Pemerintah evaluasi tarif panas bumi dari Bank Dunia
A
A
A
Sindonews.com - Setelah pembiayaan proyek pembangkit tenaga panas bumi (PLTP) Sarulla berkapasitas 3x110 megawatt (mw) cair, pemerintah saat ini sedang mengevaluasi hasil kajian Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) terkait penetapan tarif listrik panas bumi.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, saat ini pemerintah sudah menerima laporan kajian Bank Dunia dan ADB mengenai penentuan tarif listrik panas bumi.
“Baru saja submit final report. Saat ini sedang evaluasi akhir,” jelas Rida saat dihubungi di Jakarta, Selasa (1/4/2014).
Menurut dia, Kementerian ESDM akan melibatkan Kementerian Keuangan menyangkut evaluasi tarif panas bumi. Penetapan tarif panas bumi akan diterbitkan melalui Peraturan Menteri ESDM.
"Mudah-mudahan semuanya bisa lancar dan Permen harga baru panas bumi bisa segera terbit,” tutur dia.
Saat ini, tarif listrik panas bumi masih mengikuti feed in tariff, yang tertuang dalam Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2012 tentang Penugasan kepada PT PLN (persero) Untuk Melakukan Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN.
Berdasarkan aturan Permen ESDM tarif listrik panas bumi ditetapkan USD0,1-USD0,18. Harga tertinggi sebesar USD0,18 akan ditetapkan di Wilayah Indonesia Timur, dengan pertimbangan biaya produksi yang lebih tinggi.
Sementara, Rida mengatakan, ADB dan Bank Dunia selaku konsultan independen pemerintah telah memberikan masukan terkait metode penentuan tarif listrik panas bumi menggunakan batas atas (ceiling price) dengan metode lelang. Selama ini pemerintah melelang PLTP dengan kapasitas tertentu, sedangkan Bank Dunia dan ADB menyarankan agar tidak dipatok kapasitas pembangkitnya.
Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) seluruh tarif energi baru terbarukan dikonsepkan menggunakan mekanisme feed in tariff. Sebelum meminta ADB dan Bank Dunia sebagai konsultan independen, pemerintah memiliki tiga alternatif tarif listrik panas bumi, yakni feed in tariff, harga patokan tertinggi atau kombinasi dari keduanya.
Kombinasi keduanya mungkin dilakukan dengan membagi berdasarkan demografinya. Pasalnya, untuk wilayah yang berada di jalur gunung berapi, seperti Sumatera, Jawa dan maluku dinilai cukup menggunakan harga patokan tertinggi, namun untuk wilayah itu menggunakan feed in tariff.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, saat ini pemerintah sudah menerima laporan kajian Bank Dunia dan ADB mengenai penentuan tarif listrik panas bumi.
“Baru saja submit final report. Saat ini sedang evaluasi akhir,” jelas Rida saat dihubungi di Jakarta, Selasa (1/4/2014).
Menurut dia, Kementerian ESDM akan melibatkan Kementerian Keuangan menyangkut evaluasi tarif panas bumi. Penetapan tarif panas bumi akan diterbitkan melalui Peraturan Menteri ESDM.
"Mudah-mudahan semuanya bisa lancar dan Permen harga baru panas bumi bisa segera terbit,” tutur dia.
Saat ini, tarif listrik panas bumi masih mengikuti feed in tariff, yang tertuang dalam Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2012 tentang Penugasan kepada PT PLN (persero) Untuk Melakukan Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN.
Berdasarkan aturan Permen ESDM tarif listrik panas bumi ditetapkan USD0,1-USD0,18. Harga tertinggi sebesar USD0,18 akan ditetapkan di Wilayah Indonesia Timur, dengan pertimbangan biaya produksi yang lebih tinggi.
Sementara, Rida mengatakan, ADB dan Bank Dunia selaku konsultan independen pemerintah telah memberikan masukan terkait metode penentuan tarif listrik panas bumi menggunakan batas atas (ceiling price) dengan metode lelang. Selama ini pemerintah melelang PLTP dengan kapasitas tertentu, sedangkan Bank Dunia dan ADB menyarankan agar tidak dipatok kapasitas pembangkitnya.
Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) seluruh tarif energi baru terbarukan dikonsepkan menggunakan mekanisme feed in tariff. Sebelum meminta ADB dan Bank Dunia sebagai konsultan independen, pemerintah memiliki tiga alternatif tarif listrik panas bumi, yakni feed in tariff, harga patokan tertinggi atau kombinasi dari keduanya.
Kombinasi keduanya mungkin dilakukan dengan membagi berdasarkan demografinya. Pasalnya, untuk wilayah yang berada di jalur gunung berapi, seperti Sumatera, Jawa dan maluku dinilai cukup menggunakan harga patokan tertinggi, namun untuk wilayah itu menggunakan feed in tariff.
(rna)