Menengok Kehidupan Perajin Terasi di Subang
A
A
A
SUBANG - Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar) tidak hanya dikenal masyarakat dengan buah nanasnya yang manis, tapi juga terasinya.
Bahkan, terasi Subang yang diproduksi warga Dusun Genteng Desa Patimban Kecamatan Pusakanagara ini mampu menembus pangsa pasar nasional di kawasan luar Pulau Jawa dan Jakarta. Di antaranya Kepulauan Sumatera.
"Kami biasa memasok terasi hingga ke Riau dan Batam. Peminatnya banyak," ungkap Tarjem, perajin terasi asal Dusun Genteng Desa Patimban kepada Koran Sindo, Senin (13/10/2014).
Mayoritas penduduk Dusun Genteng Desa Patimban dikenal berprofesi resmi sebagai nelayan. Sebagian besar merangkap sebagai perajin pembuatan terasi dan ikan asin.
Pofesi tambahan ini dilakoni mereka, karena selain didorong kebutuhan hidup, juga sekaligus memanfaatkan ketersediaan sumberdaya setempat, terutama ikan dan udang yang kerap berlimpah.
"Di sini ada lebih dari 40 keluarga yang menekuni pembuatan terasi. Kebanyakan mereka merangkap juga jadi pembuat ikan asin," tuturnya.
Terasi produksi Genteng ini memang cukup lama dikenal memiliki rasa enak dan gurih. Sebab berbahan dasar utama udang rebon dan ikan pepetek.
"Tapi bahan yang terbanyak itu udang rebon, komposisinya bisa nyampe 70% dari total bahan. Kami juga menyertakan beberapa bumbu agar kualitas rasa terasi lebih enak, seperti garam, penyedap rasa, gula dan bawang putih," kata perempuan yang 10 tahun lebih menggeluti usaha pembuatan terasi ini.
Dia memastikan, meski tanpa bahan pengawet, terasi ini bisa bertahan relatif lama, karena telah melalui proses pengeringan.
Menurutnya, proses pembuatan terasi dimulai dengan menjemur semua bahan dasar, yakni udang rebon dan ikan pepetek, hingga kering.
Terus, bahan tersebut digiling hingga halus dan dicampur bumbu, lalu dijemur lagi hingga kering. Kemudian, semua bahan campuran kembali digiling dan dicetak dengan ukuran siap edar, selanjutnya kembali dijemur.
"Setelah itu baru cetakan-cetakan terasi ini kami kemas. Kami lakukan pengeringan berkali-kali agar hasilnya bagus dan tahan lama," ujarnya.
Perajin lainnya yang merupakan anak Tarjem, Taswi menyebutkan, dalam sepekan keluarganya mampu memproduksi sekitar 50 kilogram terasi, yang dihasilkan dari satu kwintal udang rebon dicampur ikan pepetek.
Sebanyak 50 kilogram terasi ini selanjutnya dicetak ukuran kecil dengan kemasan siap edar. "Sekali mencetak bisa menghasilkan 300 terasi," kata Taswi.
Satu cetak terasi biasa dijual seharga Rp1.000. Meski tidak menyebut angka pasti, Taswi mengaku keuntungan dari hasil penjualan terasinya lebih dari cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari keluarganya, termasuk kebutuhan sekolah anak-anak mereka.
"Pokoknya keuntungannya lumayan," ujar dia seraya mengaku, meski pekerjaan pembuatan terasi sudah berlangsung lama, namun aktivitas itu belum tersentuh perhatian pemerintah setempat.
"Ya, kalau memang pemerintah mau bantu, saat ini yang kami perlukan itu modal dan peralatan, di antaranya mesin giling," pungkasnya.
Bahkan, terasi Subang yang diproduksi warga Dusun Genteng Desa Patimban Kecamatan Pusakanagara ini mampu menembus pangsa pasar nasional di kawasan luar Pulau Jawa dan Jakarta. Di antaranya Kepulauan Sumatera.
"Kami biasa memasok terasi hingga ke Riau dan Batam. Peminatnya banyak," ungkap Tarjem, perajin terasi asal Dusun Genteng Desa Patimban kepada Koran Sindo, Senin (13/10/2014).
Mayoritas penduduk Dusun Genteng Desa Patimban dikenal berprofesi resmi sebagai nelayan. Sebagian besar merangkap sebagai perajin pembuatan terasi dan ikan asin.
Pofesi tambahan ini dilakoni mereka, karena selain didorong kebutuhan hidup, juga sekaligus memanfaatkan ketersediaan sumberdaya setempat, terutama ikan dan udang yang kerap berlimpah.
"Di sini ada lebih dari 40 keluarga yang menekuni pembuatan terasi. Kebanyakan mereka merangkap juga jadi pembuat ikan asin," tuturnya.
Terasi produksi Genteng ini memang cukup lama dikenal memiliki rasa enak dan gurih. Sebab berbahan dasar utama udang rebon dan ikan pepetek.
"Tapi bahan yang terbanyak itu udang rebon, komposisinya bisa nyampe 70% dari total bahan. Kami juga menyertakan beberapa bumbu agar kualitas rasa terasi lebih enak, seperti garam, penyedap rasa, gula dan bawang putih," kata perempuan yang 10 tahun lebih menggeluti usaha pembuatan terasi ini.
Dia memastikan, meski tanpa bahan pengawet, terasi ini bisa bertahan relatif lama, karena telah melalui proses pengeringan.
Menurutnya, proses pembuatan terasi dimulai dengan menjemur semua bahan dasar, yakni udang rebon dan ikan pepetek, hingga kering.
Terus, bahan tersebut digiling hingga halus dan dicampur bumbu, lalu dijemur lagi hingga kering. Kemudian, semua bahan campuran kembali digiling dan dicetak dengan ukuran siap edar, selanjutnya kembali dijemur.
"Setelah itu baru cetakan-cetakan terasi ini kami kemas. Kami lakukan pengeringan berkali-kali agar hasilnya bagus dan tahan lama," ujarnya.
Perajin lainnya yang merupakan anak Tarjem, Taswi menyebutkan, dalam sepekan keluarganya mampu memproduksi sekitar 50 kilogram terasi, yang dihasilkan dari satu kwintal udang rebon dicampur ikan pepetek.
Sebanyak 50 kilogram terasi ini selanjutnya dicetak ukuran kecil dengan kemasan siap edar. "Sekali mencetak bisa menghasilkan 300 terasi," kata Taswi.
Satu cetak terasi biasa dijual seharga Rp1.000. Meski tidak menyebut angka pasti, Taswi mengaku keuntungan dari hasil penjualan terasinya lebih dari cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari keluarganya, termasuk kebutuhan sekolah anak-anak mereka.
"Pokoknya keuntungannya lumayan," ujar dia seraya mengaku, meski pekerjaan pembuatan terasi sudah berlangsung lama, namun aktivitas itu belum tersentuh perhatian pemerintah setempat.
"Ya, kalau memang pemerintah mau bantu, saat ini yang kami perlukan itu modal dan peralatan, di antaranya mesin giling," pungkasnya.
(izz)