Sertifikasi RSPO Dinilai Untungkan Asing
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia telah memiliki Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia. Karena itu, tak perlu lagi adanya (RSPO) Roundtable Sustainable Palm Oil.
Sebab, lembaga ini dinilai hanya membebani produsen sawit, terutama kalangan petani sawit. “Untuk mendapatkan sertifikat (RSPO) itu tidak mudah. Bayangkan, petani sawit yang kecil-kecil yang banyak tersebar itu, mau duit dari mana mereka memodali untuk bisa dapat sertifikat tersebut,” kata Maruli Gultom, pengamat persawitan pada acara Seminar Nasional Sertifikasi Minyak Sawit: Membuka Akses Pasar Global dan Peningkatan Kesejahteraan Petani di Jakarta, kemarin.
Tak hanya itu, Maruli menilai keberadaan lembaga penerbit sertifikat tersebut tidaklah membawa semangat menaikkan perekonomian Indonesia. Bahkan, lembaga tersebut hanya mengedepankan kepentingan asing untuk mengebiri industri sawit nasional.
“Semangat siapa yang mereka bawa. Apa yang mereka lakukan itu jelas-jelas merugikan petani sawit Indonesia. Coba ditelaah, siapa yang diuntungkan kalau sawit Indonesia tidak masuk pasar Eropa, Amerika dan negara-negara besar lainnya,” sambung Maruli. Kalaupun produk minyak sawit Indonesia akan disertifikasi, Maruli mengatakan, masih ada ISPO yang merupakan produk pemerintah Indonesia. Maruli menegaskan, seluruh aspek yang disyaratkan oleh ISPO jelas untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
“Jadi, kita serukan seluruh pelaku usaha sawit untuk keluar dari RSPO. Kan sudah ada yang dari pemerintah kita. Sudah jelas apa yang dikeluarkan oleh pemerintah kita berupa ISPO. Kepentingannya adalah untuk negara kita, tidak seperti yang dihasilkan oleh lembaga asing itu,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Harian ISPO Rosediana Suharto mengatakan, Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) tidak mengatur tata kelola kebun sawit yang ada di Indonesia. Sehingga, jika ada negara calon pembeli minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) Indonesia yang menerapkan aturan standar produksi, hal itu hanya untuk menghambat pemasaran CPO.
“Yang terjadi saat ini bukanlah standar produksi minyak sawitnya. Itu tidak ada dalam aturan di World Trade Organization (WTO),” kata Rosediana. Rosediana mengimbau agar seluruh pelaku usaha bidang kelapa sawit tidak usah mengikuti aturan yang dibuat calon pembeli. Sebab, jika seluruh produsen minyak sawit di Tanah Air kompak, tentunya calon pembeli itulah yang akan mencari CPO Indonesia.
“Jangan ikuti aturan pembeli, kalau kita semua kompak untuk tidak mengikuti peraturan yang mereka buat sendiri, tentu mereka yang akan mencari-mencari produk kita,” katanya. Sertifikasi menjamin pasar produk sawit Indonesia, sehingga membantu meningkatkan kesejahteraan petani dan meningkatkan perekonomian di pedesaan.
Oleh karena itu, Rosediana meminta kalangan industri sawit di Tanah Air untuk segera ikut mendapatkan sertifikat ISPO. Menurut Roesdiana, dari 127 perusahaan di Indonesia yang sudah mendaftar, baru 63 perusahaan sawit yang telah resmi mendapatkan sertifikasi.
Apabila hingga akhir 2014 perusahaan tersebut belum memperlihatkan keinginan untuk mendapatkan sertifikasi ISPO, maka diberikan tenggat waktu sampai 1,5 tahun ke depan terhitung mulai awal 2015 mendatang. “Apabila dalam kurun waktu 1,5 tahun tidak ada keinginan untuk sertifikasi, maka IUP-nya (Izin Usaha Perkebunan) akan dicabut,” ujar Roesdiana.
Saat ini sudah ada 30 perusahaan lagi yang sedang dalam proses untuk sertifikasi dan diharapkan sampai akhir tahun ini ada 100 perusahaan yang mendapatkan sertifikasi ISPO.
Sudarsono
Sebab, lembaga ini dinilai hanya membebani produsen sawit, terutama kalangan petani sawit. “Untuk mendapatkan sertifikat (RSPO) itu tidak mudah. Bayangkan, petani sawit yang kecil-kecil yang banyak tersebar itu, mau duit dari mana mereka memodali untuk bisa dapat sertifikat tersebut,” kata Maruli Gultom, pengamat persawitan pada acara Seminar Nasional Sertifikasi Minyak Sawit: Membuka Akses Pasar Global dan Peningkatan Kesejahteraan Petani di Jakarta, kemarin.
Tak hanya itu, Maruli menilai keberadaan lembaga penerbit sertifikat tersebut tidaklah membawa semangat menaikkan perekonomian Indonesia. Bahkan, lembaga tersebut hanya mengedepankan kepentingan asing untuk mengebiri industri sawit nasional.
“Semangat siapa yang mereka bawa. Apa yang mereka lakukan itu jelas-jelas merugikan petani sawit Indonesia. Coba ditelaah, siapa yang diuntungkan kalau sawit Indonesia tidak masuk pasar Eropa, Amerika dan negara-negara besar lainnya,” sambung Maruli. Kalaupun produk minyak sawit Indonesia akan disertifikasi, Maruli mengatakan, masih ada ISPO yang merupakan produk pemerintah Indonesia. Maruli menegaskan, seluruh aspek yang disyaratkan oleh ISPO jelas untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
“Jadi, kita serukan seluruh pelaku usaha sawit untuk keluar dari RSPO. Kan sudah ada yang dari pemerintah kita. Sudah jelas apa yang dikeluarkan oleh pemerintah kita berupa ISPO. Kepentingannya adalah untuk negara kita, tidak seperti yang dihasilkan oleh lembaga asing itu,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Harian ISPO Rosediana Suharto mengatakan, Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) tidak mengatur tata kelola kebun sawit yang ada di Indonesia. Sehingga, jika ada negara calon pembeli minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) Indonesia yang menerapkan aturan standar produksi, hal itu hanya untuk menghambat pemasaran CPO.
“Yang terjadi saat ini bukanlah standar produksi minyak sawitnya. Itu tidak ada dalam aturan di World Trade Organization (WTO),” kata Rosediana. Rosediana mengimbau agar seluruh pelaku usaha bidang kelapa sawit tidak usah mengikuti aturan yang dibuat calon pembeli. Sebab, jika seluruh produsen minyak sawit di Tanah Air kompak, tentunya calon pembeli itulah yang akan mencari CPO Indonesia.
“Jangan ikuti aturan pembeli, kalau kita semua kompak untuk tidak mengikuti peraturan yang mereka buat sendiri, tentu mereka yang akan mencari-mencari produk kita,” katanya. Sertifikasi menjamin pasar produk sawit Indonesia, sehingga membantu meningkatkan kesejahteraan petani dan meningkatkan perekonomian di pedesaan.
Oleh karena itu, Rosediana meminta kalangan industri sawit di Tanah Air untuk segera ikut mendapatkan sertifikat ISPO. Menurut Roesdiana, dari 127 perusahaan di Indonesia yang sudah mendaftar, baru 63 perusahaan sawit yang telah resmi mendapatkan sertifikasi.
Apabila hingga akhir 2014 perusahaan tersebut belum memperlihatkan keinginan untuk mendapatkan sertifikasi ISPO, maka diberikan tenggat waktu sampai 1,5 tahun ke depan terhitung mulai awal 2015 mendatang. “Apabila dalam kurun waktu 1,5 tahun tidak ada keinginan untuk sertifikasi, maka IUP-nya (Izin Usaha Perkebunan) akan dicabut,” ujar Roesdiana.
Saat ini sudah ada 30 perusahaan lagi yang sedang dalam proses untuk sertifikasi dan diharapkan sampai akhir tahun ini ada 100 perusahaan yang mendapatkan sertifikasi ISPO.
Sudarsono
(ars)