Hakim Pengadilan Pajak Harus Adil dan Independen
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Hukum Pajak FH Universitas Hassanudin M Djafar Saidi mengungkapkan, dalam putusan majelis hakim Pengadilan Pajak pada dua anak perusahaan Asian Agri Group (AAG), PT Rigunas Agri Utama dan PT Raja Garuda Mas Sejati, menurutnya salah.
Hal ini karena penyelesaian sengketa pajak memiliki hukum formal tersendiri. Pengadilan Pajak punya hukum acara tersendiri seperti diatur dengan UU KUP, UU Penagihan pajak dengan surat paksa, dan jangan lupa UU tentang PP sendiri (UU No. 14/2002) ada hukum acara di situ.
“Jadi sama sekali tidak ada celah untuk menggunakan dasar hukum lain karena sudah detil sekali. Khususnya mengacu pada UU KUP Pasal 25 yang menyatakan WP berhak mengajukan keberatan atas SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) yang diterbitkan Ditjen Pajak,” papar Djafar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/12/2014).
Djafar mengibaratkan kamar yang dipakai salah karena seharusnya tidak di situ dan hal itu terjadi karena kesalahan hakim.
“Itu saya bilang sumberdaya hakim di Pengadilan Pajak harus membenahi diri. Artinya harus kembali belajar tentang hukum pajak karena di sana adalah soal profesi atau keahlian,” ujarnya.
Selama Pengadilan Pajak tidak membenahi sumberdayanya hakimnya, tegas Djafar, maka penegakan hukum pajak itu akan terus abnormal. Artinya, lanjut dia, Pengadilan Pajak tidak memberikan suatu keadilan sesuai harapan meskipun ada kepastian hukum.
“Mestinya yang diprioritaskan adalah memberikan keadilan kepada WP. Hakim seharusnya bertindak independen dan tidak memihak pada pemerintah,” ucapnya.
Pengadilan Pajak, kata Djafar, merupakan tempat mencari keadilan di bidang pajak, di mana para hakimnya adalah wakil-wakil Tuhan yang menguasai hukum secara baik dan benar, secara filosofis, teoritis, norma dan implementasinya.
“Benteng terakhir penyelesaian sengketa pajak itu pada hakekatnya ada di pengadilan pajak, meskipun ada upaya peninjauan kembali (PK). Jadi seharusnya pengadilan pajaklah yang benar-benar meneliti, memeriksa, dan menerapkan aturan yang sesuai dengan kasus itu,” tandasnya.
Hal ini karena penyelesaian sengketa pajak memiliki hukum formal tersendiri. Pengadilan Pajak punya hukum acara tersendiri seperti diatur dengan UU KUP, UU Penagihan pajak dengan surat paksa, dan jangan lupa UU tentang PP sendiri (UU No. 14/2002) ada hukum acara di situ.
“Jadi sama sekali tidak ada celah untuk menggunakan dasar hukum lain karena sudah detil sekali. Khususnya mengacu pada UU KUP Pasal 25 yang menyatakan WP berhak mengajukan keberatan atas SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) yang diterbitkan Ditjen Pajak,” papar Djafar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/12/2014).
Djafar mengibaratkan kamar yang dipakai salah karena seharusnya tidak di situ dan hal itu terjadi karena kesalahan hakim.
“Itu saya bilang sumberdaya hakim di Pengadilan Pajak harus membenahi diri. Artinya harus kembali belajar tentang hukum pajak karena di sana adalah soal profesi atau keahlian,” ujarnya.
Selama Pengadilan Pajak tidak membenahi sumberdayanya hakimnya, tegas Djafar, maka penegakan hukum pajak itu akan terus abnormal. Artinya, lanjut dia, Pengadilan Pajak tidak memberikan suatu keadilan sesuai harapan meskipun ada kepastian hukum.
“Mestinya yang diprioritaskan adalah memberikan keadilan kepada WP. Hakim seharusnya bertindak independen dan tidak memihak pada pemerintah,” ucapnya.
Pengadilan Pajak, kata Djafar, merupakan tempat mencari keadilan di bidang pajak, di mana para hakimnya adalah wakil-wakil Tuhan yang menguasai hukum secara baik dan benar, secara filosofis, teoritis, norma dan implementasinya.
“Benteng terakhir penyelesaian sengketa pajak itu pada hakekatnya ada di pengadilan pajak, meskipun ada upaya peninjauan kembali (PK). Jadi seharusnya pengadilan pajaklah yang benar-benar meneliti, memeriksa, dan menerapkan aturan yang sesuai dengan kasus itu,” tandasnya.
(gpr)