Jateng Masih Kekurangan Bahan Baku Kayu
A
A
A
SEMARANG - Pemerintah Provinsi Jateng melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) terus mengupayakan untuk menjali kerja sama dengan daerah-daerah kantong penghasil kayu, untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk bahan industri.
Kepala Bidang Industri Agro, Kimia, dan Hasil Hutan Disperindag Jateng Ratna Kawuri mengatakan, Jawa Tengah masih kekurangan bahan baku kayu untuk industri mebel.
Dia mengatakan, kebutuhan kayu untuk industri mebel di Jateng setiap tahun mencapai 3-3,5 juta meter kubik, sedangkan kemampuan Jateng masih sekitar 400 ribu meter kubik per tahun, yang diperoleh dari perhutani dan hutan rakyat.
Bahan baku menjadi salah satu permasalahan industri mebel di Jawa Tengah. Kerjasama dengan beberapa daerah yang merupakan kantong bahan baku terus diupayakan guna menutup kekurangan.
“Kita terus mengupayakan untuk bekerjasama dengan daerah-daerah penghasil kayu baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa. Saat ini kita melakukan penjajakan ke kendari dan Papua serta Jambi” katanya, Rabu (20/8/2014).
Selain itu para pelaku bisnis mebel juga mulai melakukan diversifikasi. Mereka mulai memilah berbagai jeis kayu. Tidak terpaku hanya dengan kayu jati saja, kini juga sudah mulai dipakai kayu mangga, nangka dan lain-lain untuk industri mebel.
Kendati demikian, lanjutnya, masih ada kendala lain yang dikeluhkan oleh pengusaha kayu. Salah satunya adalah mereka merasa kesulitan dalam mengurus Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Dikatakannya, regulasi ini merupakan bentuk komitmen permerintah bahwa kayu-kayu yang diolah jadi mebel, benar-benar kayu yang bukan dari hutan konservasi. Artinya menjadi komitmen bahwa tidak ada kerusaka hutan karena pengolahan kayu.
Menurut Ketua Asosiasi pengusaha kayu olahan Indonesia (ISWA) Jateng, Wiradadi Soeprayogo mengaku, jumlah pelaku usaha mebel kurang lebih sekitar 2.500. Dengan jumlah otomatis kebutuhan kayu cukup banyak.
“Namun yang menjadi kendala justru adalah pengurusan SVLK, karena untuk mengurus sertifikat dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, selain itu juga pengusaha masih dibebani biaya pengecekan dan penelitian tiap tahun, yang dikenakan 75% dari biaya pengurusan SLVK,” ujarnya.
Oleh karena itu pihaknya berharap, pemerintah memberikan subsidi kepada pelaku usaha dalam proses sertifikasi, untuk mengurangi beban biaya.
Kepala Bidang Industri Agro, Kimia, dan Hasil Hutan Disperindag Jateng Ratna Kawuri mengatakan, Jawa Tengah masih kekurangan bahan baku kayu untuk industri mebel.
Dia mengatakan, kebutuhan kayu untuk industri mebel di Jateng setiap tahun mencapai 3-3,5 juta meter kubik, sedangkan kemampuan Jateng masih sekitar 400 ribu meter kubik per tahun, yang diperoleh dari perhutani dan hutan rakyat.
Bahan baku menjadi salah satu permasalahan industri mebel di Jawa Tengah. Kerjasama dengan beberapa daerah yang merupakan kantong bahan baku terus diupayakan guna menutup kekurangan.
“Kita terus mengupayakan untuk bekerjasama dengan daerah-daerah penghasil kayu baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa. Saat ini kita melakukan penjajakan ke kendari dan Papua serta Jambi” katanya, Rabu (20/8/2014).
Selain itu para pelaku bisnis mebel juga mulai melakukan diversifikasi. Mereka mulai memilah berbagai jeis kayu. Tidak terpaku hanya dengan kayu jati saja, kini juga sudah mulai dipakai kayu mangga, nangka dan lain-lain untuk industri mebel.
Kendati demikian, lanjutnya, masih ada kendala lain yang dikeluhkan oleh pengusaha kayu. Salah satunya adalah mereka merasa kesulitan dalam mengurus Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Dikatakannya, regulasi ini merupakan bentuk komitmen permerintah bahwa kayu-kayu yang diolah jadi mebel, benar-benar kayu yang bukan dari hutan konservasi. Artinya menjadi komitmen bahwa tidak ada kerusaka hutan karena pengolahan kayu.
Menurut Ketua Asosiasi pengusaha kayu olahan Indonesia (ISWA) Jateng, Wiradadi Soeprayogo mengaku, jumlah pelaku usaha mebel kurang lebih sekitar 2.500. Dengan jumlah otomatis kebutuhan kayu cukup banyak.
“Namun yang menjadi kendala justru adalah pengurusan SVLK, karena untuk mengurus sertifikat dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, selain itu juga pengusaha masih dibebani biaya pengecekan dan penelitian tiap tahun, yang dikenakan 75% dari biaya pengurusan SLVK,” ujarnya.
Oleh karena itu pihaknya berharap, pemerintah memberikan subsidi kepada pelaku usaha dalam proses sertifikasi, untuk mengurangi beban biaya.
(gpr)