Industri tambang terancam gulung tikar

Minggu, 09 Februari 2014 - 14:39 WIB
Industri tambang terancam...
Industri tambang terancam gulung tikar
A A A
Sindonews.com - Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Association/IMA) menegaskan, besaran bea keluar (BK) ekspor mineral progresif 20-60 persen pada 2014-2017 mengancam eksistensi industri tambang di Indonesia, sehingga IMA meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut.

Direktur Ekeskutif IMA Syahrir AB mengatakan, BK ekspor progresif perlu ditinjau kembali dengan memperhatikan struktur biaya dan profit margin perusahaan. Jika tidak, maka kerugian besar dipastikan akan menimpa para pengusaha tambang di Indonesia.

“Perhitungan harusnya diambil dari laba bersih. Kalau besaran bea keluar habislah mereka (bangkrut),” kata dia di Jakarta, Minggu (9/2/2013).

Hingga kini, dia menjelaskan, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (NTT) belum setuju dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini menilai tidak sesuai dengan perjanjian Kontrak Karya (KK) yang di buat oleh pemerintah.

“Mereka belum setuju karena dinilai telah melanggar perjanjian Kontrak Karya,” kata dia.

Kendati demikian, Syahrir mengaku, mendukung penuh keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2014 ini. Sejalan dengan itu, pihaknya meminta adanya penyempurnaan batas minimum ekspor.

“Kami mendukung langkah pemerintah untuk menyelesaikan gagalnya rencana hilirisasi mineral dalam negeri. Tapi caranya perlu ditinjau kembali, ” kata dia.

Senada dengannya, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi Mineral Kamar Dagang Indonesia Didie Soewondo mengatakan, perlu peninjauan ulang terkait kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan tersebut.

Adapun BK eskpor progresif mineral merupakan kepanjangan tangan pasca penerapan kebijakan larangan ekspor mineral pada 12 Januari 2014 lalu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

“Selain profit margin, pemerintah juga harus menganalisa pajak dan nonpajak yang masih tumpang tindih. Kemudian masih adanya biaya tinggi yang dikeluarkan perusahaan terkait banyaknya pungutan liar dan sebagainya,” tutur dia.

Menurut Didie, tingkat profit margin pengusaha pengolahan mineral tidak besar, sehingga BK progresif sebesar 20-60 persen dinilai akan menimbulkan kerugian besar para pengusaha tambang.

“Kami minta keberadaan bea keluar ditinjau ulang, jika tidak akan timbul masalah sosial baru, yakni terjadinya PHK masal perusahaan tambang,” jelas dia.

Sementara Direktur Mineral dan Batubara Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Sukhyar membenarkan jika ada upaya kompromi dari perusahaan tambang termasuk Freeport untuk dibebaskan BK ekspor progresif mineral.

Namun demikian, Sukhyar mengaku kebijakan larangan ekspor mineral beserta turunannya termasuk kebijakan BK ekspor progresif mineral tidak ada kompromi.

“Mereka ingin dibebaskan bea keluar tapi yang jelas kebijakan harus dijalankan tidak hanya menambah pemasukan negara tapi ini adalah dorongan agar mereka bangun smelter agar memberikan nilai tambah,” tandas dia.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0939 seconds (0.1#10.140)