ATEI nilai bea keluar tambang beratkan pengusaha
A
A
A
Sindonews.com - Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) meminta Menteri Keuangan untuk merevisi PMK No 6/2014 tentang Bea Keluar barang mineral karena ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder pelaku usaha tambang.
"Sungguh ironis, penetapan BK ini dilakukan sepihak tanpa menghiraukan semua pihak seperti pengusaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) tembaga," kata Ketua ATEI, Natsir Mansyur dalam rilisnya, Kamis (23/1/2014).
Menurut dia, pihaknya sangat mengapresiasi semangat UU No 4 tentang Minerba, PP No 1/2014 dan Permen ESDM No 1/2014 untuk mendorong hilirisasi yang sudah baik dan jelas. Namun, penetapan bea keluar oleh Menkeu dinilai bertolak belakang dengan semangat hilirisasi, karena berdampak negatif bagi kelangsungan usaha sektor pertambangan.
"Bisnis mineral bisa rusak, tutup usaha, PHK, kredit macet, pergerakan ekonomi daerah lambat. Jangan karena setoran APBN kurang, tapi malah membuat kebijakan yang menyusahkan pengusaha. Ini kan pemerintah berkesan tidak inovatif mengelola keuangan negara," kata Natsir.
Ketetapan bea keluar yang diberlakukan, kata dia, diperkirakan bisnis sektor pertambangan menjadi defisit dan dapat menyebabkan tutup usaha. Menurutnya, jika bea keluar tembaga 25 persen dari harga FOB, maka Kadar ore 1 persen X 20 ton ore menjadi kosentrat 15 persen dan ongkos 20 ton X 200 ribu perton menjadi 4 juta per 15 persen konsentrat.
"Belum termasuk ongkos gali 25 persen, ongkos angkut 25 persen, ongkos pelabuhan 25 persen serta ekspedisi 25 persen. Biaya-biaya ini belum dipotong pajak bea keluar 25 persen. Ini kan defisit dan dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan bisnis pertambangan," jelasnya.
"Sungguh ironis, penetapan BK ini dilakukan sepihak tanpa menghiraukan semua pihak seperti pengusaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) tembaga," kata Ketua ATEI, Natsir Mansyur dalam rilisnya, Kamis (23/1/2014).
Menurut dia, pihaknya sangat mengapresiasi semangat UU No 4 tentang Minerba, PP No 1/2014 dan Permen ESDM No 1/2014 untuk mendorong hilirisasi yang sudah baik dan jelas. Namun, penetapan bea keluar oleh Menkeu dinilai bertolak belakang dengan semangat hilirisasi, karena berdampak negatif bagi kelangsungan usaha sektor pertambangan.
"Bisnis mineral bisa rusak, tutup usaha, PHK, kredit macet, pergerakan ekonomi daerah lambat. Jangan karena setoran APBN kurang, tapi malah membuat kebijakan yang menyusahkan pengusaha. Ini kan pemerintah berkesan tidak inovatif mengelola keuangan negara," kata Natsir.
Ketetapan bea keluar yang diberlakukan, kata dia, diperkirakan bisnis sektor pertambangan menjadi defisit dan dapat menyebabkan tutup usaha. Menurutnya, jika bea keluar tembaga 25 persen dari harga FOB, maka Kadar ore 1 persen X 20 ton ore menjadi kosentrat 15 persen dan ongkos 20 ton X 200 ribu perton menjadi 4 juta per 15 persen konsentrat.
"Belum termasuk ongkos gali 25 persen, ongkos angkut 25 persen, ongkos pelabuhan 25 persen serta ekspedisi 25 persen. Biaya-biaya ini belum dipotong pajak bea keluar 25 persen. Ini kan defisit dan dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan bisnis pertambangan," jelasnya.
(izz)