Menyulap Limbah Bungkus Kopi Menjadi Pundi-pundi Uang
A
A
A
HABIS manis sepah dibuang. Itulah peribahasa yang mungkin pas diberikan untuk limbah bungkus kopi. Usai bubuk kopi digunakan, nasib selanjutnya bercampur di tempat pembuangan sampah.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Edy Fajar Prasetyo. Mahasiswa semester tujuh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini justru memanfaatkan limbah bungkus kopi disulap menjadi tas cantik.
Ditemui saat mengikuti workshop kewirausahaan Oneintwenty Movement di Auditorium Gedung Sindo, Edy menceritakan, usaha yang digelutinya sejak 2013 ini terinsipirasi sang guru, Ibu Aryanti yang mendirikan Kancil (Komunitas Anak Cinta Lingkungan).
Dia prihatin melihat tumpukan sampah yang dibiarkan begitu saja di sekitar kampus. Ide kreatif pun muncul untuk mengolahnya menjadi hal yang bermafaat.
"Banyak masalah yang enggak ditanganin. Pedagang banyak yang buang sampah berkilo-kilo," ujarnya.
Bisnis yang diberi label E-bi Bag atau Eco Bisnis Indonesia Bag ini merangkul ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar Stasiun Sudimara untuk turut serta dalam proses kreatifnya tersebut.
Edy menuturkan, di sekitar Stasiun Sudimara banyak ibu-ibu potensial dan produktif untuk diikutsertakan dalam aktivitas positif ini. Sebab itu, dia bekerja sama dengan kader lokal melakukan produksi barang.
"Kita juga ikut momentum BI (Bank Indonesia) penciptaan wirausaha baru berbasis lingkungan. Jadi kita coba inisiatif di situ," katanya.
Edy bersama empat orang temannya dan satu kader turut memberikan pelatihan kepada ibu-ibu PKK tentang bisnis berbasis lingkungan ini.
Melalui E-bi Institute dan kaderisasi ISIS (istri sukses idaman suami), Edy berhasil mencetak kaum ibu di lingkungan tersebut menghasilkan pundi rupiah dari anyaman bungkus kopi.
"Hitungannya belum gaji, baru upah atau insentif per pembuatan produk sama bagi hasil. Per produk biasanya 30:70. Itu ditambah beberapa produk, kita tambah upah. Insentifnya tergantung pembuatan produk," jelasnya.
Pria yang mengambil studi Agribisnis ini menyebutkan, usahanya tersebut tidak memerlukan modal besar. Bahkan, nyaris tanpa modal.
Dia hanya mengeluarkan Rp500.000 sebagai modal awal. Hal tersebut lantaran bahan baku pembuatan tas mudah ditemukan. Bekerja sama dengan bank sampah di Bogor dan Depok, dia selalu mendapat suplai bahan baku.
"Sumber bahan baku banyak, bisa dapat gratis. Fokusnya insentif ke upah perajin. Jadi, enggak sampai Rp500.000. Bahkan, bisa dibilang tanpa modal," ucapnya.
Produknya ini, lanjut Edy, dipasarkan melalui online dan offline. Dia memanfaatkan media sosial, seperti Instagram dan Twitter dengan akun @Ebi-bag, dan melalui website www.menebarmanfaat.com.
Edy mengaku sempat menitipkan barang dagangan ke kawannya yang mengikuti pameran di Korea. Selain itu, dia sempat mengikuti pameran di Universitas Padjajaran (Unpad), pameran di Bank Indonesia dan pameran dalam ajang APEC Expo di Kuta, Bali.
Dari produk yang dibanderolnya mulai dari Rp50.000 hingga Rp300.000 per buah ini, Edy dapat meraup keuntungan Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan.
"Kita enggak cuma dari produk (pemasukan), edukasi kita jual juga. Edukasi hijau, praktik prakarya limbah. Per bulan 2-3 juta. Fluktuatif, pemasukan lebih besar dari edukasi, sekitar 60:40," ungkapnya.
Menurut Edy, kendala yang sering dihadapi adalah mencari bungkus kopi yang serupa dalam jumlah banyak, SDM yang belum memadai, serta akses pasar masih sempit.
"Pasarnya spesifik. Anak kuliah tertarik, tapi ketika harganya enggak sesuai mereka enggak beli," ujarnya.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Edy Fajar Prasetyo. Mahasiswa semester tujuh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini justru memanfaatkan limbah bungkus kopi disulap menjadi tas cantik.
Ditemui saat mengikuti workshop kewirausahaan Oneintwenty Movement di Auditorium Gedung Sindo, Edy menceritakan, usaha yang digelutinya sejak 2013 ini terinsipirasi sang guru, Ibu Aryanti yang mendirikan Kancil (Komunitas Anak Cinta Lingkungan).
Dia prihatin melihat tumpukan sampah yang dibiarkan begitu saja di sekitar kampus. Ide kreatif pun muncul untuk mengolahnya menjadi hal yang bermafaat.
"Banyak masalah yang enggak ditanganin. Pedagang banyak yang buang sampah berkilo-kilo," ujarnya.
Bisnis yang diberi label E-bi Bag atau Eco Bisnis Indonesia Bag ini merangkul ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar Stasiun Sudimara untuk turut serta dalam proses kreatifnya tersebut.
Edy menuturkan, di sekitar Stasiun Sudimara banyak ibu-ibu potensial dan produktif untuk diikutsertakan dalam aktivitas positif ini. Sebab itu, dia bekerja sama dengan kader lokal melakukan produksi barang.
"Kita juga ikut momentum BI (Bank Indonesia) penciptaan wirausaha baru berbasis lingkungan. Jadi kita coba inisiatif di situ," katanya.
Edy bersama empat orang temannya dan satu kader turut memberikan pelatihan kepada ibu-ibu PKK tentang bisnis berbasis lingkungan ini.
Melalui E-bi Institute dan kaderisasi ISIS (istri sukses idaman suami), Edy berhasil mencetak kaum ibu di lingkungan tersebut menghasilkan pundi rupiah dari anyaman bungkus kopi.
"Hitungannya belum gaji, baru upah atau insentif per pembuatan produk sama bagi hasil. Per produk biasanya 30:70. Itu ditambah beberapa produk, kita tambah upah. Insentifnya tergantung pembuatan produk," jelasnya.
Pria yang mengambil studi Agribisnis ini menyebutkan, usahanya tersebut tidak memerlukan modal besar. Bahkan, nyaris tanpa modal.
Dia hanya mengeluarkan Rp500.000 sebagai modal awal. Hal tersebut lantaran bahan baku pembuatan tas mudah ditemukan. Bekerja sama dengan bank sampah di Bogor dan Depok, dia selalu mendapat suplai bahan baku.
"Sumber bahan baku banyak, bisa dapat gratis. Fokusnya insentif ke upah perajin. Jadi, enggak sampai Rp500.000. Bahkan, bisa dibilang tanpa modal," ucapnya.
Produknya ini, lanjut Edy, dipasarkan melalui online dan offline. Dia memanfaatkan media sosial, seperti Instagram dan Twitter dengan akun @Ebi-bag, dan melalui website www.menebarmanfaat.com.
Edy mengaku sempat menitipkan barang dagangan ke kawannya yang mengikuti pameran di Korea. Selain itu, dia sempat mengikuti pameran di Universitas Padjajaran (Unpad), pameran di Bank Indonesia dan pameran dalam ajang APEC Expo di Kuta, Bali.
Dari produk yang dibanderolnya mulai dari Rp50.000 hingga Rp300.000 per buah ini, Edy dapat meraup keuntungan Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan.
"Kita enggak cuma dari produk (pemasukan), edukasi kita jual juga. Edukasi hijau, praktik prakarya limbah. Per bulan 2-3 juta. Fluktuatif, pemasukan lebih besar dari edukasi, sekitar 60:40," ungkapnya.
Menurut Edy, kendala yang sering dihadapi adalah mencari bungkus kopi yang serupa dalam jumlah banyak, SDM yang belum memadai, serta akses pasar masih sempit.
"Pasarnya spesifik. Anak kuliah tertarik, tapi ketika harganya enggak sesuai mereka enggak beli," ujarnya.
(dmd)