Skema Insentif Kompensasi Eksplorasi Panas Bumi Disusun Demi Investasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun skema insentif berupa biaya penggantian (reimbursement cost) untuk aktivitas eksplorasi dan insentif pengembangan infrastruktur panas bumi lainnya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, F.X. Sujiastoto mengatakan, pemberian kompensasi dilakukan agar harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih terjangkau. Menurut dia, selama ini salah satu kendala pengembangan sektor panas bumi adalah harga jual listrik yang belum ekonomis.
"Misalnya di panas bumi, untuk mengurangi risiko itu ada insentif dan kompensasi agar harga di PLN lebih baik. Biaya eksplorasi dan tax holiday itu akan diberikan," ujarnya dalam siaran pers, Kamis (30/7).
(Baca Juga: Panas Bumi juga Bisa Dimanfaatkan untuk Panaskan Industri Lainnya )
Kementerian ESDM memproyeksikan bila aturan terkait insentif dan kompensasi diimplementasikan, maka akan ada penurunan harga panas bumi sekitar USD2,5 hingga USD4 sen per kilo Watt hour (kWh).
Aturan ini akan masuk dalam draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait dengan pembelian listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Nantinya, pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan pengembang dalam kegiatan eksplorasi wilayah kerja (WK) panas bumi.
Sujiastoto menuturkan, guna memantau proses mekanisme pengembalian biaya kompenasasi eksplorasi panas bumi agar berjalan dengan lancar, Direktorat Jenderal EBTKE akan membentuk tim pengawasan dan pengolahan bersama Badan Geologi dan unsur profesional seperti perguruan tinggi.
"Untuk mengawasi itu, kita ada tim teknis dari Ditjen EBTKE, Direktorat Panas Bumi bekerjasama dengan Badan Geologi. Nanti kita juga di backup tenaga ahli profesional dari perguruan tinggi setempat, misalnya UI, ITB," jelasnya.
(Baca Juga: 34 Tahun Tanpa Kilang Minyak Baru di Indonesia, Dua Faktor Ini Penyebabnya )
Menurut Sutijastoto, usulan insentif untuk pengembangan listrik EBT secara umum, maupun kompensasi eksplorasi bagi listrik panas bumi telah mendapatkan lampu hijau dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dana insentif biaya eksplorasi ini akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kami sudah komunikasi dengan Kemenkeu, BKF sudah memberikan green line untuk insentif-insentif ini. Untuk 2021 sudah masuk dalam pagu indikatif dan siap dilaksanakan," tuturnya.
Saat ini, Pemerintah memang terus melakukan akselerasi pemanfaatan EBT dengan menyiapkan berbagai regulasi pendukung. Hal ini menyusul potensi llistrik EBT yang masih besar sekitar 442 Gigawatt (GW) dan baru terimplementasi sebesar 2,4% atau 10,4 GW.
Khusus panas bumi, potensinya di Indonesia mencapai 23,9 Giga Watt (GW) dan sudah terealisasi produksi listrik hingga Mei 2020 sebesar 8,17% atau 6.494 Giga Watt hour (GWh).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, F.X. Sujiastoto mengatakan, pemberian kompensasi dilakukan agar harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih terjangkau. Menurut dia, selama ini salah satu kendala pengembangan sektor panas bumi adalah harga jual listrik yang belum ekonomis.
"Misalnya di panas bumi, untuk mengurangi risiko itu ada insentif dan kompensasi agar harga di PLN lebih baik. Biaya eksplorasi dan tax holiday itu akan diberikan," ujarnya dalam siaran pers, Kamis (30/7).
(Baca Juga: Panas Bumi juga Bisa Dimanfaatkan untuk Panaskan Industri Lainnya )
Kementerian ESDM memproyeksikan bila aturan terkait insentif dan kompensasi diimplementasikan, maka akan ada penurunan harga panas bumi sekitar USD2,5 hingga USD4 sen per kilo Watt hour (kWh).
Aturan ini akan masuk dalam draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait dengan pembelian listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Nantinya, pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan pengembang dalam kegiatan eksplorasi wilayah kerja (WK) panas bumi.
Sujiastoto menuturkan, guna memantau proses mekanisme pengembalian biaya kompenasasi eksplorasi panas bumi agar berjalan dengan lancar, Direktorat Jenderal EBTKE akan membentuk tim pengawasan dan pengolahan bersama Badan Geologi dan unsur profesional seperti perguruan tinggi.
"Untuk mengawasi itu, kita ada tim teknis dari Ditjen EBTKE, Direktorat Panas Bumi bekerjasama dengan Badan Geologi. Nanti kita juga di backup tenaga ahli profesional dari perguruan tinggi setempat, misalnya UI, ITB," jelasnya.
(Baca Juga: 34 Tahun Tanpa Kilang Minyak Baru di Indonesia, Dua Faktor Ini Penyebabnya )
Menurut Sutijastoto, usulan insentif untuk pengembangan listrik EBT secara umum, maupun kompensasi eksplorasi bagi listrik panas bumi telah mendapatkan lampu hijau dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dana insentif biaya eksplorasi ini akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kami sudah komunikasi dengan Kemenkeu, BKF sudah memberikan green line untuk insentif-insentif ini. Untuk 2021 sudah masuk dalam pagu indikatif dan siap dilaksanakan," tuturnya.
Saat ini, Pemerintah memang terus melakukan akselerasi pemanfaatan EBT dengan menyiapkan berbagai regulasi pendukung. Hal ini menyusul potensi llistrik EBT yang masih besar sekitar 442 Gigawatt (GW) dan baru terimplementasi sebesar 2,4% atau 10,4 GW.
Khusus panas bumi, potensinya di Indonesia mencapai 23,9 Giga Watt (GW) dan sudah terealisasi produksi listrik hingga Mei 2020 sebesar 8,17% atau 6.494 Giga Watt hour (GWh).
(akr)