SKK Migas: Nilai Cost Recovery Adalah Perencanaan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Edy Hermantoro mengatakan, cost recovery di dalam kamus SKK Migas, adalah hanya ancer-ancer atau perencanaan.
Menurutnya, karena itu hanya ancer-ancer, kalau suatu ketika harga naik, itu akan terlihat posisi positif negatifnya.
"Umpamanya gitu kan, jadi USD16 miliar, jadi kan bisa USD17 Miliar. Jadi itu kan masih nggak fix, harga mati juga enggak. Nanti kondisinya di pelaksanaannya di lapangan, itu ada yang enggak bisa jalan, terus budgetnya dikembalikan, kan ada kemungkinan seperti itu," ujarnya saat rapat panja di DPR Jakarta , Senin (22/9/2014).
Edy menambahkan, jika anggarannya tersisa, perumpamaannya adalah dalam konteks pekerjaan itu ada satu paket bernilai 100%. Jika di tengah jalan terjadi apa-apa dan ternyata hanya bisa menggunakan 50%, maka 50%-nya lagi akan dibawa.
"Jadi gini, cost recovery itu dalam konteks ini, di penerimaan itu kan terjadi lifting, penerimaan cost recovery itu enggak langsung dicocok kan. Bisa naik bisa turun, kalau ternyata pelaksanaannya enggak jalan kayak kasus Cepu, yang akhirnya mundur-mundur," ujarnya.
Namun Edy menambahkan, untuk angka USD16 miliar yang telah disepakati bersama Banggar DPR, itu kemungkinan tidak akan terjadi penambahan karena baru ancer-ancer saja.
"Umpamanya sekarang kita masuk ICP USD105, suatu ketika riilnya jadi USD110, nah itu kan sudah plus. Di situ berarti ada suatu tambahan. Jadi ini kan namanya baru asumsi ya, supaya dalam konteks seluruh penganggaran dari sisi pembelanjaan itu sudah pas," pungkasnya.
(Baca: Banggar DPR Tetapkan Cost Recovery Rp19,1 Triliun)
Menurutnya, karena itu hanya ancer-ancer, kalau suatu ketika harga naik, itu akan terlihat posisi positif negatifnya.
"Umpamanya gitu kan, jadi USD16 miliar, jadi kan bisa USD17 Miliar. Jadi itu kan masih nggak fix, harga mati juga enggak. Nanti kondisinya di pelaksanaannya di lapangan, itu ada yang enggak bisa jalan, terus budgetnya dikembalikan, kan ada kemungkinan seperti itu," ujarnya saat rapat panja di DPR Jakarta , Senin (22/9/2014).
Edy menambahkan, jika anggarannya tersisa, perumpamaannya adalah dalam konteks pekerjaan itu ada satu paket bernilai 100%. Jika di tengah jalan terjadi apa-apa dan ternyata hanya bisa menggunakan 50%, maka 50%-nya lagi akan dibawa.
"Jadi gini, cost recovery itu dalam konteks ini, di penerimaan itu kan terjadi lifting, penerimaan cost recovery itu enggak langsung dicocok kan. Bisa naik bisa turun, kalau ternyata pelaksanaannya enggak jalan kayak kasus Cepu, yang akhirnya mundur-mundur," ujarnya.
Namun Edy menambahkan, untuk angka USD16 miliar yang telah disepakati bersama Banggar DPR, itu kemungkinan tidak akan terjadi penambahan karena baru ancer-ancer saja.
"Umpamanya sekarang kita masuk ICP USD105, suatu ketika riilnya jadi USD110, nah itu kan sudah plus. Di situ berarti ada suatu tambahan. Jadi ini kan namanya baru asumsi ya, supaya dalam konteks seluruh penganggaran dari sisi pembelanjaan itu sudah pas," pungkasnya.
(Baca: Banggar DPR Tetapkan Cost Recovery Rp19,1 Triliun)
(gpr)