Daya saing Industri Topang Ekonomi

Rabu, 17 Desember 2014 - 09:48 WIB
Daya saing Industri Topang Ekonomi
Daya saing Industri Topang Ekonomi
A A A
Manufaktur menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sejarah telah membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bergantung pada sektor industri, terutama manufaktur.

Pada era 1990-an, ketika kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) hampir 30%, pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh 8%. Sayangnya, pascakrisis 1998 terjadi deindustrialisasi dan kontribusi manufaktur menurun jauh. “Saat ini kontribusi manufaktur paling 22%,” ujar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Rabu (10/12).

Menurut Bambang, selama perkembangan manufaktur masih tertatih-tatih, akan sulit bagi Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi menjadi di atas 6%. Dengan kata lain, reindustrialisasi ekonomi harus dilakukan jika pemerintahan Jokowi-JK ingin mewujudkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.

“Saya khawatir kalau manufaktur kita begini-begini saja, maka pertumbuhan ekonomi kita juga begini-begini saja,” cetusnya. Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan, kemudahan perizinan dan investasi menjadi hal penting untuk mendorong tumbuhnya industri-industri manufaktur baru.

Sebagai mantan pengusaha, Franky memahami sumbatan-sumbatan yang menyebabkan proses bisnis dan perizinan berjalan lamban. Dia mencontohkan standard operating procedure (SOP) untuk mendirikan manufaktur bisa menghabiskan waktu hampir 700 hari.

“Itu dulu yang akan saya beresi. Terhitung 15 Desember 2014 semua layanan perizinan dan nonperizinan oleh BKPM dilakukan secara onlin. Kita ucapkan selamat tinggal pada cara lama (tatap muka),” ujarnya. Adapun industri manufaktur yang potensial dikembangkan pada 2015, Bambang yakin manufaktur berbasis sumber daya alam masih menjanjikan.

Akan tetapi, dalam hal ini yang harus ditekankan adalah hilirisasi sehingga mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah atau komoditas seperti hasil tambang dan perkebunan. “Daripada ekspor karet mentah, mending ekspor sarung tangan dari karet. Contohnya Malaysia yang mengembangkan sarung tangan karet. Dengan merebaknya wabah ebola di Afrika, permintaan sarung tangan meningkat,” sebutnya.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menambahkan, target ekspor hingga 2019 bertumpu pada produk manufaktur. Peningkatan ekspor dilakukan dengan fokus pada produk elektronik, tekstil dan produk tekstil, produk kimia, produk kayu dan furnitur, dan produk logam. Produkproduk tersebut memiliki permintaan dunia tinggi dan merupakan produk bernilai tambah tinggi berbasis industri, serta sektor berbasis tenaga kerja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berharap investasi pada 2015 tidak hanya didominasi perusahaan padat modal, melainkan juga padat karya. Pasalnya, penyediaan lapangan kerja sangat penting. Pada saat yang sama dia berharap pemerintah daerah (pemda) bisa bekerja sama dan memiliki kesamaan visi dengan pemerintah pusat.

“Pemda ini kadang bikin kacau, jalan pikiran mereka beda dengan pemerintah pusat. Selalu mengambil posisi populis sehingga perusahaan dirugikan oleh kebijakan pemda. Mestinya pemda memberi sinyal positif,” keluhnya. Lebih lanjut Hariyadi menambahkan, persoalan tarif listrik, upah minimum, dan tingginya ongkos logistik masih akan menjadi tantangan yang memberatkan bagi industri di tahun depan.

Di sisi lain, daya saing harus dijaga dan ditingkatkan mengingat 2015 adalah gerbang menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). “Mereka (produk dari negara-negara ASEAN) akan datang dengan harga kompetitif. Kalau daya saing produk kita rendah, bagaimana mau bersaing?” cetusnya.

Terkait ketersediaan energi listrik bagi industri, Hariyadi mengkhawatirkan adanya penurunan kapasitas pasokan. Jika hal ini terjadi bisa berdampak pada banyaknya industri yang tutup dan pelakunya memilih menjadi pedagang. “Padahal kita kan inginnya mendorong manufaktur kita yang sekarang ini sedang turun,” ucapnya.

Ketua Komite Tetap bidang Produktivitas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Gunadi Sindhuwinata membenarkan bahwa pasokan listrik dan gas masih menjadi masalah bagi industri. Karenanya pemerintah harus memberi perhatian serius. Tantangan besar lainnya adalah terkait rantai pasok dan sistem logistik yang tidak efisien dikarenakan kemacetan dan tidak memadainya infrastruktur.

“Beban biaya produksi menjadi tinggi, suplai butuh biaya dua kali lipat dari yang seharusnya. Lalu, bagaimana kita mau berdaya saing? Itu salah satu faktor yang menjadikan kita lemah,” ujarnya. Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) itu juga menyoroti masalah tuntutan kenaikan upah minimum.

Menurutnya, hal itu wajar tapi harus dibarengi dengan peningkatan produktivitas pekerja. Sementara itu, pimpinan PT Riau Andalan Pulp and Paper Anderson Tanoto mengatakan, aspek supply and demand akan sangat menentukan peluang ekspor produk kertas Indonesia pada 2015. Persaingan akan ketat mengingat dua perusahaan kertas di Brasil telah menambah kapasitas produksi.

“Dampaknya harga kertas akan sedikit melemah,” ujar putra pengusaha Sukanto Tanoto itu. Menurut Anderson, melemahnya harga minyak dunia dan sejumlah komoditas lain seperti kelapa sawit kemungkinan juga akan berdampak pada penurunan harga bubur kertas (pulp).

Kendati demikian, setiap tantangan bisa diatasi dengan cara tetap menjaga daya saing dan produktivitas. “Walaupun upah minimum naik dan biaya produksi naik, kalau setiap pekerja bisa bekerja lebih produktif, tentunya akan bisa mengompensasi,” jaminnya.

Inda susanti
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5201 seconds (0.1#10.140)