OJK Dorong Percepatan Program Inklusi Keuangan
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai program inklusi keuangan harus terus didorong untuk mempercepat perluasan akses layanan keuangan bagi masyarakat kurang mampu dan usaha mikro kecil (UMK).
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D hadad mengatakan, berbagai program kredit mikro yang diluncurkan dalam dua dekade terakhir terlihat belum optimal, tercermin dari Financial Inclusion Index Indonesia terakhir yang masih 20%, dan masih tergolong rendah di Asia.
Untuk itu, keberadaan OJK diharapkan dapat menjadi solusi persoalan ini, mengingat OJK memiliki kewenangan melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan, sehingga OJK memiliki dua kelebihan dalam mendorong program inklusi keuangan.
"Pertama, strategi/program inklusi keuangan dan monitoring pencapaiannya dapat dilakukan lebih komprehensif dan terintegrasi dari sisi supply, demand dan infrastructure," ujar Muliaman di Jakarta, Selasa (12/8/2014).
Kedua, dengan diamanatkannya OJK untuk melakukan edukasi dan perlindungan konsumen keuangan dan masyarakat, juga menjadi nilai tambah tersendiri untuk mengakselerasi lebih inklusifnya sektor keuangan khususnya sisi demand.
Menurutnya, pergeseran strategi dari microfinance ke financial inclusion dalam pengentasan kemiskinan membutuhkan perubahan paradigma tidak hanya perubahan istilah. Dia mengatakan, Indonesia sebagai salah satu perekonomian terbesar di Asia dan dunia dengan jumlah penduduk dan kondisi geografis yang tersebar memberikan tantangan yang tidak kecil bagi institusi keuangan bank dan non- bank.
"Pelaku usaha mikro kecil yang mencakup urang lebih 99% dari pelaku usaha yang ada di Indonesia belum seluruhnya mendapatkan layanan keuangan," imbuhnya.
Muliaman menekankan pentingnya program yang dirancang dan terkoordinasi dengan baik karena sistem keuangan inklusif tidak hanya berbicara bagaimana menyediakan kredit bagi masyarakat miskin dan UMK, namun memiliki tujuan mengurangi angka kemiskinan, melakukan distribusi pendapatan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan sustainable tanpa mengorbankan dan bahkan menopang stabilitas sistem keuangan.
Dia mengungkap, pergeseran paradigma tersebut tentunya akan menimbulkan peluang dan tantangan. Pertama, produk/jasa keuangan yang lebih beragam; kedua, platform baru; ketiga, terciptanya pasar baru; keempat, melibatkan pihak atau penyedia jasa baru.
"Pihak-pihak yang terlibat tidak hanya bank atau Lembaga Keuangan Mikro, tetapi juga bisa melibatkan pemerintah melalui program pro-rakyat miskin dan perusahaan telekomunikasi," jelas dia.
Sedangkan terakhir yakni tantangan baru untuk regulator. Bagaimana regulator dapat mengeluarkan kebijakan dan peraturan untuk mendorong financial inclusionyang berimbang antara aspek sosial dan aspek komersial dengan tetap tidak mengorbankan aspek kehati-hatian.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D hadad mengatakan, berbagai program kredit mikro yang diluncurkan dalam dua dekade terakhir terlihat belum optimal, tercermin dari Financial Inclusion Index Indonesia terakhir yang masih 20%, dan masih tergolong rendah di Asia.
Untuk itu, keberadaan OJK diharapkan dapat menjadi solusi persoalan ini, mengingat OJK memiliki kewenangan melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan, sehingga OJK memiliki dua kelebihan dalam mendorong program inklusi keuangan.
"Pertama, strategi/program inklusi keuangan dan monitoring pencapaiannya dapat dilakukan lebih komprehensif dan terintegrasi dari sisi supply, demand dan infrastructure," ujar Muliaman di Jakarta, Selasa (12/8/2014).
Kedua, dengan diamanatkannya OJK untuk melakukan edukasi dan perlindungan konsumen keuangan dan masyarakat, juga menjadi nilai tambah tersendiri untuk mengakselerasi lebih inklusifnya sektor keuangan khususnya sisi demand.
Menurutnya, pergeseran strategi dari microfinance ke financial inclusion dalam pengentasan kemiskinan membutuhkan perubahan paradigma tidak hanya perubahan istilah. Dia mengatakan, Indonesia sebagai salah satu perekonomian terbesar di Asia dan dunia dengan jumlah penduduk dan kondisi geografis yang tersebar memberikan tantangan yang tidak kecil bagi institusi keuangan bank dan non- bank.
"Pelaku usaha mikro kecil yang mencakup urang lebih 99% dari pelaku usaha yang ada di Indonesia belum seluruhnya mendapatkan layanan keuangan," imbuhnya.
Muliaman menekankan pentingnya program yang dirancang dan terkoordinasi dengan baik karena sistem keuangan inklusif tidak hanya berbicara bagaimana menyediakan kredit bagi masyarakat miskin dan UMK, namun memiliki tujuan mengurangi angka kemiskinan, melakukan distribusi pendapatan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan sustainable tanpa mengorbankan dan bahkan menopang stabilitas sistem keuangan.
Dia mengungkap, pergeseran paradigma tersebut tentunya akan menimbulkan peluang dan tantangan. Pertama, produk/jasa keuangan yang lebih beragam; kedua, platform baru; ketiga, terciptanya pasar baru; keempat, melibatkan pihak atau penyedia jasa baru.
"Pihak-pihak yang terlibat tidak hanya bank atau Lembaga Keuangan Mikro, tetapi juga bisa melibatkan pemerintah melalui program pro-rakyat miskin dan perusahaan telekomunikasi," jelas dia.
Sedangkan terakhir yakni tantangan baru untuk regulator. Bagaimana regulator dapat mengeluarkan kebijakan dan peraturan untuk mendorong financial inclusionyang berimbang antara aspek sosial dan aspek komersial dengan tetap tidak mengorbankan aspek kehati-hatian.
(rna)