STP turunkan risiko kegagalan transaksi PME
A
A
A
Sindonews.com - Direktur Utama Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) Hasan Fawzi mencatatkan adanya penurunan frekuensi dan volume transaksi fasilitas Pinjam Meminjam Efek (PME) setelah diberlakukannya sistem penyelesaian transaksi dengan konsep straight to the processing (STP).
Menurut Hasan, dengan adanya sistem ini, penyelesaian transaksi dapat menjangkau hingga ke level nasabah, yakni ke level single investor identification (SID), sehingga penyertaan efek tidak lagi dilakukan di rekening Anggota Bursa (AB).
Artinya, dia menjelaskan, penurunan tersebut memberi konsekuensi positif berupa penurunan risiko kegagalan dalam hal penyelesaian pengembalian efek yang ditransaksikan dalam proses PME.
"Tapi, jangan lihat itu sebagai hal yang menyedihkan. Penurunan itu justru menurunkan resiko kegagalan penyelesaian penyerahan efek, sehingga hal ini harus dilihat sebagai strategi investasi baru," tutur Hasan di Studio 8 RCTI, Jakarta, Senin (9/12/2013) malam.
Lebih lanjut dia memaparkan, kondisi demikian tentu akan memberi dampak positif bagi pasar modal di Tanah Air. Ambil contoh ketika bursa lokal diguncang oleh sentimen global beberapa waktu lalu, pada saat itu biasanya resiko gagal penyerahan efek ke nasabah meningkat.
"Tapi, dengan diberlakukannya STP, resiko itu bisa ditekan karena STP juga membuat otoritas bursa menjadi lebih mudah dalam pemenuhan kewajiban penyerahan efek dari tingkat terendah, yaitu level nasabah," ujar dia.
Data KPEI menunjukkan, hingga kuartal III/2013, nilai transaksi fasilitas PME hanya Rp292,74 miliar. Padahal sembilan bulan pertama tahun 2012, nilai transaksi PME mencapai Rp602,31 miliar.
Frekuensi dan volume transaksi juga mengalami penurunan. Hingga kuartal III/2013, frekuensi transaksi PME terjadi 527 kali dengan volume 125,01 juta. Sedangkan, pada periode Januari-September 2012, frekuensi transaksi mencapai 933 kali dengan volume sebesar 159,21 juta.
Menurut Hasan, dengan adanya sistem ini, penyelesaian transaksi dapat menjangkau hingga ke level nasabah, yakni ke level single investor identification (SID), sehingga penyertaan efek tidak lagi dilakukan di rekening Anggota Bursa (AB).
Artinya, dia menjelaskan, penurunan tersebut memberi konsekuensi positif berupa penurunan risiko kegagalan dalam hal penyelesaian pengembalian efek yang ditransaksikan dalam proses PME.
"Tapi, jangan lihat itu sebagai hal yang menyedihkan. Penurunan itu justru menurunkan resiko kegagalan penyelesaian penyerahan efek, sehingga hal ini harus dilihat sebagai strategi investasi baru," tutur Hasan di Studio 8 RCTI, Jakarta, Senin (9/12/2013) malam.
Lebih lanjut dia memaparkan, kondisi demikian tentu akan memberi dampak positif bagi pasar modal di Tanah Air. Ambil contoh ketika bursa lokal diguncang oleh sentimen global beberapa waktu lalu, pada saat itu biasanya resiko gagal penyerahan efek ke nasabah meningkat.
"Tapi, dengan diberlakukannya STP, resiko itu bisa ditekan karena STP juga membuat otoritas bursa menjadi lebih mudah dalam pemenuhan kewajiban penyerahan efek dari tingkat terendah, yaitu level nasabah," ujar dia.
Data KPEI menunjukkan, hingga kuartal III/2013, nilai transaksi fasilitas PME hanya Rp292,74 miliar. Padahal sembilan bulan pertama tahun 2012, nilai transaksi PME mencapai Rp602,31 miliar.
Frekuensi dan volume transaksi juga mengalami penurunan. Hingga kuartal III/2013, frekuensi transaksi PME terjadi 527 kali dengan volume 125,01 juta. Sedangkan, pada periode Januari-September 2012, frekuensi transaksi mencapai 933 kali dengan volume sebesar 159,21 juta.
(rna)