Kelola ULN, BUMN dan Swasta Diminta Lebih Cermat
A
A
A
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, jika melihat dari masalah ekonomi yang terjadi di dalam negeri, tentunya ada dua hal yang paling berpengaruh saat ini. Yaitu jatuhnya pasar uang dan utang luar negeri (ULN) korporasi dalam negeri yang meningkat tajam.
"BI melihat kalau ada pemotongan anggaran Rp100 triliun, itu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 5,1-5,5%. Jadi hal itu sudah dalam range yang diperhitungkan BI. Inflasi juga mengarah pada target 2014. Sedangkan terkait dengan utang, memang harus diwaspadai karena utang dari korporasi, yaitu swasta maupun BUMN cenderung meningkat," ujarnya saat ditemui di BI, Jumat (23/5/2014).
Menurutnya, BI melihat masih banyak korporasi yang meminjam ULN dalam bentuk valas. Namun, penerimaannya dalam bentuk rupiah. Beberapa korporasi termasuk BUMN sudah pasti mengalami kerugian yang besar.
"Tahun lalu mengalami untung Rp3 triliun, terus jadi merugi Rp29 triliun. Yang tadinya masih rugi Rp300 miliar jadi rugi lagi Rp700 miliar," ujarnya.
Dia menjelaskan, BI sudah meminta sejak tahun lalu untuk melakukan perlindungan nilai. Peraturan sudah dikeluarkan, namun relatif tidak dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan termasuk BUMN.
"Dan kalau seandainya perusahaan-perusahaan itu tadinya untung kemudian rugi besar, tidak bisa hanya mengatakan karena perubahan nilai tukar," ujarnya.
Perusahaan seharusnya bisa mengantisipasi situasi dan harus tahu bahwa ada risiko nilai tukar, tingkat bunga, likuiditas dan lainnya.
"Saya ingin ingatkan untuk perusahaan BUMN, yang besar itu langsung risikonya kepada negara. Karena perusahaan BUMN sudah merupakan public company. Itu masih ada peran saham dari nonpemerintah. Tetapi jika perusahaan BUMN 100% dimiliki pemerintah atau negara, risikonya langsung kepada negara," ujarnya.
Untuk itu, lanjut Agus, pemerintah perlu memberi perhatian. Khususnya Menkeu dan pemerintah secara umum. Karena dampaknya bisa langsung kepada negara.
"Kalau kita lihat institusi, kita harapkan nilai institusi meningkat. Kalau perusahaan baru meningkat, tahu-tahu ada kerugian besar untuk sesuatu yang tidak perlu, pengelolaan harus diperbaiki. Perusahaan tidak bisa dibiarkan terus masuk dalam kondisi berisiko tinggi," pungkas dia.
"BI melihat kalau ada pemotongan anggaran Rp100 triliun, itu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 5,1-5,5%. Jadi hal itu sudah dalam range yang diperhitungkan BI. Inflasi juga mengarah pada target 2014. Sedangkan terkait dengan utang, memang harus diwaspadai karena utang dari korporasi, yaitu swasta maupun BUMN cenderung meningkat," ujarnya saat ditemui di BI, Jumat (23/5/2014).
Menurutnya, BI melihat masih banyak korporasi yang meminjam ULN dalam bentuk valas. Namun, penerimaannya dalam bentuk rupiah. Beberapa korporasi termasuk BUMN sudah pasti mengalami kerugian yang besar.
"Tahun lalu mengalami untung Rp3 triliun, terus jadi merugi Rp29 triliun. Yang tadinya masih rugi Rp300 miliar jadi rugi lagi Rp700 miliar," ujarnya.
Dia menjelaskan, BI sudah meminta sejak tahun lalu untuk melakukan perlindungan nilai. Peraturan sudah dikeluarkan, namun relatif tidak dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan termasuk BUMN.
"Dan kalau seandainya perusahaan-perusahaan itu tadinya untung kemudian rugi besar, tidak bisa hanya mengatakan karena perubahan nilai tukar," ujarnya.
Perusahaan seharusnya bisa mengantisipasi situasi dan harus tahu bahwa ada risiko nilai tukar, tingkat bunga, likuiditas dan lainnya.
"Saya ingin ingatkan untuk perusahaan BUMN, yang besar itu langsung risikonya kepada negara. Karena perusahaan BUMN sudah merupakan public company. Itu masih ada peran saham dari nonpemerintah. Tetapi jika perusahaan BUMN 100% dimiliki pemerintah atau negara, risikonya langsung kepada negara," ujarnya.
Untuk itu, lanjut Agus, pemerintah perlu memberi perhatian. Khususnya Menkeu dan pemerintah secara umum. Karena dampaknya bisa langsung kepada negara.
"Kalau kita lihat institusi, kita harapkan nilai institusi meningkat. Kalau perusahaan baru meningkat, tahu-tahu ada kerugian besar untuk sesuatu yang tidak perlu, pengelolaan harus diperbaiki. Perusahaan tidak bisa dibiarkan terus masuk dalam kondisi berisiko tinggi," pungkas dia.
(izz)