PHRI Jabar Keberatan Rencana Kenaikan Elpiji 12 Kg
A
A
A
BANDUNG - Rencana pemerintah menaikkan harga elpiji 12 kilogram (kg) dirasa memberatkan bagi pelaku perhotelan dan restoran. Apabila usulan Pertamina tersebut terwujud, maka akan berimbas pada peningkatan beban biaya pengeluaran.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat Herman Muchtar mengatakan, meski sebagian pelaku menggunakan tabung elpiji 50 kg, pihaknya tetap merasa keberatan dengan rencana kenaikan tersebut.
"Ada kekhawatiran, kalau terjadi kenaikan harga elpiji 12 kg akan juga diikuti kenaikan harga elpiji dengan ukuran yang lebih besar. Jelas akan menambah beban pengeluaran kami," ujarnya kepada wartawan, Senin (11/8/2014).
Menurutnya, kontribusi biaya kebutuhan gas cukup kecil atau hanya berkisar 3%-5% dari biaya operasional pengeluaran. Biaya gas akan membengkak tergantung dari volume penggunaan.
"Kenaikan elpiji 12 kg memang masih sebatas rencana, namun kami juga saat ini telah terbebani dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Biaya listrik berkontribusi sekitar 8% terhadap total pengeluaran," katanya.
Kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Kenaikan elpiji 12 kg, katanya, tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kenaikan harga sejumlah barang kebutuhan pokok.
"Kalau sudah begitu, okupansi perhotelan akan semakin berkurang karena masyarakat akan mengurangi anggaran untuk berwisata. Apalagi rata-rata okupansi hotel di Jabar saat ini cenderung rendah. Karena persaingannya sangat ketat terutama pada low season," tutur dia.
Akibatnya, para pelaku perhotelan dan restoran terpaksa menurunkan tarif pada moment tersebut dan hanya dapat menaikkan tarif pada peak season.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, perkembangan tingkat penghunian kamar (TPK) atau okupansi hotel periode Juni 2014 mencapai 44,64%, atau mengalami peningkatan dibandingkan bulan Mei sebesar 41,96%.
Pada hotel berbintang, TPK Juni 2014 mencapai 51,06% atau naik 5,6% dibandingkan periode Mei 2014 sebesar 45,46%. Hotel bintang lima menjadi yang tertinggi dengan capaian 71,91%, sedangkan hotel bintang tiga menjadi yang terendah dengan capaian 42,72%.
Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Jabar Dody Gunawan Yusuf mengatakan, terjadi penurunan 1,40 poin pada TPK hotel nonbintang yakni sebesar 35,84% di bawah TPK Mei sebesar 37,24%.
TPK tertinggi pada hotel dengan kelompok kamar 10-24 sebesar 37,30%, dan terendah pada kelompok kamar 100 sebesar 25,65%.
"Rata-rata tamu menginap di hotel bintang pada Juni 2014 yakni 1,60 hari dan di hotel nonbintang selama 1,24 hari," ujarnya.
Dody mengatakan, sebanyak 16.899 orang tamu masuk melalui Bandara Husein Sastranegara Bandung, naik 15,84% dibandingkan Mei 2014 yang mencapai 14.588.
Sementara, terjadi penurunan wisawatan yang datang melalui pelabuhan Muarajati Cirebon dari 137 orang pada Mei 2014 menjadi 43 orang pada Juni 2014.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat Herman Muchtar mengatakan, meski sebagian pelaku menggunakan tabung elpiji 50 kg, pihaknya tetap merasa keberatan dengan rencana kenaikan tersebut.
"Ada kekhawatiran, kalau terjadi kenaikan harga elpiji 12 kg akan juga diikuti kenaikan harga elpiji dengan ukuran yang lebih besar. Jelas akan menambah beban pengeluaran kami," ujarnya kepada wartawan, Senin (11/8/2014).
Menurutnya, kontribusi biaya kebutuhan gas cukup kecil atau hanya berkisar 3%-5% dari biaya operasional pengeluaran. Biaya gas akan membengkak tergantung dari volume penggunaan.
"Kenaikan elpiji 12 kg memang masih sebatas rencana, namun kami juga saat ini telah terbebani dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Biaya listrik berkontribusi sekitar 8% terhadap total pengeluaran," katanya.
Kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Kenaikan elpiji 12 kg, katanya, tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kenaikan harga sejumlah barang kebutuhan pokok.
"Kalau sudah begitu, okupansi perhotelan akan semakin berkurang karena masyarakat akan mengurangi anggaran untuk berwisata. Apalagi rata-rata okupansi hotel di Jabar saat ini cenderung rendah. Karena persaingannya sangat ketat terutama pada low season," tutur dia.
Akibatnya, para pelaku perhotelan dan restoran terpaksa menurunkan tarif pada moment tersebut dan hanya dapat menaikkan tarif pada peak season.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, perkembangan tingkat penghunian kamar (TPK) atau okupansi hotel periode Juni 2014 mencapai 44,64%, atau mengalami peningkatan dibandingkan bulan Mei sebesar 41,96%.
Pada hotel berbintang, TPK Juni 2014 mencapai 51,06% atau naik 5,6% dibandingkan periode Mei 2014 sebesar 45,46%. Hotel bintang lima menjadi yang tertinggi dengan capaian 71,91%, sedangkan hotel bintang tiga menjadi yang terendah dengan capaian 42,72%.
Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Jabar Dody Gunawan Yusuf mengatakan, terjadi penurunan 1,40 poin pada TPK hotel nonbintang yakni sebesar 35,84% di bawah TPK Mei sebesar 37,24%.
TPK tertinggi pada hotel dengan kelompok kamar 10-24 sebesar 37,30%, dan terendah pada kelompok kamar 100 sebesar 25,65%.
"Rata-rata tamu menginap di hotel bintang pada Juni 2014 yakni 1,60 hari dan di hotel nonbintang selama 1,24 hari," ujarnya.
Dody mengatakan, sebanyak 16.899 orang tamu masuk melalui Bandara Husein Sastranegara Bandung, naik 15,84% dibandingkan Mei 2014 yang mencapai 14.588.
Sementara, terjadi penurunan wisawatan yang datang melalui pelabuhan Muarajati Cirebon dari 137 orang pada Mei 2014 menjadi 43 orang pada Juni 2014.
(izz)