Ekonomi RI 2014 akan seperti 2004 dan 2009

Selasa, 17 Desember 2013 - 20:11 WIB
Ekonomi RI 2014 akan...
Ekonomi RI 2014 akan seperti 2004 dan 2009
A A A
PEMERINTAH tetap optimis bahwa ekonomi Indonesia akan mampu tumbuh meski berbagai kalangan ekonom dan lembaga internasional memproyeksikan perekonomian Indonesia akan mengalami perlambatan pada tahun politik 2014.

Dana Moneter Internasional (International Moneter Fund/IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (Asian Depelopment Bank/ADB), pada Juni 2013, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 6,2-6,6 persen. Namun, pada Okteber lalu terjadi revisi ke bawah 5,5-5,8 persen.

World Bank atau Bank Dunia memprediksi pertumbuhan PDB ekonomi Indonesia pada 2014 hanya akan berada dalam kisaran angka 5,3 persen atau turun dari 5,6 persen pada 2013.

Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop beralasan, melambatnya pertumbuhan ekonomi ini diakibatkan menurunnya investasi di bidang manufaktur dan mesin yang hanya tumbuh 4,5 persen.

"Tetapi angka tersebut masih cukup solid dan Indonesia masih menjadi negara investasi yang sangat menarik," ujar Diop di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Senin 16 Desember 2013.

Diop menambahkan, defisit neraca berjalan pada 2014 dari sebelumnya USD31 miliar menjadi USD23 miliar atau 2,6 persen dari PDB yang disebabkan melemahnya impor dan permintaan ekspor yang meningkat.

Menanggapi proyeksi lembaga tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa tidak sepakat dengan pernyataan Bank Dunia yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 hanya 5,3 persen.

Dia mengaku tetap optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan akan mencapai range 5,6 persen sampai 5,8 persen dengan asumsi perekonomian dunia akan lebih baik.

"Menurut saya, pertumbuhan tahun ini cukup baik di situasi sekarang. Kalau kita lihat ekonomi dunia relatif sedikit lebih baik tahun depan dibanding 2013, mestinya kita tak lebih buruk dari pada 2013," ujar Hatta di kantornya, Jakarta, Selasa (17/12/2013).

Hatta mengingatkan agar defisit neraca berjalan tetap dijaga dan diwaspadai karena menyangkut sentimen pasar terhadap perekonomian Indonesia. "Ini sebabnya kita gulirkan paket kebijakan dalam rangka memperbaiki persepsi pasar terhadap rupiah kita," ujarnya.

Dia juga menjelaskan, walaupun tidak mematok pertumbuhan ekonomi relatif tinggi pada 2014, namun pertumbuhan tidak boleh dipatok terlalu rendah.

Sementara Staff Ahli Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmansyah menilai, faktor dari luar seperti membaiknya ekonomi Amerika Serikat (AS) bisa menjadi alasan bagi Reserve Federal (The Fed) untuk segera menarik stimulus moneter (tapering off), yang dikhawatirkan dapat memicu gejolak di pasar keuangan berupa capital outflow. Sementara situasi di dalam negeri juga memasuki era Pemilu 2014, yang dapat mempengaruhi perkembangan perekonomian.

"Terlepas dari itu semua, tak ada yang tahu secara pasti kondisi perekonomian tahun depan. Ada peluang terbentang, ada juga tantangan yang menghadang. Tinggal bagaimana menjawab tantangan itu semua agar perekonomian nasional bisa tumbuh sesuai harapan," ujarnya di acara Roundtable Discussion "Tantangan Dunia Bisnis di Tahun Politik 2014" yang digelar Koran Sindo di Gedung Sindo, Jl Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (17/12/2013).

Firmansyah optimis ekonomi Indonesia mampu tumbuh di 2014 lantaran kondisi ekonomi 2013 mirip dengan gejala 2008, setahun menjelang Pemilu 2009 yang juga terjadi guncangan ekonomi. Namun terbukti Indonesia mampu melewatinya dengan baik.

"Gejala yang terjadi saat ini sama persis dengan 2008 setahun sebelum Pemilu 2009, hanya defisit transaksi berjalannya saja yang berbeda. Namun saya optimis kita mampu melewatinya dengan baik," yakinnya.

Di kesempatan yang sama, Kepala Riset MNC Securities, Edwin Sebayang justru menyamakan situasi 2014 akan seperti keadaan tahun Pemilu 2004 dimana calon presiden belum bisa diprediksi kalangan pelaku ekonomi.

"Di 2009, pasar yakin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan terpilih lagi. Kita melihatnya tidak ada saingan berarti bagi SBY saat itu. Sehingga, pasar bisa menentukan sikap waktu itu. Namun pada 2004, pasar sama sekali tidak bisa memprediksi siapa yang akan jadi pemimpin, sehingga situasi pasar sangat mudah terpengaruh berbagai isu yang ada," jelas Edwin.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7548 seconds (0.1#10.140)