BKDI dinilai ciptakan kegagalan pasar timah

Sabtu, 17 Mei 2014 - 12:00 WIB
BKDI dinilai ciptakan...
BKDI dinilai ciptakan kegagalan pasar timah
A A A
Sindonews.com - Pengelolaan tata niaga timah oleh Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) dinilai justru telah menciptakan mekanisme pasar yang tidak berjalan sebagaimana semestinya (market failure), ketidakseimbangan supply dan demand.

Kegagalaan pasar tersebut merupakan perwujudan dari kegagalan kebijakan (policy failure) dan kegagalan pemerintah (government failure) dalam pengelolaan tata niaga timah sebagaimana diatur dalam Permendag Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013.

Hal ini terungkap dalam diskusi yang digelar oleh LSIM Fisip Universitas Indonesia (UI) dengan tema “BKDI dan Implikasi Pertambangan Timah”. Turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah peneliti senior Pusat Kajian Sumberdaya dan Pesisi Lautan IPB, Budi Purwanto, Andrea Abdul Rahman pengajar di Universitas Pertahanan.

“Permendag Nomor 32 yang mewajibkan perdagangan timah melalui BKDI justru menciptakan kegagalan pasar atau market failure. Yang bersaing hanya anggota BKDI sedang pertambangan rakyat tersisihkan. Ini tidak menciptakan pasar persaingan sempurna,” kata Peneliti Senior Pusat Kajian Sumberdaya dan Pesisir Lautan IPB Budi Purwanto di Jakarta, Sabtu (17/5/2014).

Hal ini, menurut Budi, jelas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 yang menyebut bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Budi melanjutkan, dari hasil riset dan kajian di lapangan terungkap bahwa melalui Surat Edaran Bersama Nomor 046/SEB/BKDI-ISI/X/2013 perihal Ketentuan Transaksi Bonafide pada Perdagangan Timah Batangan, disebutkan bahwa penjual yang dapat melaksanakan transaksi bonafide wajib memiliki IUP dengan luas minimum 10 ribu hektar (ha). Ketentuan tersebut menurutnya jelas membunuh para pemilik izin pertambangan rakyat.

"Ini adalah salah satu dasar kami mensinyalir Permendag Nomor 32/MDAG/PER/6/2013 mendukung oligopoli dengan mendudukan BKDI sebagai pengelola tata niaga timah di Indonesia,” tandas Budi.

Padahal, larangan oligopoli jelas diatur dalam pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai kategori perjanjian yang dilarang.

Dia lebih gamblang menuturkan bahwa BKDI sebagai lembaga yang 100 persen sahamnya dimiliki 11 perusahaan akan selalu ingin mencari untung demi mempertahankan performa perusahaan. Melalui sebuah lembaga yang dikelola oleh PT. Identrust Security International (ISI) keuntungan tersebut menurutnya di kepada pemilik BKDI.

“Negara hanya mendapatkan potensi pendapatan dari PPN (pajak pertambahan nilai) dan PPh (pajak penghasilan lembaga) saja sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kehilangan potensi PNBP (penerimaan negara bukan pajak),” ungkap Budi.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8820 seconds (0.1#10.140)