Aceh akan bentuk badan pengawas migas
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berencana akan memiliki Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi yang lepas dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Kendati demikian, pembentukan badan tersebut masih menunggu pengesahan pemerintah pusat mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). RPP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 dan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Helsinki.
“Kami masih menunggu pengesahan dari pemerintah pusat. Harusnya sudah disahkan sejak 2008,” kata Gubernur Aceh Zaini Abdullah dalam acara Aceh Business Forum di Jakarta, Selasa (15/4/2014).
UUPA, kata dia, telah memberi kewenangan kepada Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan. Turunan UU tersebut, antara lain RPP tentang pengelolaan minyak dan gas bumi.
Dia menyebut, berlarutnya pengesahan RRP membuat kegiatan migas di Aceh pun terkatung-katung. Ada sembilan investor yang tertarik menggarap potensi migas, namun hingga saat ini hanya menunggu.
“Sembilan perusahaan masih menunggu, karena ini menyangkut kewenangan,” katanya.
Lebih lanjut dia menuturkan, manajemen Badan Pengelolaan Migas Aceh tetap melibatkan pemerintah pusat. Pemerintah Aceh menguasai manajemen hingga 70 persen dan pemerintah pusat hanya 30 persen. Secara struktur organisasi badan tersebut berada di bawah Pemerintah Aceh yang bertanggung jawab kepada gubernur.
“Nantinya badan pengelola tersebut memiliki wewenang untuk mempersiapkan tender eksplorasi lapangan baru, pengawasan terhadap kontraktor migas yang beroperasi di wilayah Aceh serta penjualan dan kontrak penjualan migas,” pungkas dia.
Kendati demikian, pembentukan badan tersebut masih menunggu pengesahan pemerintah pusat mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). RPP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 dan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Helsinki.
“Kami masih menunggu pengesahan dari pemerintah pusat. Harusnya sudah disahkan sejak 2008,” kata Gubernur Aceh Zaini Abdullah dalam acara Aceh Business Forum di Jakarta, Selasa (15/4/2014).
UUPA, kata dia, telah memberi kewenangan kepada Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan. Turunan UU tersebut, antara lain RPP tentang pengelolaan minyak dan gas bumi.
Dia menyebut, berlarutnya pengesahan RRP membuat kegiatan migas di Aceh pun terkatung-katung. Ada sembilan investor yang tertarik menggarap potensi migas, namun hingga saat ini hanya menunggu.
“Sembilan perusahaan masih menunggu, karena ini menyangkut kewenangan,” katanya.
Lebih lanjut dia menuturkan, manajemen Badan Pengelolaan Migas Aceh tetap melibatkan pemerintah pusat. Pemerintah Aceh menguasai manajemen hingga 70 persen dan pemerintah pusat hanya 30 persen. Secara struktur organisasi badan tersebut berada di bawah Pemerintah Aceh yang bertanggung jawab kepada gubernur.
“Nantinya badan pengelola tersebut memiliki wewenang untuk mempersiapkan tender eksplorasi lapangan baru, pengawasan terhadap kontraktor migas yang beroperasi di wilayah Aceh serta penjualan dan kontrak penjualan migas,” pungkas dia.
(rna)