Integritas: Barang Langka?
A
A
A
Suatu kali saya berada dalam sebuah antrean mengisi bahan bakar kendaraan dalam perjalanan pulang ke rumah sehabis jam kantor. Sambil santai saya dengan sabar menanti giliran.
Sesaat kemudian kesantaian saya terganggu ketika memperhatikan sebuah mobil di depan saya melakukan sesuatu yang ganjil. Sang pengendara mobil tidak mengisi tangki kendaraannya, namun mengeluarkan uang lima ribu rupiah untuk menggantikan struk/bon yang dimintanya dari salah satu petugas wanita di SPBU tersebut.
Struk/bon yang diberikan adalah milik kendaraan-kendaraan sebelumnya yang tidak mengambil. Sejenak saya tercengang melihat situasi ini. Tidak sampai semenit, mobil tersebut meninggalkan lokasi. Ketika tiba giliran saya, rasa ingin tahu ini begitu besar sampai-sampai saya menanyakan kepada petugas tersebut tentang apa yang baru saja terjadi.
Dengan santai si petugas mengatakan bahwa hal tersebut sudah sangat sering terjadi dan sudah merupakan hal yang biasa. Wow! Satu kata tersebut terbesit di hati saya. Pada lain kesempatan, saya berada di sebuah toko elektronik dan komputer untuk membeli laptop dan printer . Setelah bernegosiasi dengan salah satu staf di toko tersebut, kami sepakat dengan harga tertentu dan kemudian barang disiapkan.
Ketika saya selesai membayar, staf ini kemudian menyiapkan kuitansi/nota pembelian barang sambil bertanya kepada saya berapa angka yang saya ingin dia tuliskan di nota tersebut. Sekali lagi, saya dibuat tercengang oleh situasi yang demikian. Saya meminta staf tersebut untuk menuliskan apa adanya saja, namun saya tetap bertanya untuk memuaskan rasa penasaran saya.
Saya menanyakan apakah memang biasanya staf tersebut menuliskan nota dengan angka yang lebih tinggi. Dengan santai, staf tersebut menjawab bahwa banyak yang sering minta untuk dituliskan angka yang lebih tinggi sekitar 20-30% dari harga sesungguhnya. ”Mark-up ”, begitulah istilah kerennya.
Sekali lagi kata ini melintas di kepala saya, Wow! Beberapa hari lalu saya baru saja berdiskusi dengan seorang rekan tentang apa yang membuat sebagian orang yang kami kenal memiliki tendensi untuk melanggar etika profesional atau etika bisnis. Sebagai contoh, ketika seseorang diberi keleluasaan jam kerja di kantor, tidak sedikit yang menyelewengkannya untuk kepentingan-kepentingan pribadi sehingga akhirnya berdampak pada kinerja.
Tidak sedikit juga yang bahkan dengan cuek menggunakan properti kantor untuk kepentingannya semata seperti berlamalama menggunakan telepon kantor menghubungi kerabat yang tidak ada relevansinya pekerjaan. Untuk kesekian kalinya, Wow! Sampailah kami pada kesimpulan bahwa orang-orang tipe ini tidak memiliki work ethic (etos kerja) yang baik.
Lalu dalam pembicaraan lanjutan, kami mulai melakukan background check (memeriksa latar belakang dan apa yang pernah dilakukan di waktu lampau) dari rekan-rekan yang kami tengarai memiliki work ethic yang kurang baik.
Kami menemukan konsistensi perilaku serupa dalam bentuk yang berbeda misalnya ketika mengenyam pendidikan rekanrekan tersebut cenderung meremehkan tugas dan tanggung jawab, seringkali memilih jalan pintas yang berseberangan dengan nilai integritas seperti menyontek, menyalin pekerjaan teman, dan sebagainya.
Beberapa contoh sederhana di atas menunjukkan gambar yang amat sangat jelas di depan mata saya betapa integritas saat ini menjadi barang langka. Padahal semua contoh yang saya singkap di atas hanyalah perkara kecil yang mungkin tidak terlalu perlu dihebohkan.
Namun, pikiran saya tidak bisa saya paksa untuk berhenti berkelana. Tiba-tiba saja saya berpikir, bagaimana kalau praktik korupsi seperti di SPBU (mengklaim biaya bahan bakar yang sesungguhnya tidak pernah terjadi) menjadi masif dan dilakukan lebih banyak orang lagi di negeri ini, bagaimana kalau praktik mark-up seperti di toko komputer terjadi dalam skala yang lebih masif dalam berbagai proyek pengadaan di negeri ini.
Ah, semua ini memang sudah terjadi dan bahkan sedang terjadi! Berapa banyak proyek di negeri ini yang menyeret banyak petinggi negara ke balik jeruji besi? Berapa banyak praktik suap dan korupsi melilit aparat negara? Wah, negeri ini sedang mengalami krisis! Bukan karena kondisi perekonomian, bukan karena harga bahan bakar yang naik, bukan karena harga-harga melambung pascakenaikan bahan bakar, melainkan semata karena kehilangan integritas untuk ihwal yang hakiki.
Ini memang bukan persoalan mudah. Ini semua dimulai dari pendidikan nilai dalam setiap insan bangsa ini. Apa pun profesi Anda saat ini, profesional atau pengusaha, atau pemangku jabatan publik, jadilah jujur dengan diri Anda sendiri. Berhenti memperkaya diri dengan cara-cara yang tidak benar.
Klaim apa yang Anda gunakan, bukan yang tidak Anda gunakan. Jauhkan diri dari praktik mark-up harga. Jadilah pribadi yang terhormat karena Anda memiliki integritas yang layak diacungi jempol. Salam Go To The Next Level!
Men jung, MM
Author – Go To The Next Level!
[email protected]
@menjung
Sesaat kemudian kesantaian saya terganggu ketika memperhatikan sebuah mobil di depan saya melakukan sesuatu yang ganjil. Sang pengendara mobil tidak mengisi tangki kendaraannya, namun mengeluarkan uang lima ribu rupiah untuk menggantikan struk/bon yang dimintanya dari salah satu petugas wanita di SPBU tersebut.
Struk/bon yang diberikan adalah milik kendaraan-kendaraan sebelumnya yang tidak mengambil. Sejenak saya tercengang melihat situasi ini. Tidak sampai semenit, mobil tersebut meninggalkan lokasi. Ketika tiba giliran saya, rasa ingin tahu ini begitu besar sampai-sampai saya menanyakan kepada petugas tersebut tentang apa yang baru saja terjadi.
Dengan santai si petugas mengatakan bahwa hal tersebut sudah sangat sering terjadi dan sudah merupakan hal yang biasa. Wow! Satu kata tersebut terbesit di hati saya. Pada lain kesempatan, saya berada di sebuah toko elektronik dan komputer untuk membeli laptop dan printer . Setelah bernegosiasi dengan salah satu staf di toko tersebut, kami sepakat dengan harga tertentu dan kemudian barang disiapkan.
Ketika saya selesai membayar, staf ini kemudian menyiapkan kuitansi/nota pembelian barang sambil bertanya kepada saya berapa angka yang saya ingin dia tuliskan di nota tersebut. Sekali lagi, saya dibuat tercengang oleh situasi yang demikian. Saya meminta staf tersebut untuk menuliskan apa adanya saja, namun saya tetap bertanya untuk memuaskan rasa penasaran saya.
Saya menanyakan apakah memang biasanya staf tersebut menuliskan nota dengan angka yang lebih tinggi. Dengan santai, staf tersebut menjawab bahwa banyak yang sering minta untuk dituliskan angka yang lebih tinggi sekitar 20-30% dari harga sesungguhnya. ”Mark-up ”, begitulah istilah kerennya.
Sekali lagi kata ini melintas di kepala saya, Wow! Beberapa hari lalu saya baru saja berdiskusi dengan seorang rekan tentang apa yang membuat sebagian orang yang kami kenal memiliki tendensi untuk melanggar etika profesional atau etika bisnis. Sebagai contoh, ketika seseorang diberi keleluasaan jam kerja di kantor, tidak sedikit yang menyelewengkannya untuk kepentingan-kepentingan pribadi sehingga akhirnya berdampak pada kinerja.
Tidak sedikit juga yang bahkan dengan cuek menggunakan properti kantor untuk kepentingannya semata seperti berlamalama menggunakan telepon kantor menghubungi kerabat yang tidak ada relevansinya pekerjaan. Untuk kesekian kalinya, Wow! Sampailah kami pada kesimpulan bahwa orang-orang tipe ini tidak memiliki work ethic (etos kerja) yang baik.
Lalu dalam pembicaraan lanjutan, kami mulai melakukan background check (memeriksa latar belakang dan apa yang pernah dilakukan di waktu lampau) dari rekan-rekan yang kami tengarai memiliki work ethic yang kurang baik.
Kami menemukan konsistensi perilaku serupa dalam bentuk yang berbeda misalnya ketika mengenyam pendidikan rekanrekan tersebut cenderung meremehkan tugas dan tanggung jawab, seringkali memilih jalan pintas yang berseberangan dengan nilai integritas seperti menyontek, menyalin pekerjaan teman, dan sebagainya.
Beberapa contoh sederhana di atas menunjukkan gambar yang amat sangat jelas di depan mata saya betapa integritas saat ini menjadi barang langka. Padahal semua contoh yang saya singkap di atas hanyalah perkara kecil yang mungkin tidak terlalu perlu dihebohkan.
Namun, pikiran saya tidak bisa saya paksa untuk berhenti berkelana. Tiba-tiba saja saya berpikir, bagaimana kalau praktik korupsi seperti di SPBU (mengklaim biaya bahan bakar yang sesungguhnya tidak pernah terjadi) menjadi masif dan dilakukan lebih banyak orang lagi di negeri ini, bagaimana kalau praktik mark-up seperti di toko komputer terjadi dalam skala yang lebih masif dalam berbagai proyek pengadaan di negeri ini.
Ah, semua ini memang sudah terjadi dan bahkan sedang terjadi! Berapa banyak proyek di negeri ini yang menyeret banyak petinggi negara ke balik jeruji besi? Berapa banyak praktik suap dan korupsi melilit aparat negara? Wah, negeri ini sedang mengalami krisis! Bukan karena kondisi perekonomian, bukan karena harga bahan bakar yang naik, bukan karena harga-harga melambung pascakenaikan bahan bakar, melainkan semata karena kehilangan integritas untuk ihwal yang hakiki.
Ini memang bukan persoalan mudah. Ini semua dimulai dari pendidikan nilai dalam setiap insan bangsa ini. Apa pun profesi Anda saat ini, profesional atau pengusaha, atau pemangku jabatan publik, jadilah jujur dengan diri Anda sendiri. Berhenti memperkaya diri dengan cara-cara yang tidak benar.
Klaim apa yang Anda gunakan, bukan yang tidak Anda gunakan. Jauhkan diri dari praktik mark-up harga. Jadilah pribadi yang terhormat karena Anda memiliki integritas yang layak diacungi jempol. Salam Go To The Next Level!
Men jung, MM
Author – Go To The Next Level!
[email protected]
@menjung
(bbg)