ARLI pertanyakan angka produksi rumput laut
A
A
A
Sindonews.com - Kalangan pengusaha rumput laut mempertanyakan angka yang dipatok pemerintah untuk produksi rumput laut 2013 sebesar 7,5 juta ton. Pasalnya, jumlah ini sangat tidak sejalan dengan total ekspor rumput laut nasional.
"Dari total produksi, 70 persen diantaranya masih diekspor karena pasarnya banyak terserap luar. Sekitar 30 persennya diolah di dalam negeri dan sebagian hasilnya juga diekspor ke luar," kata Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis dalam rilisnya, Jumat (7/2/2014).
Berdasarkan data yang dihimpun ARLI, ekspor rumput laut mulai dari Januari-Oktober 2013 hanya mencapai 147.052 ton. Jumlah ini sangat jauh dari angka yang dipatok pemerintah.
Menurutnya, jika 7,5 juta ton itu diasumsikan dalam kondisi basah, maka jika dikonversi keringnya menjadi 750.000 ton. Jumlah ini juga masih sangat jauh.
"Ini aneh, karena rumput laut kebanyakan masih diekspor. Jadi sebenarnya rumput laut yang sedemikian banyak itu ada di mana? Dan kalaupun ada mau diapakan? Karena sebenarnya permintaan sedang tinggi, harga relatif tinggi tapi barangnya sedikit," terangnya.
Dia menerangkan, selama ini acuan untuk melihat produksi rumput laut nasional memang mengacu pada total ekspor. Karena pasar dalam negeri belum mampu menyerap semua produksi yang ada, sementara permintaan industri luar lumayan besar.
Sebab itu, kata Safari, seyogyanya pemerintah lebih mematangkan lagi program hilirisasi rumput laut yang digadang-gadang bisa meningkatkan nilai tambah dan devisa negara. Menurutnya, daya saing industri nasional masih jauh bila dibandingkan dengan negara lain.
"Lemahnya daya saing industri kita terlihat ketika produksi rumput laut yang banyak tidak terserap lokal, bisa karena permintaannya yang rendah atau karena harga jual yang relatif tinggi," katanya.
Sementara, jika harganya rendah, banyak petani yang tidak tertarik dan sebaliknya jika harga tinggi, maka pelaku industri lokal sulit bersaing.
Untuk hilirisasi, kata dia, sebenarnya ada peluang untuk petani sekaligus tantangan bagai pelaku industri. Program hilirisasi perencanaannya belum matang karena belum jelas siapa yang bertanggung jawab mengurus indutrialisasi itu.
"Kita berharap pemerintah membuat program yang tidak bersifat politis saja. Program hilirisasi harus dikawal dengan serius dan seharusnya ada blueprint atau road map khusus," harap Safari.
Dia mengatakan, saat ini perizinan industri pengolahan rumput laut yang beroperasi cenderung disulitkan karena setidaknya harus memiliki 14 macam surat izin yang dikeluarkan antar kementerian/lembaga yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan biaya tinggi dan tidak efisien.
Pemerintah perlu memikirkan bagaimana agar pelaku usaha baik nasional maupun internasional tertarik berinvestasi dan membangun industri.
"Pemerintah bisa saja membuat program, tapi harusnya bertanggung jawab dalam implementasinya agar program itu bisa jalan. Intinya pemerintah harus memikirkan agar semuanya bisa efisien, tidak high cost, serta adanya jaminan dukungan sinergi antar departemen," pungkas Safari.
"Dari total produksi, 70 persen diantaranya masih diekspor karena pasarnya banyak terserap luar. Sekitar 30 persennya diolah di dalam negeri dan sebagian hasilnya juga diekspor ke luar," kata Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis dalam rilisnya, Jumat (7/2/2014).
Berdasarkan data yang dihimpun ARLI, ekspor rumput laut mulai dari Januari-Oktober 2013 hanya mencapai 147.052 ton. Jumlah ini sangat jauh dari angka yang dipatok pemerintah.
Menurutnya, jika 7,5 juta ton itu diasumsikan dalam kondisi basah, maka jika dikonversi keringnya menjadi 750.000 ton. Jumlah ini juga masih sangat jauh.
"Ini aneh, karena rumput laut kebanyakan masih diekspor. Jadi sebenarnya rumput laut yang sedemikian banyak itu ada di mana? Dan kalaupun ada mau diapakan? Karena sebenarnya permintaan sedang tinggi, harga relatif tinggi tapi barangnya sedikit," terangnya.
Dia menerangkan, selama ini acuan untuk melihat produksi rumput laut nasional memang mengacu pada total ekspor. Karena pasar dalam negeri belum mampu menyerap semua produksi yang ada, sementara permintaan industri luar lumayan besar.
Sebab itu, kata Safari, seyogyanya pemerintah lebih mematangkan lagi program hilirisasi rumput laut yang digadang-gadang bisa meningkatkan nilai tambah dan devisa negara. Menurutnya, daya saing industri nasional masih jauh bila dibandingkan dengan negara lain.
"Lemahnya daya saing industri kita terlihat ketika produksi rumput laut yang banyak tidak terserap lokal, bisa karena permintaannya yang rendah atau karena harga jual yang relatif tinggi," katanya.
Sementara, jika harganya rendah, banyak petani yang tidak tertarik dan sebaliknya jika harga tinggi, maka pelaku industri lokal sulit bersaing.
Untuk hilirisasi, kata dia, sebenarnya ada peluang untuk petani sekaligus tantangan bagai pelaku industri. Program hilirisasi perencanaannya belum matang karena belum jelas siapa yang bertanggung jawab mengurus indutrialisasi itu.
"Kita berharap pemerintah membuat program yang tidak bersifat politis saja. Program hilirisasi harus dikawal dengan serius dan seharusnya ada blueprint atau road map khusus," harap Safari.
Dia mengatakan, saat ini perizinan industri pengolahan rumput laut yang beroperasi cenderung disulitkan karena setidaknya harus memiliki 14 macam surat izin yang dikeluarkan antar kementerian/lembaga yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan biaya tinggi dan tidak efisien.
Pemerintah perlu memikirkan bagaimana agar pelaku usaha baik nasional maupun internasional tertarik berinvestasi dan membangun industri.
"Pemerintah bisa saja membuat program, tapi harusnya bertanggung jawab dalam implementasinya agar program itu bisa jalan. Intinya pemerintah harus memikirkan agar semuanya bisa efisien, tidak high cost, serta adanya jaminan dukungan sinergi antar departemen," pungkas Safari.
(izz)