DPR: Yang betul itu PGN akuisisi Pertagas
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Komisi VI DPR RI Airlangga Hartarto menilai, sebagai perusahaan publik, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk harus menjadi pihak yang mengakuisisi anak perusahaan PT Pertamina yaitu PT Pertagas.
Airlangga mengungkapkan hal tersebut memastikan bahwa PGN sebagai perusahaan publik yang tidak dapat diutak-atik oleh Pertamina yang notabenenya bukan perusahaan Tbk.
"Jadi posisinya terbalik, bukan Pertagas akuisisi PGN tapi sebaliknya. Jadi jelas yang perusahaan publik yang mana," jelas Airlangga di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2014).
Tetapi secara umum dia menyebut akuisisi dua perusahan plat merah ini karena sebagai pemegang sahamnya, pemerintah malah tidak menaikkan nilai saham PGN namun malah menurunkannya.
"Ini aksi korporasi yang aneh karena biasanya (aksi korporasi) dilakukan untuk meningkatkan nilai perusahaan dan pemegang saham pengendali diuntungkan itu. Ini malah terbalik," lanjut Airlangga.
Oleh sebab itu, dia mewajibkan agar pemerintah segera berkonsultasi dengan Komisi VI untuk mendengarkan keberatan Komisi. "Tidak ada gunanya juga dimerger," tandas Airlangga.
Sebelumnya diberitakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk menolak rencana Menteri BUMN Dahlan Iskan agar PT Pertamina (Persero) mengakuisisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Keputusan Dahlan dinilai gegabah dan terlalu terburu-buru dan lebih mengedepankan ambisi personal daripada kepentingan nasional.
"DPR menolak rencana akuisisi Pertamina-PGN. Sangat tidak masuk akal dan aneh rencana yang begitu strategis dan melibatkan dua BUMN besar hanya diputuskan dalam beberapa minggu," tegas ketua DPR Marzuki Ali beberapa waktu lalu.
Marzuki juga menyayangkan langkah Dahlan yang sembrono dan tidak memperhitungkan dampak dari kebijakan yang telah dilakukannya. Sebab, akibat isu akuisisi Pertamina yang disampaikan kementerian BUMN dalam beberapa bulan terakhir, saham PGN jatuh sehingga kapitalisasinya turun hingga puluhan triliun rupiah.
Seharusnya kementerian dapat mengelola informasi strategis seperti ini dengan baik, sehingga tidak merugikan pemegang saham publik PGN yang harus merugi akibat kebijakan yang sembrono.
"Kasihan para Dana Pensiun yang harus "cut loss" sesuai ketentuan mereka, sehingga benar-benar harus merealisasikan kerugian. Lalu siapa yang akan mengganti kerugian para dana pensiun itu? Kalau investor minoritas menuntut, siapa yang akan menanggung?" ujarnya.
Airlangga mengungkapkan hal tersebut memastikan bahwa PGN sebagai perusahaan publik yang tidak dapat diutak-atik oleh Pertamina yang notabenenya bukan perusahaan Tbk.
"Jadi posisinya terbalik, bukan Pertagas akuisisi PGN tapi sebaliknya. Jadi jelas yang perusahaan publik yang mana," jelas Airlangga di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2014).
Tetapi secara umum dia menyebut akuisisi dua perusahan plat merah ini karena sebagai pemegang sahamnya, pemerintah malah tidak menaikkan nilai saham PGN namun malah menurunkannya.
"Ini aksi korporasi yang aneh karena biasanya (aksi korporasi) dilakukan untuk meningkatkan nilai perusahaan dan pemegang saham pengendali diuntungkan itu. Ini malah terbalik," lanjut Airlangga.
Oleh sebab itu, dia mewajibkan agar pemerintah segera berkonsultasi dengan Komisi VI untuk mendengarkan keberatan Komisi. "Tidak ada gunanya juga dimerger," tandas Airlangga.
Sebelumnya diberitakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk menolak rencana Menteri BUMN Dahlan Iskan agar PT Pertamina (Persero) mengakuisisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Keputusan Dahlan dinilai gegabah dan terlalu terburu-buru dan lebih mengedepankan ambisi personal daripada kepentingan nasional.
"DPR menolak rencana akuisisi Pertamina-PGN. Sangat tidak masuk akal dan aneh rencana yang begitu strategis dan melibatkan dua BUMN besar hanya diputuskan dalam beberapa minggu," tegas ketua DPR Marzuki Ali beberapa waktu lalu.
Marzuki juga menyayangkan langkah Dahlan yang sembrono dan tidak memperhitungkan dampak dari kebijakan yang telah dilakukannya. Sebab, akibat isu akuisisi Pertamina yang disampaikan kementerian BUMN dalam beberapa bulan terakhir, saham PGN jatuh sehingga kapitalisasinya turun hingga puluhan triliun rupiah.
Seharusnya kementerian dapat mengelola informasi strategis seperti ini dengan baik, sehingga tidak merugikan pemegang saham publik PGN yang harus merugi akibat kebijakan yang sembrono.
"Kasihan para Dana Pensiun yang harus "cut loss" sesuai ketentuan mereka, sehingga benar-benar harus merealisasikan kerugian. Lalu siapa yang akan mengganti kerugian para dana pensiun itu? Kalau investor minoritas menuntut, siapa yang akan menanggung?" ujarnya.
(gpr)