Perpustakaan mengantarkan Sanikem jadi usahawan Batik Lurik
A
A
A
SELAMA ini di Indonesia perpustakaan hanya dikenal sebagai tempat pinjam dan membaca buku. Jangan bayangkan ada komputer bahkan sebagian besar perpustakaan tampak lusuh dan kumuh. Namun siapa sangka karena perpustakaan seorang Sanikem kenal facebook dan menjadi wirausahawan batik lurik.
Awalnya Sanikem hanya menyambi membuat batik lurik. Dalam sehari dia hanya membuat lima potong saja. Lalu pasca gempa besar yang menimpa Jogjakarta 2006 lalu datang bantuan dari Jerman yang memberikan peralatan tenun dan pelatihan membuat batik tenun lurik. Para warga Sadakan RT 1 RW 4, Grogol Meru, Sukoharjo, Jawa Tengah ini pun membentuk kluster batik tenun lurik pertamanya itu.
Bantuan ini ternyata mampu membangkitkan kehidupan dia dan warga sekitar kembali. Pasalnya, produksi tenun yang dibuat mereka dipasarkan langsung ke kalangan PNS di pemrov Jawa Tengah yang tengah menggalakkan pemakaian batik lurik. Kesejahteraan mereka setelah itu pun membaik setelah merana karena gempa. Akan tetapi, permintaan batik mulai menurun kembali pada 2011 karena mulai banyak pesaing yang datang.
Perempuan berusia 39 tahun ini pun pusing harus kemana lagi memasarkan hasil batiknya. Beruntung ada petugas perpustakaan yang mengajaknya untuk bertandang ke perpustakaan. Ajakan itu tidak langsung dia sambut. Karena dia apatis ada solusi yang dapat diberikan dari perpustakaan.
“Ya kan saya mikirnya perpustakaan itu cuma tempat baca buku. Itupun tidak semua buku ada,” katanya ketika ditemui usai acara Perpuseru Peer Learning Meeting : Pembelajaran Global, Penerapan Lokal di Ballroom Hotel Mulia Purnosari, Jogjakarta, Selasa (28/1/2014).
Setelah satu minggu berlalu, barulah dia datang ke perpustakaan. Itupun setelah dipaksa-paksa oleh anaknya. Bayangan dia akan perpustakaan yang hanya menyajikan buku pun musnah. Oleh beberapa petugas perpustakaan dia diajak untuk mengenal komputer.
Bagi Sanikem, komputer adalah barang aneh. Seumur-umur lulusan kelas dua SMP ini baru memegang layar komputer ketika memasuki perpustakaan Sukoharjo itu.
Sanikem menuturkan, tujuan akhir petugas memperkenalkannya dengan komputer ialah mengajari dia bermain internet. Namun sebagaimana penjajakan pacaran, Sanikem diperkenalkan dulu dengan bentuk fisik komputer dan asesorisnya seperti mouse, keyboard dan monitor.
Baru pada tahap berikutnya Sanikem disuruh buat email dan akun facebook. “Seumur-umur saya baru tahu facebook itu apa. Namun mereka bilang saya harus buat akun facebook untuk mempromosikan batik saya,” ujarnya.
Dibantu anaknya, Sanikem pun mengunggah foto lurik bikinanya di laman facebook. Tak dinyana, penjualan onlinenya membuat dia kebanjiran order. Jika tadinya dia hanya membuat lima lurik namun setelah kenal facebook setiap minggunya orderan bisa lebih dari 150 batik. Pesanannya tidak hanya datang dari Sukoharjo, namun dari Kalimantan, Sumatera, Jakarta dan Jawa Barat.
Ibu dua orang anak ini menyebutkan, perkenalannya dengan perpustakaan menjadikan impian untuk menguliahkan anaknya menjadi kenyataan. Dulu dia hanya menitip pesan kepada anaknya Riska Kurniasari jika sudah lulus SMK membantu dia membatik.
Namun kini Riska kuliah di Stikes Sukoharjo. Dia pun membekali Riska dengan laptop untuk membantu memonitor pesanan batik dari facebook. “Kini anak saya sedang mau membuat website untuk pemasaran batik saya,” ungkapnya.
Direktur Program PerpuSeru Erlyn Sulistyaningsih mengatakan, Sanikem adalah contoh hasil penyelenggaraan PerpuSeru yang berlangsung sejak 2011. Program ini diluncurkan Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI) bekerja sama dengan Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF).
Visi utama program ini adalah membuka mata masyarakat Indonesia akan kemampuan perpustakaan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas di sekitarnya, khususnya kelompok perempuan, pemuda, dan usaha mikro.
Dia menjelaskan, saat ini Perpuseru telah menjangkau 34 perpustakaan umum pemerintah di 16 provinsi di Indonesia melalui penyediaan akses komputer dan internet, pelatihan kepada pustakawan, serta advokasi dan kemitraan.
Lebih dari 5,000 pengguna perpustakaan telah mendapatkan pelatihan-pelatihan di perpustakaan mitra Perpuseru, termasuk pelatihan komputer dan internet, dan lebih dari 3,5 juta orang telah mendapat akses internet gratis untuk mencari pekerjaan atau informasi untuk mengembangkan bisnisnya.
“Perpuseru telah memberikan manfaat langsung kepada anggota masyarakat yang tidak memiliki perangkat komputer dan internet di rumah. Sekaligus berperan sebagai rumah belajar (learning centre) dengan beragam media pembelajaran dan program pelatihan berbasis teknologi informasi (TI),” terangnya.
Awalnya Sanikem hanya menyambi membuat batik lurik. Dalam sehari dia hanya membuat lima potong saja. Lalu pasca gempa besar yang menimpa Jogjakarta 2006 lalu datang bantuan dari Jerman yang memberikan peralatan tenun dan pelatihan membuat batik tenun lurik. Para warga Sadakan RT 1 RW 4, Grogol Meru, Sukoharjo, Jawa Tengah ini pun membentuk kluster batik tenun lurik pertamanya itu.
Bantuan ini ternyata mampu membangkitkan kehidupan dia dan warga sekitar kembali. Pasalnya, produksi tenun yang dibuat mereka dipasarkan langsung ke kalangan PNS di pemrov Jawa Tengah yang tengah menggalakkan pemakaian batik lurik. Kesejahteraan mereka setelah itu pun membaik setelah merana karena gempa. Akan tetapi, permintaan batik mulai menurun kembali pada 2011 karena mulai banyak pesaing yang datang.
Perempuan berusia 39 tahun ini pun pusing harus kemana lagi memasarkan hasil batiknya. Beruntung ada petugas perpustakaan yang mengajaknya untuk bertandang ke perpustakaan. Ajakan itu tidak langsung dia sambut. Karena dia apatis ada solusi yang dapat diberikan dari perpustakaan.
“Ya kan saya mikirnya perpustakaan itu cuma tempat baca buku. Itupun tidak semua buku ada,” katanya ketika ditemui usai acara Perpuseru Peer Learning Meeting : Pembelajaran Global, Penerapan Lokal di Ballroom Hotel Mulia Purnosari, Jogjakarta, Selasa (28/1/2014).
Setelah satu minggu berlalu, barulah dia datang ke perpustakaan. Itupun setelah dipaksa-paksa oleh anaknya. Bayangan dia akan perpustakaan yang hanya menyajikan buku pun musnah. Oleh beberapa petugas perpustakaan dia diajak untuk mengenal komputer.
Bagi Sanikem, komputer adalah barang aneh. Seumur-umur lulusan kelas dua SMP ini baru memegang layar komputer ketika memasuki perpustakaan Sukoharjo itu.
Sanikem menuturkan, tujuan akhir petugas memperkenalkannya dengan komputer ialah mengajari dia bermain internet. Namun sebagaimana penjajakan pacaran, Sanikem diperkenalkan dulu dengan bentuk fisik komputer dan asesorisnya seperti mouse, keyboard dan monitor.
Baru pada tahap berikutnya Sanikem disuruh buat email dan akun facebook. “Seumur-umur saya baru tahu facebook itu apa. Namun mereka bilang saya harus buat akun facebook untuk mempromosikan batik saya,” ujarnya.
Dibantu anaknya, Sanikem pun mengunggah foto lurik bikinanya di laman facebook. Tak dinyana, penjualan onlinenya membuat dia kebanjiran order. Jika tadinya dia hanya membuat lima lurik namun setelah kenal facebook setiap minggunya orderan bisa lebih dari 150 batik. Pesanannya tidak hanya datang dari Sukoharjo, namun dari Kalimantan, Sumatera, Jakarta dan Jawa Barat.
Ibu dua orang anak ini menyebutkan, perkenalannya dengan perpustakaan menjadikan impian untuk menguliahkan anaknya menjadi kenyataan. Dulu dia hanya menitip pesan kepada anaknya Riska Kurniasari jika sudah lulus SMK membantu dia membatik.
Namun kini Riska kuliah di Stikes Sukoharjo. Dia pun membekali Riska dengan laptop untuk membantu memonitor pesanan batik dari facebook. “Kini anak saya sedang mau membuat website untuk pemasaran batik saya,” ungkapnya.
Direktur Program PerpuSeru Erlyn Sulistyaningsih mengatakan, Sanikem adalah contoh hasil penyelenggaraan PerpuSeru yang berlangsung sejak 2011. Program ini diluncurkan Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI) bekerja sama dengan Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF).
Visi utama program ini adalah membuka mata masyarakat Indonesia akan kemampuan perpustakaan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas di sekitarnya, khususnya kelompok perempuan, pemuda, dan usaha mikro.
Dia menjelaskan, saat ini Perpuseru telah menjangkau 34 perpustakaan umum pemerintah di 16 provinsi di Indonesia melalui penyediaan akses komputer dan internet, pelatihan kepada pustakawan, serta advokasi dan kemitraan.
Lebih dari 5,000 pengguna perpustakaan telah mendapatkan pelatihan-pelatihan di perpustakaan mitra Perpuseru, termasuk pelatihan komputer dan internet, dan lebih dari 3,5 juta orang telah mendapat akses internet gratis untuk mencari pekerjaan atau informasi untuk mengembangkan bisnisnya.
“Perpuseru telah memberikan manfaat langsung kepada anggota masyarakat yang tidak memiliki perangkat komputer dan internet di rumah. Sekaligus berperan sebagai rumah belajar (learning centre) dengan beragam media pembelajaran dan program pelatihan berbasis teknologi informasi (TI),” terangnya.
(gpr)