Industri Jasa Keuangan Kritik Pungutan OJK

Senin, 23 Juni 2014 - 19:07 WIB
Industri Jasa Keuangan Kritik Pungutan OJK
Industri Jasa Keuangan Kritik Pungutan OJK
A A A
JAKARTA - Pelaku industri jasa keuangan mengkritisi kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang belum dirasakan manfaatnya dalam satu tahun ini. Kebijakan pungutan mendapat banyak keluhan dari berbagai pihak yang dinilai memberatkan.

Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono mengatakan fungsi OJK sebagai regulator dalam industri jasa keuangan belum terlihat, namun justru membebani dengan adanya pungutan kepada industri. Peraturan OJK mewajibkan industri jasa keuangan termasuk perbankan dikenai pungutan sebesar 0,03%-0,45% dari aset.

"Hal ini cukup membebani industri perbankan. Apalagi perbankan merupakan kontributor utama penyumbang pungutan OJK. Saya harus jujur, belum tampak, belum kelihatan manfaatnya tapi malah beban," ujar Sigit saat acara Evaluasi 1 Tahun Manfaat OJK di Jakarta, Senin (24/6/2014).

Dia mengatakan, perbankan terkena dampak signifikan karena kontribusinya yang terbesar dalam pembayaran pungutan. Aset perbankan 2013 sekitar Rp5 ribu triliun, sehingga perkiraan pungutan mencapai Rp2,23 triliun.

"Yang meresahkan itu kita harus membayar, sementara kita belum mendapatkan manfaat tapi sudah dibebankan," ujarnya.

Dia melanjutkan OJK juga perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak pro industri. Dengan memisahkan pengawasan dari bank sentral memang berdampak pada tantangan yang lebih besar.

"Seperti di Australia, Korea, Inggris, Jepang sudah menerapkan itu, tapi lebih banyak yang tidak memisahkan. Memang harus kerja keras," ujarnya.

Dampaknya cukup besar karena terjadi tumpang tindih koordinasi antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi dan mengatur perbankan.

"Menurut saya perlu evaluasi soal pengawasan perbankan dikembalikan ke BI. Atau opsi lainnya seperti di Perancis, OJK tetap mengawasi lembaga keuangan secara independen, namun keputusan perlu melapor ke BI," terangnya.

Koordinasi tumpang tindih antara BI dan OJK seperti perbedaan target pertumbuhan kredit antara dua regulator tersebut. BI menghimbau kepada perbankan memperlambat laju pertumbuhan kredit sebesar 15%-17%, dengan pertimbangan pertumbah ekonomi dalam negeri yang terus melambat, serta risiko yang masih tinggi.Sementara, OJK mematok pertumbuhan kredit kepada perbankan lebih tinggi yakni 16%-18%, karena masih ada ruang perbankan untuk tetap menyalurkan kredit.

Sementara itu mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah menilai, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya akan membebani keuangan negara. Pasalnya, lembaga ini diyakini tidak akan menyelesaikan persoalan di industri keuangan secara baik.

“Apakah dengan dibentuknya OJK akan menjadi solusi bagi penanganan krisis yang sedang kita hadapi, saya rasa jawabannya, bukan. Karena pembentukan organisasi perlu mendapatkan pertimbangan para pakar dan membutuhkan sumber daya yang besar, sehingga OJK ini membebani keuangan negara saja,” ujar Burhanudin dalam kesempatan yang sama.

Sementara Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto mengungkapkan adanya pungutan OJK lebih pada ideologis filosofis. Partisipasi pelaku industri keuangan menghasilkan outlooknya regulasi dan supervisi yang lebih baik.

"Dan juga menyelesaikan adanya ketimpangan sub sektor misalnya antara industri keuangan dengan pasar modal, keuangan mikro dan non mikro," kata Rahmat menjelaskan.

Dia mengatakan, kantor perwakilan OJK di daerah-daerah masih menggunakan fasilitas Bank Indonesia (BI). Di dalam UU OJK disebutkan sumber pendanaan OJK berasal APBN dan pungutan.

"Kemampuan APBN memang terbatas namun di sektor jasa keuangan cukup berat bertumbuhnya dan membuat kompleksitas risiko cukup tinggi sehingga kebutuhan dana melakukan pengawasan cukup besar," terangnya.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3311 seconds (0.1#10.140)