BCA beberkan pajak perusahaan pada 1999
A
A
A
Sindonews.com - Manajemen PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) hari ini membeberkan informasi mengenai perpajakannya pada 1999. Langkah tersebut terkait kasus pajak yang menimpa mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo.
"Yang kami luruskan dan perlu disampaikan bahwa BCA sebagai wajib pajak telah memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya melalui prosedur dan tata cara perpajakan yang benar sesuai peraturan perpajakan yang berlaku," ungkap Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, Selasa (22/4/2014).
Dia menegaskan, pihaknya tidak melanggar Undang-Undang (UU) maupun peraturan perpajakan yang berlaku. Menurutnya ada perbedaan pendapat antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dengan BCA.
"Pada 1998, BCA alami kerugian fiskal sebesar Rp29,2 triliun akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Berdasarkan UU yang berlaku, kerugian tersebut bisa dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahu pajak berikutnya hingga 5 tahun berturut-turut," tutur dia.
Selanjutnya, pada 1999, BCA sudah mulai membukukan laba sebesar Rp174 miliar. Kemudian, berdasarkan pemeriksaan pajak yang dilakukan pada 2002, Ditjen Pajak telah melakukan koreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi Rp6,78 triliun.
Di dalam nilai tersebut, sambung dia, terdapat koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan BPPN yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang. Hal ini dilakukan sejalan dengan instruksi Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 26 Maret 1999.
"Atas dasar dua surat dari Menkeu, di mana kepemilikan pemerintah masih 92,8 persen. Ada juga surat Gubernur BI tanggal 26 maret 1999. Kita melaksanakan instruksi mereka mengalihkan aset yaitu pinjaman macet fan yang direstruktur termasuk agunan dan jaminan dialihkan ke BPPN sesuai Menkeu dan Gubernur BI," jelasnya.
Menurutnya, transaksi pengalihan aset tersebut merupakan Jual Beli Piutang, namun Ditjen Pajak menilai transaksi tersebut sebagai penghapusan piutang macet. Selanjutnya, pada 17 Juni 2003 BCA mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak atas koreksi pajak yang dilakukan. Keberatan itu diterima Ditjen Pajak.
"Ketika masa kompensasi kerugian pajak berakhir, masih ada sisa kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp7,81 triliun. Jadi seandainya keberatan BCA tidak diterima Ditjen Pajak, maka masih ada sisa yang dapat dikompensasikan sebesar Rp2,04 triliun. Dan itu tidak bisa dipakai lagi setelah 2003," pungkasnya.
"Yang kami luruskan dan perlu disampaikan bahwa BCA sebagai wajib pajak telah memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya melalui prosedur dan tata cara perpajakan yang benar sesuai peraturan perpajakan yang berlaku," ungkap Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, Selasa (22/4/2014).
Dia menegaskan, pihaknya tidak melanggar Undang-Undang (UU) maupun peraturan perpajakan yang berlaku. Menurutnya ada perbedaan pendapat antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dengan BCA.
"Pada 1998, BCA alami kerugian fiskal sebesar Rp29,2 triliun akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Berdasarkan UU yang berlaku, kerugian tersebut bisa dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahu pajak berikutnya hingga 5 tahun berturut-turut," tutur dia.
Selanjutnya, pada 1999, BCA sudah mulai membukukan laba sebesar Rp174 miliar. Kemudian, berdasarkan pemeriksaan pajak yang dilakukan pada 2002, Ditjen Pajak telah melakukan koreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi Rp6,78 triliun.
Di dalam nilai tersebut, sambung dia, terdapat koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan BPPN yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang. Hal ini dilakukan sejalan dengan instruksi Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 26 Maret 1999.
"Atas dasar dua surat dari Menkeu, di mana kepemilikan pemerintah masih 92,8 persen. Ada juga surat Gubernur BI tanggal 26 maret 1999. Kita melaksanakan instruksi mereka mengalihkan aset yaitu pinjaman macet fan yang direstruktur termasuk agunan dan jaminan dialihkan ke BPPN sesuai Menkeu dan Gubernur BI," jelasnya.
Menurutnya, transaksi pengalihan aset tersebut merupakan Jual Beli Piutang, namun Ditjen Pajak menilai transaksi tersebut sebagai penghapusan piutang macet. Selanjutnya, pada 17 Juni 2003 BCA mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak atas koreksi pajak yang dilakukan. Keberatan itu diterima Ditjen Pajak.
"Ketika masa kompensasi kerugian pajak berakhir, masih ada sisa kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp7,81 triliun. Jadi seandainya keberatan BCA tidak diterima Ditjen Pajak, maka masih ada sisa yang dapat dikompensasikan sebesar Rp2,04 triliun. Dan itu tidak bisa dipakai lagi setelah 2003," pungkasnya.
(izz)