Ini Hitungan BK bagi Perusahaan yang Bangun Smelter
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menegaskan bahwa bea keluar (BK) bukan merupakan target penerimaan negara. Kebijakan ini dibuat agar perusahaan tambang berkomitmen dan dipaksa membangun pabrik pemurnian (smelter).
Pasalnya, setelah enam tahun dikeluarkannya UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, perusahaan tak kunjung membuktikan komitmennya untuk melakukan pemrosesan produk tambang tersebut. Lalu bagaimana hitungan BK bagi perusahaan yang siap membangun smelter?
Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mengungkapkan, jika perusahaan telah bersedia dan berkomitmen membangun smelter maka BK bisa diturunkan. Namun penurunan BK tersebut tetap harus mempertimbangkan sejauh mana perusahaan bisa mengekspor dan progress pembangunan smelter tetap terus jalan.
"Tetapi kita harus cari ditingkat mana perusahaan bisa ekspor, tetapi revenuenya juga jangan sampai diturunin terus dia enggak bangun lagi smelter-nya. Jadi dicari tengah-tengahnya. Jadi akhirnya dibuat cara, diturunkan sampai level dimana dia bisa ekspor, tetapi masih ada ruang dimana kita lihat progresnya," ujar dia di kantor Kemenkeu Jakarta, Senin (4/8/2014).
Lebih lanjut dia menyebutkan, setelah dibuat perhitungan oleh pemerintah maka bagi perusahaan yang sudah menyerahkan uang investasi pembangunan smelter sebesar 7,5% maka BK yang ditetapkan sebesar 7,5%. Sementara jika perusahaan telah menyerahkan uang investasi hingga 30%, maka BK yang ditetapkan adalah sebesar 5%.
"Nah point of now return-nya adalah 30%, jadi kalau perusahaan sudah taruh uangnya 30% itu enggak mungkin dia berhenti. Karena nilai investasinya sekitar Rp23 triliun hingga Rp25 triliun. Sekitar segitu untuk smelter itu. Jadi kalau 30% itu kan sekitar Rp8 triliun, enggak mungkinlah orang bangun Rp8 triliun trus dia diam saja. Jadi kalo begitu dia bisa nol," jelas Chatib.
Menurutnya, pemerintah akan me-review setiap enam bulan progress pembangunannya. Jika investasinya tidak bertambah dan tetap 7,5%, maka BK-nya pun tidak bisa diturunkan. Chatib mengucapkan, dengan diturunkannya BK dari 25% menjadi 7,5% maka pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan sebesar 7,5% dari besarnya ekspor yang dilakukan. Neraca perdagangan bulan Agustus pun bisa surplus.
"Karena ini kan konsentratnya sudah numpuk digudang, dia bisa langsung ekspor. Itu setahun USD5,3 billion. Jadi kalau misalnya tinggal setengah tahun aja kira-kira USD2,5 billion. Itu akan nurunin defisit dalam neraca perdagangan. Smelternya pun dibangun. Dulu kan waktu saya bilang smelter harus dibangun, dulu orang selalu bilang ini enggak mungkin. Kita pasti kalah, buktinya 2009-2014 nggak dibikin pada waktu itu. Padahal peraturannya sudah keluar. Makanya saya enggak mau itu terulang, pokoknya sampai dia bangun baru. Jadi gitu ceritanya bea keluar," papar dia.
Pasalnya, setelah enam tahun dikeluarkannya UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, perusahaan tak kunjung membuktikan komitmennya untuk melakukan pemrosesan produk tambang tersebut. Lalu bagaimana hitungan BK bagi perusahaan yang siap membangun smelter?
Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mengungkapkan, jika perusahaan telah bersedia dan berkomitmen membangun smelter maka BK bisa diturunkan. Namun penurunan BK tersebut tetap harus mempertimbangkan sejauh mana perusahaan bisa mengekspor dan progress pembangunan smelter tetap terus jalan.
"Tetapi kita harus cari ditingkat mana perusahaan bisa ekspor, tetapi revenuenya juga jangan sampai diturunin terus dia enggak bangun lagi smelter-nya. Jadi dicari tengah-tengahnya. Jadi akhirnya dibuat cara, diturunkan sampai level dimana dia bisa ekspor, tetapi masih ada ruang dimana kita lihat progresnya," ujar dia di kantor Kemenkeu Jakarta, Senin (4/8/2014).
Lebih lanjut dia menyebutkan, setelah dibuat perhitungan oleh pemerintah maka bagi perusahaan yang sudah menyerahkan uang investasi pembangunan smelter sebesar 7,5% maka BK yang ditetapkan sebesar 7,5%. Sementara jika perusahaan telah menyerahkan uang investasi hingga 30%, maka BK yang ditetapkan adalah sebesar 5%.
"Nah point of now return-nya adalah 30%, jadi kalau perusahaan sudah taruh uangnya 30% itu enggak mungkin dia berhenti. Karena nilai investasinya sekitar Rp23 triliun hingga Rp25 triliun. Sekitar segitu untuk smelter itu. Jadi kalau 30% itu kan sekitar Rp8 triliun, enggak mungkinlah orang bangun Rp8 triliun trus dia diam saja. Jadi kalo begitu dia bisa nol," jelas Chatib.
Menurutnya, pemerintah akan me-review setiap enam bulan progress pembangunannya. Jika investasinya tidak bertambah dan tetap 7,5%, maka BK-nya pun tidak bisa diturunkan. Chatib mengucapkan, dengan diturunkannya BK dari 25% menjadi 7,5% maka pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan sebesar 7,5% dari besarnya ekspor yang dilakukan. Neraca perdagangan bulan Agustus pun bisa surplus.
"Karena ini kan konsentratnya sudah numpuk digudang, dia bisa langsung ekspor. Itu setahun USD5,3 billion. Jadi kalau misalnya tinggal setengah tahun aja kira-kira USD2,5 billion. Itu akan nurunin defisit dalam neraca perdagangan. Smelternya pun dibangun. Dulu kan waktu saya bilang smelter harus dibangun, dulu orang selalu bilang ini enggak mungkin. Kita pasti kalah, buktinya 2009-2014 nggak dibikin pada waktu itu. Padahal peraturannya sudah keluar. Makanya saya enggak mau itu terulang, pokoknya sampai dia bangun baru. Jadi gitu ceritanya bea keluar," papar dia.
(gpr)