 15 tahun (FR 0064) juga bernasib sama yaitu dari 104 menjadi 80,3, dan dari 106,4 menjadi 81,0 untuk obligasi RI bertenor 20 tahun (FR 0065).

Semakin lama tenor dan semakin besar kenaikan yield, semakin rendah harga pasar obligasi atau semakin besar penurunan harga yang terjadi. Tentang kemungkinan terjadi koreksi harga ini, sebagai penasihat investasi, sejak Januari lalu saya sudah memprediksi dan mengingatkan investor obligasi yang umumnya adalah investor institusi mengenai datangnya masa koreksi ini dalam waktu dekat.

Memprediksi harga obligasi ke depan tidak lain adalah memprediksi yield obligasi yang akan bergerak mengikuti inflasi dan ekspektasi inflasi. Tidak seperti valuasi saham yang sulit, valuasi obligasi jauh lebih mudah. Berikut alasannya. Pertama, tidak seperti saham yang tidak memiliki tenor, obligasi mempunyai tanggal jatuh tempo. Kedua, jika besaran dividen tidak pasti dan tidak mudah diprediksi karena tergantung laba bersih perusahaan dan kebijakan dividen yang diambil, kupon obligasi angkanya pasti.

Ketiga, jika dividen bukan kewajiban untuk emiten dan bergantung apakah perusahaan memperoleh laba atau tidak serta keputusan RUPS, kupon obligasi wajib dibayarkan perusahaan yang mengeluarkan. Keempat, jika valuasi saham mengenal belasan model, untuk valuasi obligasi hanya ada satu model.

Hubungan terbalik harga dan yield

Dalam valuasi obligasi, kita memerlukan empat variabel yaitu kupon (dan periode pembayarannya yang biasanya enam bulanan), tanggal jatuh tempo, nilai nominal yang biasanya diasumsikan 100 persen atau 100, dan yield yang diinginkan investor. Tiga dari empat variabel itu diberikan untuk setiap obligasi. Karena itu, hanya yield yang berubah dari waktu ke waktu sesuai ekspektasi inflasi.

Kenyataannya, yield yang diinginkan investor untuk obligasi yang sama tidak banyak bervariasi antara satu investor dan investor lainnya karena didasarkan atas acuan yang sama yaitu ekspektasi inflasi dan rating. Implikasinya, valuasi obligasi akan konvergen ke satu nilai tertentu dan transaksi obligasi pun menjadi sepi, monoton, dan tidak likuid. Mereka yang membeli obligasi karena kelebihan likuiditas dan yang menjual karena sedang membutuhkan likuiditas.

Memahami hanya ada satu model valuasi dengan faktor penentu yield yang bergerak mengikuti inflasi, strategi berinvestasi dalam obligasi pun menjadi mudah. Belilah obligasi, terutama yang bertenor panjang, saat inflasi tinggi dan diprediksi akan turun, serta juallah obligasi saat inflasi diprediksi akan melesat. Intinya, dalam valuasi obligasi, selama kita mampu memperkirakan inflasi beberapa bulan hingga satu tahun ke depan dengan tepat, memprediksi pergerakan harga obligasi pun menjadi mudah. Harga obligasi berbanding terbalik dengan inflasi.

Berdasarkan teori sederhana ini, saya beberapa kali memburu obligasi saat inflasi sedang tinggi atau sentimen investor sedang negatif dan selalu mendapatkan capital gain belasan hingga 44 persen dalam hitungan beberapa bulan. Saya pernah beberapa kali memegang obligasi sejak 2006 dan tidak pernah gagal dalam memprediksi pergerakan harganya.


BUDI FRENSIDY
Perencana Keuangan & Penulis Buku “Cerdas Menghadapi Trik Bank” dan “Lihai Sebagai Investor”
@BudiFrensidy
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1333 seconds (0.1#10.140)