Penggunaan Produk Dalam Negeri Minim

Senin, 17 November 2014 - 14:56 WIB
Penggunaan Produk Dalam...
Penggunaan Produk Dalam Negeri Minim
A A A
BATAM - Banyak instansi pemerintah, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD,) cenderung lebih suka menggunakan produk impor ketimbang produk dalam negeri.

Padahal pemerintah sudah banyak mengeluarkan peraturan untuk mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN), terutama untuk belanja yang menggunakan dana APBN.

“Misalnya, soal belanja alat kesehatan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang hanya 5% beli produk dalam negeri, padahal anggarannya mencapai sekitar Rp30 triliun,” kata Staf Ahli Menperin Bidang Pemasaran dan P3DN Ferry Yahya pada focus group discussion (FGD) tentang penggunaan produksi dalam negeri di Batam, Kepulauan Riau, akhir pekan lalu. Ia memperkirakan, total belanja barang/jasa pemerintah sendiri setiap tahun bisa mencapai lebih dari Rp400 triliun. Itu belum termasuk belanja BUMN/ BUMD, yang diperkirakan bisa mencapai Rp1.000 triliun.

“Kami terus berupaya P3DN ini bisa tumbuh, terutama dari belanja pemerintah, agar industri berkembang dan mampu menyerap tenaga kerja,” ujarnya. Diakui Ferry, tidak semua kebutuhan belanja pemerintah bisa dipenuhi industri nasional. Namun, barang/jasa yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri sepatutnya membeli produk/ jasa dalam negeri.

“Target kami setidaknya penggunaan produksi dalam negeri dari belanja pemerintah bisa mencapai 40%, agar industri bisa tumbuh, memberi lapangan pekerjaan yang banyak, dan menyejahterakan masyarakat,” ujarnya. Yang kerap menjadi alasan pengguna anggaran di instansi pemerintah, BUMN maupun BUMD, tidak membeli barang/ jasa dalam negeri adalah harga yang lebih mahal dari impor.

“Tuduhan itu tidak benar. Terbukti, produk dalam negeri bisa diekspor dan bersaing dengan harga produk luar negeri,” kata Ketua Asosiasi Produsen Pipa Pemboran Migas Indonesia (Apropipe) Willem Siahaya. Menurut dia, jika dibandingkan dengan produk impor, produk Indonesia lebih memberi kontribusi banyak di dalam negeri, mulai dari investasi, pajak (PPN, Pajak Pendapatan, dan PPh21), hingga konservasi lingkungan dan energi, pemberdayaan sumber daya manusia, serta corporate social responsibility( CSR).

“Kontribusi produk dalam negeri bobotnya bisa mencapai 43% untuk negeri ini, dibandingkan produk impor yang nol persen,” kata Willem. Oleh karena itu, lanjut Willem, harusnya pemerintah mengizinkan preferensi harga hingga 43% untuk produk/jasa dalam negeri yang telah memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 40% ketika mengikuti tender yang dibiayai negara.

Menanggapi hal itu, Ferry Yahya mengatakan bahwa pihaknya berencana menaikkan preferensi harga tender dari 15% menjadi 20-25% pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pemberdayaan Industri dan Pengamanan dan Penyelamatan Industri. “RPP-nya sudah siap, tinggal diharmonisasi antarkementerian,” ujarnya.

Bahkan, Ferry mengatakan pihaknya terus melakukan sosialisasi program P3DN ini, tidak saja ke instansi pemerintah, namun juga ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberi pemahaman keberpihakan penggunaan barang/ jasa dalam negeri pada belanja pemerintah. Jika itu terjadi, maka mau tidak mau untuk pengadaan barang dan jasa yang menggunakan APBN harus membeli karya dari negeri sendiri.

“Jangan malu nyatakan kita punya P3DN, karena faktanya hal yang sama juga berlaku dinegara lain, seperti Amerika Serikat yang memiliki buy American Act,” ujar Ferry. Pada 2009 pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 2 tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri untuk Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemudian berlanjut dengan Perpres Nomor 54/2010 Jo Perpres Nomor 70/2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Bahkan, sejak 2011 Kemenperin melalui Permenperin Nomor 16/M-IND/PER/2/2011 telah memberi ketentuan lebih rinci bagaimana menghitung tingkat komponen dalam negeri (TKDN) agar produk/jasa domestik bisa mendapat preferensi harga 15% yang diverifikasi langsung surveyor untuk mengikuti tender pemerintah.

Artinya, produk/jasa dalam negeri bisa memenangi tender pemerintah meskipun harganya 15% lebih mahal dari produk/ jasa sejenis yang berasal dari impor.

Sudarsono
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0658 seconds (0.1#10.140)