Harapan IHSG bangkit di tahun depan

Rabu, 25 Desember 2013 - 14:54 WIB
Harapan IHSG bangkit...
Harapan IHSG bangkit di tahun depan
A A A
SETELAH babak belur dihantam badai bertubi-tubi hampir sepanjang tahun 2013, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana nasib Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun 2014 mendatang?

Kepada Sindonews, Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada mengatakan, sentimen yang datang dari rencana Federal Reserve System (the Fed) untuk mengurangi stimulus ekonomi yang diberi nama tapering off masih akan cukup dominan mewarnai pasar Tanah Air pada tahun depan.

"The Fed menciptakan bencana gelembung finansial lewat kebijakan setimulus yang diberi nama quantitive easing (QE) dan As sedang menuju tubrukan keuangan seperti ketika pasar properti kolaps enam tahun lalu," kata Reza menirukan pernyataan Mantan Kepala Federal Deposit Insurance Corp Sheila Bair.

Bahkan, pasca meeting FOMC terakhir di 2013, the Fed dihadapkan pada masalah lain, yakni dimulainya tapering off stimulus secara bertahap pasca pergantian kepeminpinan dari Ben Bernanke ke Jennet Yellen. Kemungkinan tapering off akan mulai diberlakukan secara bertahap pada 2014.

Di belahan dunia lainnya, tampak kondisi ekonomi tidak begitu menghawatirkan. Tengok saja China, perlambatan pertumbuhan China sebenarnya mulai berkurang meski belum terinfeksiksi secara signifikan.

"Pengetatan moneter dan kondisi menufaktur China masih menjadi perhatian dengan pertumbuhan moderat," kata Reza.

Sayang hal tersebut tidak terlihat di negara kawasan lainnya. India misalnya yang masih berkutat dengan restrukturisasi ekonomi untuk mengatasi perlambatan. Sementara, Jepang masih akan berkutat pada upaya melanjutkan stimulus dan tingkat bunga rendah.

"Diharapkan ketegangan China-Jepang dan Korsel-Korut dapat terselesaikan untuk menopang growth ekonomi kawasan. Kerja sama antara kawasan di Asia akan memperkuat pertumbuhan masing-masing negara," terang Reza.

Di tengah dinamika tersebut, lantas bagaimana dengan tantangan IHSG yang datang dari dalam negeri?

Tahun 2014 dinilai sebagai tahun politik yang membuat pemerintah harus berpikir banyak dalam mengambil keputusan kebijakan fiskal terutama soal subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan distribusinya.

Upah Minimum Provinsi (UMP) dan inflasi masih menjadi ganjalan dan dilema yang akan memberatkan pengusaha, sehingga akan menaikkan biaya produksi. Hal ini menjadikan pengusaha tidak efisien dan akhirnya akan sulit bersaing.

"Persaingan bisnis akan semakin ketat, kinerja emiten kemungkinan akan sedikit berkurang dengan adanya pengetatan, namun masih mengindikasikan adanya pertumbuhan yang positif," ujar dia.

Sementara laju pertumbuhan kredit diperkirakan masih akan melambat karena imbas kenaikan BI Rate dan adanya penyesuaian kenaikan suku bunga perbankan 2014. Level BI Rate masih berpotensi mengalami kenaikan 25-50 basis poin walau diharapkan stabil di level saat ini.

Adapun laju IHSG sepanjang tahun ini sempat bergerak liar. IHSG sempat menyentuh level terendah di 3.967,84 pada 27 Agustus 2013 dan tertinggi pada 5214,98 pada 20 Mei 2013. Sementara pada tahun depan, IHSG diprediksi kembali bangkit.

Kepala Deputy Equity Research PT Mandiri Sekuritas Tjandra Lienandjaja berharap, IHSG pada 2014 akan lebih stabil, bahkan menguat setelah the Fed memutuskan melakukan tapering off mulai Januari 2014. Dia memperediksi, IHSG bisa menuju ke level 4.800.

Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang memprediksi, laju IHSG pada 2014 akan terus melemah hingga pemilu berakhir. Hal itu terimbas sentimen dari Amerika Serikat(AS) dan Eropa serta pengaruh dalam negeri, yaitu current account deficit (defisit transaksi berjalan), nilai tukar rupiah dan tahun politik.

"Pemilu 2014 memiliki pola yang sama dengan pemilu 2004 yang tidak bisa dipastikan siapa majority party-nya dan siapa presidennya, sehingga akan terjadi fluktuasi di bulan April, Mei dan Juli," ujar dia.

Namun setelah bulan Juli, Edwin memperkirakan, pasar saham akan bergerak naik. Jika memakai skenario konservatif, dia memprediksi, inflasi tahun depan sebesar 5 persen, current account decisit 2,6-2,7 persen dan IHSG dalam kisaran 4.735an.

Sementara itu, nilai tukar rupiah pada tahun depan diprediksi masih akan mengalami gejolak, sehingga Bank Indonesia diperkirakan akan kembali menaikkan BI Rate menjadi 8 persen.

Edwin memperkirakan, nilai tukar rupiah terhadap USD pada 2014 berada dalam kisaran Rp10.500-12.200 per USD. Sementara posisi rupiah berdasarkan data Bloomberg pada Selasa (24/12/2013) pada level Rp12.201 per USD. Posisi ini terdepresiasi 6 poin dibanding penutupan Senin (23/12/2013) di level Rp12.195 per USD.

Adapun laju rupiah sepanjang tahun ini terimbas isu tapering off. Rupiah yang sebelumnya anteng di kisaran Rp9.000 per USD, hari ini sudah menyentuh level menghawatirkan Rp12.000 dan terus melemah.

Infus berupa paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, kenaikan BI Rate hingga 7,5 persen serta sejumlah langkah lainnya, nyatanya tak cukup manjur untuk menghalau laju pelemahannya lantaran jumlah USD yang beredar kian menipis.

“Yang terjadi sebenarnya bukan karena dolarnya langka, tapi pemilik dolar yang tidak mau melepas dolar yang mereka pegang karena khawatir rupiah masih akan melemah. Jadi, ini lebih soal psikologi pasar,” terang Edwin.

Sektor layak koleksi


Dengan kondisi yang makin sulit ditebak, Head of Research Asia Financial Network (AFN) Rowena Suryobroto menyarankan para investor harus lebih cermat dalam memilih portofolio investasinya.

Rowena memperoyeksikan bahwa saham-saham energi dan lapis kedua adalah saham-saham yang patut dicermati untuk investor di 2014, dimana saham-saham itu berpotensi mendorong pasar modal di tahun depan. Menurut dia, saham-saham energi perlu mulai dikoleksi dengan holding period jangka panjang karena selama tiga tahun terkhir ini sudah terdiskon lebih dari 50 persen dan telah berada di bawah harga wajar.

"Penurunan ini sudah memasukkan faktor-faktor tekanan harga komoditi serta berbagai kebijakan dalam negeri dan luar negeri. Namun yang patut dicatat bahwa aset tambang yang dimiliki perusahaan-perusahaan ini tetap bernilai tinggi," ujar dia.

Nantinya, dia menambahkan, perbaikan harga komoditi serta strategi yang diambil oleh perusahaan-perusahaan tersebut akan menjadi pendorong nilai tambah bagi investor.

Di samping itu, saham-saham energi ini juga akan terdongkrak ketika permintaan energi meningkat di negara-negara, seperti India dan China. Dari dalam negeri, kebutuhan batu bara untuk penyediaan listrik nasional akan meningkat. Perusahaan Listrik Negara (PLN) memperkirakan kebutuhan batu bara tumbuh 15,83 persen menjadi 78,6 juta ton pada 2014.

"Maka, perusahaan energi atau pertambangan akan bangkit dan tumbuh ke depannya," kata Rowena.

Lebih lanjut Rowena mengungkapkan bahwa saham-saham yang diekspektasi akan reli di pasar saham adalah saham-saham lapis kedua dan ketiga. Pasalnya, saham-saham tersebut mengambil peranan penting dan patut dilirik oleh investor.

Sementara dia mencatat, selama tiga tahun ke belakang, indeks pertumbuhan saham-saham LQ45 telah menjadi semakin terbatas atau hanya tumbuh 8 persen. Bahkan di tahun 2013, indeks harga LQ45 minus 2,9 persen.

"Secara fundamental, banyak saham-saham lapis kedua dan ketiga sebenarnya baik, namun belum terekspos secara optimal kepada sebagian besar investor," tutur dia.

Dia menjelaskan, saham-saham lapis kedua dan ketiga menjadi alternatif pilihan yang menarik. Banyak dari mereka telah memiliki fundamental yang bagus, hanya tidak terinformasi dengan baik. Menurut dia, performa beberapa saham secara historical layak untuk direkomendasikan.

Berdasarkan analisa kinerja atas lima emiten pertambangan, seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Bayan Resources Tbk (BYAN), PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Vale Indonesia (INCO), Rowena menyampaikan, hampir semua emiten kecuali PTBA membukukan pertumbuhan kinerja pendapatan yang lebih tinggi di kuartal III/2013 dibanding kuartal I dan II/2013.

Hal tersebut membuktikan bahwa di sektor rill, perusahaan-perusahaan pertambangan telah mulai menemukan celah untuk bertahan.

"Memang laba belum mampu memberikan indikasi yang positif karena dalam usaha mempertahankan operasi, perusahaan terpaksa mengambil langkah-langkah yang membuat laba tidak stabil. Misalnya dengan menerbitkan utang dan sebagainya. Tapi, kinerja pendapatan telah memberikan keyakinan bahwa saham-saham pertambangan dengan jejak rekam yang baik bisa menjadi pilihan investasi," tutur Rowena.

Sementara Edwin Sebayang mengatakan, beberapa sektor yang cukup prospektif dan aman diakumulasi pada tahun depan adalah perkebunan terutama minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Sektor lain yang prospektif adalah consumer. Dia menuturkan, sektor tersebut akan bergairah karena faktor pemilu akan menyebabkan permintaan meningkat sekitar 0,2-0,3 persen.

Ketiga, sektor perbankan diprediksi akan mencatat kinerja sangat baik pada tahun depan. Adapun rekomendasi pilihan saham sektor ini, diantaranya PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).

Keempat,sektor konstruksi yang berpotensi mengguat karena pemerintah akan lebih cepat mengadakan pembangunan konstruksi. Naiknya sektor ini diikuti kenaikan sektor infrastruktur. Pilihan saham sektor konstruksi, misalnya PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA). Sedangkan untuk sektor infrakstruktur, salah satunya adalah PT Jasa Marga Tbk (JSMR).

Kelima adalah sektor industri dasar yang layak dicermati. Saham PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) diprediksi akan mengalami kenaikan dan kinerja positif yang drastis pada 2014.

Terakhir adalah sektor properti. Pada tahun politik, sektor properti akan bertahan dengan kinerja yang positif. Saham sektor properti yang layak diakumulasi beli, seperti PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI).
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1101 seconds (0.1#10.140)