Ratifikasi FCTC menafikan kepentingan industri
A
A
A
Sindonews.com - Peneliti Indonesia for Global Justice Salamuddin Daeng menjelaskan, proyek global anti tembakau telah muncul sejak awal tahun 1990-an dan menjadi agenda resmi organisasi kesehatan dunia WHO yang meluncurkan proyek prakarsa bebas tebakau 1998.
Dia menjelaskan, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO masuk ke dalam hukum nasional negara melalui ratifikasi menjadi UU dan menyusup ke dalam UU sektoral di banyak negara. Proyek anti tembakau sebagian besar dibiayai oleh perusahaan farmasi multinasional seperti Pharmacia & upjhon, Novartis, Glaxo wellcome yang sangat aktif mendani WHO melalui proyek prakarsa bebas tembakau.
"Proyek ini memperoleh dukungan dari badan-badan dunia lainnya seperti IMF, World Bank, badan-badan dibawah PBB lainnya, LSM bloomberg Initiatives dan kalangan universitas," ungkap Salamudin Daeng dalam siaran persnya, Selasa (1/10/2013).
Dia mengingatkan, bagi perusahaan multinasional atau pemerintahan negara-negara maju, adopsi atau ratifikasi FCTC tidak akan banyak membawa pengaruh terhadap ekspansi bisnis, mengingat perusahaan multinasional dan negara-negara maju memiliki instrument perlindungan Internasional yang lain yang mungkin dapat digunakan secara efektif untuk mendukung operasi mereka secara internasional, regional.
Kedua instrument tersebut yakni Bilateral Investment Treaty (BIT) dan Perjanjian perdagangan bebas World Trade Organization (WTO) atau Free Trade Agreement (FTA).
Sebelumnya, Menkes Nafsiah Mboi mengatakan, keberatan sejumlah lembaga dan juga Kementerian antara lain Kemenperin dan Menakertrans terkait rencana ratifikasi rokok tidak beralasan dan tidak masuk akal. Termasuk juga argumentasi cukai. Menkes ngotot meratifikasi FCTC semata dengan argumentasi kesehatan dan menafikan kepentingan industri.
Dia menjelaskan, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO masuk ke dalam hukum nasional negara melalui ratifikasi menjadi UU dan menyusup ke dalam UU sektoral di banyak negara. Proyek anti tembakau sebagian besar dibiayai oleh perusahaan farmasi multinasional seperti Pharmacia & upjhon, Novartis, Glaxo wellcome yang sangat aktif mendani WHO melalui proyek prakarsa bebas tembakau.
"Proyek ini memperoleh dukungan dari badan-badan dunia lainnya seperti IMF, World Bank, badan-badan dibawah PBB lainnya, LSM bloomberg Initiatives dan kalangan universitas," ungkap Salamudin Daeng dalam siaran persnya, Selasa (1/10/2013).
Dia mengingatkan, bagi perusahaan multinasional atau pemerintahan negara-negara maju, adopsi atau ratifikasi FCTC tidak akan banyak membawa pengaruh terhadap ekspansi bisnis, mengingat perusahaan multinasional dan negara-negara maju memiliki instrument perlindungan Internasional yang lain yang mungkin dapat digunakan secara efektif untuk mendukung operasi mereka secara internasional, regional.
Kedua instrument tersebut yakni Bilateral Investment Treaty (BIT) dan Perjanjian perdagangan bebas World Trade Organization (WTO) atau Free Trade Agreement (FTA).
Sebelumnya, Menkes Nafsiah Mboi mengatakan, keberatan sejumlah lembaga dan juga Kementerian antara lain Kemenperin dan Menakertrans terkait rencana ratifikasi rokok tidak beralasan dan tidak masuk akal. Termasuk juga argumentasi cukai. Menkes ngotot meratifikasi FCTC semata dengan argumentasi kesehatan dan menafikan kepentingan industri.
(gpr)