Subsidi Listrik Memang Harus Dikurangi
A
A
A
JAKARTA - Lagi-lagi kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) mengerek tingkat inflasi Agustus 2014 meski nominalnya tidak terlalu signifikan. Inflasi Agustus tercatat 0,47%. Proyeksi media survei yang dilakukan Bloomberg menyebutkan inflasi Agustus 0,33%. Proyeksi itu tidak jauh dari Bank Indonesia yang mengestimasi inflasi di kisaran 0,3%.
Meski demikian, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai kenaikan indeks harga konsumen itu rendah dibandingkan periode sama tahun-tahun sebelumnya.
“Kalau dianut ke belakang sejak 2005, inflasi kali ini hanya kalah dari 2006. Ini karena masih ada dampak Lebaran. Artinya, pengendalian inflasi sudah bagus. Sepanjang tahun kalender, inflasi 3,42%, sedangkan secara tahunan 3,99%,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin.
Memang pemerintah telah menaikkan tarif listrik untuk enam golongan. Kategori rumah tangga dengan daya listrik 1.300 hingga 5.500 (R-1 dan R-2) kini telah merasakan kenaikan tarif listrik yang ditetapkan sejak 1 Juli lalu. Selain kelompok rumah tangga, pemerintah juga telah menghapus subsidi untuk kelompok industri I-3 non go public, pemerintah P-2 (di atas 200 kVA), dan penerangan jalan umum P-2 .
Tentu saja, dari enam golongan itu, kelompok rumah tangga yang akan terdampak cukup siginifikan. Kelompok ini mengalami kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,70% hingga 11,36%. Jika mengacu pada tagihanlistrik Agustus ini, tentu tagihan listriknya akan terus mengalami kenaikan, mengingat kebijakan penghapusan subsidi tahap ke-2 ini dilakukan secara berkala per dua bulanan. Pada September nanti, tagihan yang harus dibayar sebesar Rp409.745 dan November sebesar Rp452.481.
Melihat kenaikan tarif listrik ini, Andri Riswandi, Head of Consultant Indepth Research Consulting, lembaga riset untuk kebijakan publik, mengatakan bahwa penghapusan subsidi listrik untuk enam golongan itu memang harus dilakukan pemerintah sebagai salah satu langkah untuk mengurangi subsidi energi 2014.
Sebagaimana diketahui dalam APBN Perubahan 2014 telah ditetapkan subsidi energi Rp 350,31 triliun atau membengkak 24% dari APBN 2014 sebesar Rp 282,1 triliun, termasuk di dalamnya subsidi untuk listrik sebesar Rp 103,81 triliun.
"Penghapusan subsidi ini memang harus dilakukan untuk mengurangi subsidi energi tahun 2014," ujar Andri, Selasa (2/9/2014).
Penghapusan subsidi listrik yang berdampak pada kenaikan inflasi hanya 0,09% ini mampu menghemat pengeluaran Rp8,51 triliun. Rencananya, dana subsidi listrik ini akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur khususnya jaringan listrik ke desa-desa di tengah pertumbuhan konsumsi listrik yang telah mencapai 10%.
Alumni ITS Surabaya ini menegaskan, pembangunan infrastruktur listrik ini sangat penting terutama untuk menghasilkan sumber listrik yang memadai. Pasalnya, setiap 1% pertumbuhan tentu dibutuhkan sekitar 1,5% pertumbuhan suplai listrik.
Selama ini, peningkatan pertumbuhan konsumsi listrik tidak seimbang dengan pertumbuhan sarana kelistrikan, di samping ketidakpastian penyediaan gas dan investasi.
"Jadi, kalau saat ini masih sering terjadi pemadaman, itu menunjukkan cadangan listrik (selisih kapasitas terpasang dengan daya mampu) kita memang sangat tipis, kurang dari 35% beban puncak," jelasnya.
Di sisi lain, Andri melihat adanya dampak penyesuaian tarif listrik tahap kedua tahun ini. Dia mencatat ada 12 dari 37 golongan tarif yang sudah mencapai tarif keekonomian. Lalu ada 19% pelanggan dari 55,2 juta pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian.
Pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian, mengkonsumsi 66% listrik dari total penjualan 16,7 TWh per bulan. Terakhir, pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian, memberikan 77% revenue bagi PLN dari total revenue Rp15 triliun per bulan.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha mengatakan, kenaikan bertahap dua bulanan ini merupakan salah satu cara mengalihkan pola subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung kepada masyarakat. “Saya yakin langkah ini akan berhasil mengingat pola market listrik itu sangat segmented,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Karena segmented ini pula, kata politisi asal Fraksi Partai Golkar ini mengurangi subsidi listrik lebih mudah dibandingkan mengurangi subsidi BBM. Di sisi lain, Satya mengatakan, untuk menghemat pengeluaran negara, seharusnya pemerintah tidak bertumpu pada pengurangan subsidi listrik saja.
Menurutnya, masih ada cara lain untuk menekan pengeluaran negara dalam subsidi energi di mana telah melampaui Rp300 triliun tahun ini. Salah satunya mengefisiensikan pembangkit listrik. Pasalnya, biaya produksi listrik juga mempengaruhi besaran pengeluaran.
“Mestinya tidak semata-mata betumpu pada kenaikan tarif, tapi membangun pembangkit sendiri, menghindari kerugian operasional,” katanya.
Meski demikian, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai kenaikan indeks harga konsumen itu rendah dibandingkan periode sama tahun-tahun sebelumnya.
“Kalau dianut ke belakang sejak 2005, inflasi kali ini hanya kalah dari 2006. Ini karena masih ada dampak Lebaran. Artinya, pengendalian inflasi sudah bagus. Sepanjang tahun kalender, inflasi 3,42%, sedangkan secara tahunan 3,99%,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin.
Memang pemerintah telah menaikkan tarif listrik untuk enam golongan. Kategori rumah tangga dengan daya listrik 1.300 hingga 5.500 (R-1 dan R-2) kini telah merasakan kenaikan tarif listrik yang ditetapkan sejak 1 Juli lalu. Selain kelompok rumah tangga, pemerintah juga telah menghapus subsidi untuk kelompok industri I-3 non go public, pemerintah P-2 (di atas 200 kVA), dan penerangan jalan umum P-2 .
Tentu saja, dari enam golongan itu, kelompok rumah tangga yang akan terdampak cukup siginifikan. Kelompok ini mengalami kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,70% hingga 11,36%. Jika mengacu pada tagihanlistrik Agustus ini, tentu tagihan listriknya akan terus mengalami kenaikan, mengingat kebijakan penghapusan subsidi tahap ke-2 ini dilakukan secara berkala per dua bulanan. Pada September nanti, tagihan yang harus dibayar sebesar Rp409.745 dan November sebesar Rp452.481.
Melihat kenaikan tarif listrik ini, Andri Riswandi, Head of Consultant Indepth Research Consulting, lembaga riset untuk kebijakan publik, mengatakan bahwa penghapusan subsidi listrik untuk enam golongan itu memang harus dilakukan pemerintah sebagai salah satu langkah untuk mengurangi subsidi energi 2014.
Sebagaimana diketahui dalam APBN Perubahan 2014 telah ditetapkan subsidi energi Rp 350,31 triliun atau membengkak 24% dari APBN 2014 sebesar Rp 282,1 triliun, termasuk di dalamnya subsidi untuk listrik sebesar Rp 103,81 triliun.
"Penghapusan subsidi ini memang harus dilakukan untuk mengurangi subsidi energi tahun 2014," ujar Andri, Selasa (2/9/2014).
Penghapusan subsidi listrik yang berdampak pada kenaikan inflasi hanya 0,09% ini mampu menghemat pengeluaran Rp8,51 triliun. Rencananya, dana subsidi listrik ini akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur khususnya jaringan listrik ke desa-desa di tengah pertumbuhan konsumsi listrik yang telah mencapai 10%.
Alumni ITS Surabaya ini menegaskan, pembangunan infrastruktur listrik ini sangat penting terutama untuk menghasilkan sumber listrik yang memadai. Pasalnya, setiap 1% pertumbuhan tentu dibutuhkan sekitar 1,5% pertumbuhan suplai listrik.
Selama ini, peningkatan pertumbuhan konsumsi listrik tidak seimbang dengan pertumbuhan sarana kelistrikan, di samping ketidakpastian penyediaan gas dan investasi.
"Jadi, kalau saat ini masih sering terjadi pemadaman, itu menunjukkan cadangan listrik (selisih kapasitas terpasang dengan daya mampu) kita memang sangat tipis, kurang dari 35% beban puncak," jelasnya.
Di sisi lain, Andri melihat adanya dampak penyesuaian tarif listrik tahap kedua tahun ini. Dia mencatat ada 12 dari 37 golongan tarif yang sudah mencapai tarif keekonomian. Lalu ada 19% pelanggan dari 55,2 juta pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian.
Pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian, mengkonsumsi 66% listrik dari total penjualan 16,7 TWh per bulan. Terakhir, pelanggan yang sudah membayar listrik dengan tarif keekonomian, memberikan 77% revenue bagi PLN dari total revenue Rp15 triliun per bulan.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha mengatakan, kenaikan bertahap dua bulanan ini merupakan salah satu cara mengalihkan pola subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung kepada masyarakat. “Saya yakin langkah ini akan berhasil mengingat pola market listrik itu sangat segmented,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Karena segmented ini pula, kata politisi asal Fraksi Partai Golkar ini mengurangi subsidi listrik lebih mudah dibandingkan mengurangi subsidi BBM. Di sisi lain, Satya mengatakan, untuk menghemat pengeluaran negara, seharusnya pemerintah tidak bertumpu pada pengurangan subsidi listrik saja.
Menurutnya, masih ada cara lain untuk menekan pengeluaran negara dalam subsidi energi di mana telah melampaui Rp300 triliun tahun ini. Salah satunya mengefisiensikan pembangkit listrik. Pasalnya, biaya produksi listrik juga mempengaruhi besaran pengeluaran.
“Mestinya tidak semata-mata betumpu pada kenaikan tarif, tapi membangun pembangkit sendiri, menghindari kerugian operasional,” katanya.
(gpr)