BHP penomeran rentan di-judicial review
A
A
A
Sindonews.com - Adanya klausul biaya hak penggunaan (BHP) penomeran dinilai justru membuat wibawa UU Telekomunikasi yang baru akan runtuh. Karena dinilai minim aspirasi, aturan ini berpotensi dimohonkan uji materi (judicial review) oleh para pengusaha.
"Munculnya biaya penomeran membuat aturan ini lebih buruk dari undang-undang telekomunikasi yang lama, sangat debatable dan bisa di-judicial review," ungkap Sekjen Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Sapto Anggoro dalam keterangan persnya, Jumat (1/11/2013).
Kemungkinan wacana judicial review muncul setelah APJII rapat dengan sejumlah anggotanya dan pelaku usaha lain. Para pengusaha berpendapat, semestinya, ada klausul yang melibatkan pengusaha dalam pelaksanaan proyek yang berasal dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Selama ini pemerintah jalan sendiri, misalnya ketika menggelar proyek dari pungutan Universal Service Obligation (USO), karena tanpa pengawasan ujungnya tidak sesuai yang industri harapkan," tambah Sapto.
Ia mengatakan, APJII konsiten menolak pungutan telekomunikasi yang tidak jelas. Selain BHP penomeran, APJII juga menolak BHP Jasa Telekomunikasi terhadap pengusaha internet service provider (ISP) karena dinilai memberatkan industri.
Menurut Sapto, karena banyaknya penolakan semestinya RUU Telekomunikasi tidak disahkan. Pemerintah jangan terkesan mengejar target tanpa memperhitungkan perlindungan terhadap hak-hak pelaku usaha. "Kalau hanya mengejar target, pasti dampaknya akan buruk," ungkapnya.
Senada dengan Sapto, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) juga menolak aturan BHP penomeran. Pasalnya, aturan ini hanya mengatur kewajiban sedangkan operator tidak mendapatkan pembinaan dari pemerintah.
“Kalau operator membayar berarti negara punya kewajiban untuk membina, lah itu membina apa? Kalau tujuannya tidak jelas saya rasa kebijakan ini tidak pada tempatnya,” ungkap Ketua Umum Mastel, Setyanto P Santosa.
Sekedar informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas RUU Telekomunikasi menggantikan UU Nomor 36 tahun 1999. Dalam RUU Tersebut mengatur adanya kewajiban dari seluruh operator seluler untuk menerapkan BHP penomeran.
Sebelum sampai ke tangan DPR, RUU tersebut diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan targetnya disahkan 2014. Pemerintah beranggapan, BHP penomeran perlu karena jumlah nomor digit kartu telepon pelanggan seluler adalah sumber daya terbatas.
"Munculnya biaya penomeran membuat aturan ini lebih buruk dari undang-undang telekomunikasi yang lama, sangat debatable dan bisa di-judicial review," ungkap Sekjen Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Sapto Anggoro dalam keterangan persnya, Jumat (1/11/2013).
Kemungkinan wacana judicial review muncul setelah APJII rapat dengan sejumlah anggotanya dan pelaku usaha lain. Para pengusaha berpendapat, semestinya, ada klausul yang melibatkan pengusaha dalam pelaksanaan proyek yang berasal dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Selama ini pemerintah jalan sendiri, misalnya ketika menggelar proyek dari pungutan Universal Service Obligation (USO), karena tanpa pengawasan ujungnya tidak sesuai yang industri harapkan," tambah Sapto.
Ia mengatakan, APJII konsiten menolak pungutan telekomunikasi yang tidak jelas. Selain BHP penomeran, APJII juga menolak BHP Jasa Telekomunikasi terhadap pengusaha internet service provider (ISP) karena dinilai memberatkan industri.
Menurut Sapto, karena banyaknya penolakan semestinya RUU Telekomunikasi tidak disahkan. Pemerintah jangan terkesan mengejar target tanpa memperhitungkan perlindungan terhadap hak-hak pelaku usaha. "Kalau hanya mengejar target, pasti dampaknya akan buruk," ungkapnya.
Senada dengan Sapto, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) juga menolak aturan BHP penomeran. Pasalnya, aturan ini hanya mengatur kewajiban sedangkan operator tidak mendapatkan pembinaan dari pemerintah.
“Kalau operator membayar berarti negara punya kewajiban untuk membina, lah itu membina apa? Kalau tujuannya tidak jelas saya rasa kebijakan ini tidak pada tempatnya,” ungkap Ketua Umum Mastel, Setyanto P Santosa.
Sekedar informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas RUU Telekomunikasi menggantikan UU Nomor 36 tahun 1999. Dalam RUU Tersebut mengatur adanya kewajiban dari seluruh operator seluler untuk menerapkan BHP penomeran.
Sebelum sampai ke tangan DPR, RUU tersebut diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan targetnya disahkan 2014. Pemerintah beranggapan, BHP penomeran perlu karena jumlah nomor digit kartu telepon pelanggan seluler adalah sumber daya terbatas.
(gpr)