Masyarakat Diminta Hati-hati Harga Obligasi Tak Wajar
A
A
A
JAKARTA - Direktur PT Penilaian Harga Efek Indonesia Wahyu Trenggono menyebutkan, saat ini sering terjadi kondisi transaksi perdagangan instrumen investasi seperti obligasi di pasar sekunder dengan harga tidak wajar.
"Misalnya begini, harga obligasi berada di angka 10, tetapi dijual di harga 12. Ini kan yang dibilang tidak wajar. Karena harga obligasi dijual lebih mahal dibandingkan harga semestinya" kata Wahyu saat edukasi wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (14/7/2014).
Dia menjelaskan, pada dasarnya transaksi bisa terjadi hanya didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak antara penjual dengan pembeli.
Namun, lanjut dia, tingginya permintaan akan instrumen investasi obligasi ini sering sekali tidak diimbangi dengan pemahaman yang cukup mengenai harga wajar dari obligasi yang diperdagangkan.
"Transaksi ini prinsipnya kata-kata kesepakatan. Bisa terjadi harganya tidak wajar, karena salah satu pihak tidak memahami berapa harga yang wajar dari sebuah instrumen obligasi yang ditransaksikan," tuturnya.
Akibat dari transaksi tidak wajar ini, tentu akan memberikan dampak kerugian secara material dari salah satu pihak yang melakukan transaksi tersebut. Dampaknya juga akan meluas pada instrumen investasi lain seperti reksa dana yang memasukkan obligasi sebagai portofolionya.
"Salah satu pasti ada yang dirugikan, satu lagi ada yang diuntungkan. Yang dirugikan karena saat membeli di harga yang lebih tinggi, 12 misalnya. Sementara ketika dijual kembali, ternyata harga pasarnya tidak setinggi itu. Akibatnya, uang yang sudah diinvestasikan tentu akan hilang karena ada selisih antara harga jual dan belinya," tandasnya.
Dampak negatif dari transaksi tidak wajar ini seperti terjadi pada 2005 yang lalu. Saat itu, masyarakat membeli produk reksa dana berbasis obligasi di harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga wajarnya.
"Akibatnya, nilai aset reksa dana turun hingga 70% sehingga mengakibatkan krisis reksa dana di 2005," pungkasnya.
"Misalnya begini, harga obligasi berada di angka 10, tetapi dijual di harga 12. Ini kan yang dibilang tidak wajar. Karena harga obligasi dijual lebih mahal dibandingkan harga semestinya" kata Wahyu saat edukasi wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (14/7/2014).
Dia menjelaskan, pada dasarnya transaksi bisa terjadi hanya didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak antara penjual dengan pembeli.
Namun, lanjut dia, tingginya permintaan akan instrumen investasi obligasi ini sering sekali tidak diimbangi dengan pemahaman yang cukup mengenai harga wajar dari obligasi yang diperdagangkan.
"Transaksi ini prinsipnya kata-kata kesepakatan. Bisa terjadi harganya tidak wajar, karena salah satu pihak tidak memahami berapa harga yang wajar dari sebuah instrumen obligasi yang ditransaksikan," tuturnya.
Akibat dari transaksi tidak wajar ini, tentu akan memberikan dampak kerugian secara material dari salah satu pihak yang melakukan transaksi tersebut. Dampaknya juga akan meluas pada instrumen investasi lain seperti reksa dana yang memasukkan obligasi sebagai portofolionya.
"Salah satu pasti ada yang dirugikan, satu lagi ada yang diuntungkan. Yang dirugikan karena saat membeli di harga yang lebih tinggi, 12 misalnya. Sementara ketika dijual kembali, ternyata harga pasarnya tidak setinggi itu. Akibatnya, uang yang sudah diinvestasikan tentu akan hilang karena ada selisih antara harga jual dan belinya," tandasnya.
Dampak negatif dari transaksi tidak wajar ini seperti terjadi pada 2005 yang lalu. Saat itu, masyarakat membeli produk reksa dana berbasis obligasi di harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga wajarnya.
"Akibatnya, nilai aset reksa dana turun hingga 70% sehingga mengakibatkan krisis reksa dana di 2005," pungkasnya.
(izz)