SPBU Asing Perlu Dibatasi
A
A
A
JAKARTA - Penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium RON 88 dipastikan mendorong liberalisasi pasar bahan bakar dalam negeri. Karena itu, kebijakan itu perlu diikuti sejumlah restriksi agar pemain lokal tidak tergusur oleh asing.
Ketua II DPP Himpunan Wiraswasta Pengusaha Minyak dan Gas (Hiswana Migas) M Ismeth mengatakan, pengusaha stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) asing akan mendapatkan keuntungan jika premium dihapus.
Pemain lokal maupun asing akan sama-sama memasarkan produk bensin RON 92 dan 95, yang artinya menghilangkan keunggulan satu-satunya SPBU lokal sebagai pemasar produk lain yang lebih murah. “Kalau RON 88 dicabut, produk yang kita jual sama dengan kompetitor. Jika selisih harganya sedikit, akan terjadi (persaingan) head to head .
Di situlah dimulainya liberalisasi,” ungkap Ismeth dalam diskusi Polemik SINDO Trijaya Radio yang bertajuk “Selamat Tinggal Premium” di Jakarta akhir pekan lalu. Sebelum kebijakan itu diputuskan, Ismeth meminta pemerintah memikirkan para pengusaha SPBU lokal. Dia berharap ada proteksi dari negara terhadap usaha yang dijalankan oleh pengusaha lokal.
Ismeth mengatakan, para pengusaha SPBU asing merespons sangat positif rencana penghapusan premium RON 88 karena kebijakan itu akan mendorong pengembangan usaha mereka di Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan telah menyiapkan tangki penyimpanan sendiri untuk menampung BBM RON 92 dalam jumlah besar.
“Jadi tim reformasi tolong ini digarisbawahi, SPBU asing sudah membuat tangki penyimpanan. Bisa kita lihat kemarin mereka terlihat sudah mau tutup, tapi begitu ada berita RON 88 dihapus, mereka menggeliat kembali,” ucapnya.
Dalam acara yang sama, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria juga meminta pemerintah tidak terburu- buru menerapkan penghapusan premium. Pengertian pasar terbuka pada cetak biru Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) jangan diartikan sebagai liberalisasi pasar BBM nasional. “Dengan kondisi negara saat ini, sangat tidak tepat apabila mekanisme BBM diserahkan ke pasar. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum kebijakan ini benar dilaksanakan,” katanya.
Sofyano menambahkan, kesiapan PT Pertamina (Persero) untukmenyediakanbensinRON 92 dalam jumlah yang cukup juga masih perlu dipertanyakan. Dengan kondisi saat ini saja Pertamina masih menggantungkan pasokan BBM melalui impor. Pengadaan RON 92 dalam jumlah besar jika dipaksakan melalui impor juga akan sangat memberatkan. “Ingat, apabila kebijakan inisalah, yangakanmenderitaitu rakyat,” ujarnya.
Anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim mengakui persoalan suplai masih perlu diantisipasi. Penghapusan premium merupakan sebuah perubahan besar mengingat 90% konsumsi bensin nasional saat ini adalah premium RON 88.
“Kalau produksi sudah sanggup, pengadaan, distribusi, semua sanggup, ya bagus-bagus saja (dihapus). Tapi kalau tahapan ini belum di-exercise betul, ya jangan karena ini pertaruhannya masyarakat,” kata Ibrahim. Ibrahim pun sepakat bahwa penghapusan premium harus diikuti dengan aturan lain dari pemerintah. Tidak hanya untuk melindungi pengusaha lokal, tapi juga bagi masyarakat umum.
“Momentum seperti ini harus ada policy response dari negara agar pengembangan dan penyediaan energi nasional terjadi,” ucapnya. Ketua Tim Reformasi Tata KelolaMigasFaisalBasrimengatakan, pemerintah pasti akan membuat regulasi untuk melindungi pengusaha SPBU lokal agar mampu bersaing dengan asing.
“Tentu harus dipikirkan, dibuat aturan agar SPBU asing tidak menjamur,” ujarnya. Pemerintah, kata dia, juga bisa memperketat izin pendirian SPBU asing. “Ya dibuatlah restriksi atas nama lingkungan dan sebagainya. Intinya kita jangan membayangkan ekspansi mereka lebih cepat dari kita makanya harus diperlambat,” tuturnya.
Untuk menghindari liberalisasi usaha hilir migas, lanjut dia, pengusaha asing pun sebaiknya memang diwajibkan untuk membangun tangki penyimpanan, bahkan kilang sendiri di dalam negeri. Faisal bahkan sepakat jika Pertamina didorong agar bisa memiliki saham di perusahaan asing yang berbisnis di sektor hilir migas Indonesia. Cara itu akan menciptakan timbal balik ekonomi antara lokal dan asing.
Terpisah, anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha meminta penghapusan premium diikuti dengan pembuatan sejumlah aturan baru bagi pemain asing di bisnis SPBU. Para pemain asing antara lain perlu diwajibkan membangun kilang untuk dapat berbisnis di sini. Ini dapat dilakukan melalui revisi UU Migas dan dengan menerbitkan peraturan menteri terkait agar lebih cepat.
“Selama ini kita menganut liberalisasi di hilir. Tapi ternyata Pertamina sulit masuk ke negara lain. Harus ada pertukaran yang adil sebab dengan peralihan ke pertamax itu pasti akan menarik perusahaan asing,” sebutnya.
Dian ramdhani/ Oktiani endarwati/ Hafid fuad
Ketua II DPP Himpunan Wiraswasta Pengusaha Minyak dan Gas (Hiswana Migas) M Ismeth mengatakan, pengusaha stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) asing akan mendapatkan keuntungan jika premium dihapus.
Pemain lokal maupun asing akan sama-sama memasarkan produk bensin RON 92 dan 95, yang artinya menghilangkan keunggulan satu-satunya SPBU lokal sebagai pemasar produk lain yang lebih murah. “Kalau RON 88 dicabut, produk yang kita jual sama dengan kompetitor. Jika selisih harganya sedikit, akan terjadi (persaingan) head to head .
Di situlah dimulainya liberalisasi,” ungkap Ismeth dalam diskusi Polemik SINDO Trijaya Radio yang bertajuk “Selamat Tinggal Premium” di Jakarta akhir pekan lalu. Sebelum kebijakan itu diputuskan, Ismeth meminta pemerintah memikirkan para pengusaha SPBU lokal. Dia berharap ada proteksi dari negara terhadap usaha yang dijalankan oleh pengusaha lokal.
Ismeth mengatakan, para pengusaha SPBU asing merespons sangat positif rencana penghapusan premium RON 88 karena kebijakan itu akan mendorong pengembangan usaha mereka di Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan telah menyiapkan tangki penyimpanan sendiri untuk menampung BBM RON 92 dalam jumlah besar.
“Jadi tim reformasi tolong ini digarisbawahi, SPBU asing sudah membuat tangki penyimpanan. Bisa kita lihat kemarin mereka terlihat sudah mau tutup, tapi begitu ada berita RON 88 dihapus, mereka menggeliat kembali,” ucapnya.
Dalam acara yang sama, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria juga meminta pemerintah tidak terburu- buru menerapkan penghapusan premium. Pengertian pasar terbuka pada cetak biru Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) jangan diartikan sebagai liberalisasi pasar BBM nasional. “Dengan kondisi negara saat ini, sangat tidak tepat apabila mekanisme BBM diserahkan ke pasar. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum kebijakan ini benar dilaksanakan,” katanya.
Sofyano menambahkan, kesiapan PT Pertamina (Persero) untukmenyediakanbensinRON 92 dalam jumlah yang cukup juga masih perlu dipertanyakan. Dengan kondisi saat ini saja Pertamina masih menggantungkan pasokan BBM melalui impor. Pengadaan RON 92 dalam jumlah besar jika dipaksakan melalui impor juga akan sangat memberatkan. “Ingat, apabila kebijakan inisalah, yangakanmenderitaitu rakyat,” ujarnya.
Anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim mengakui persoalan suplai masih perlu diantisipasi. Penghapusan premium merupakan sebuah perubahan besar mengingat 90% konsumsi bensin nasional saat ini adalah premium RON 88.
“Kalau produksi sudah sanggup, pengadaan, distribusi, semua sanggup, ya bagus-bagus saja (dihapus). Tapi kalau tahapan ini belum di-exercise betul, ya jangan karena ini pertaruhannya masyarakat,” kata Ibrahim. Ibrahim pun sepakat bahwa penghapusan premium harus diikuti dengan aturan lain dari pemerintah. Tidak hanya untuk melindungi pengusaha lokal, tapi juga bagi masyarakat umum.
“Momentum seperti ini harus ada policy response dari negara agar pengembangan dan penyediaan energi nasional terjadi,” ucapnya. Ketua Tim Reformasi Tata KelolaMigasFaisalBasrimengatakan, pemerintah pasti akan membuat regulasi untuk melindungi pengusaha SPBU lokal agar mampu bersaing dengan asing.
“Tentu harus dipikirkan, dibuat aturan agar SPBU asing tidak menjamur,” ujarnya. Pemerintah, kata dia, juga bisa memperketat izin pendirian SPBU asing. “Ya dibuatlah restriksi atas nama lingkungan dan sebagainya. Intinya kita jangan membayangkan ekspansi mereka lebih cepat dari kita makanya harus diperlambat,” tuturnya.
Untuk menghindari liberalisasi usaha hilir migas, lanjut dia, pengusaha asing pun sebaiknya memang diwajibkan untuk membangun tangki penyimpanan, bahkan kilang sendiri di dalam negeri. Faisal bahkan sepakat jika Pertamina didorong agar bisa memiliki saham di perusahaan asing yang berbisnis di sektor hilir migas Indonesia. Cara itu akan menciptakan timbal balik ekonomi antara lokal dan asing.
Terpisah, anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha meminta penghapusan premium diikuti dengan pembuatan sejumlah aturan baru bagi pemain asing di bisnis SPBU. Para pemain asing antara lain perlu diwajibkan membangun kilang untuk dapat berbisnis di sini. Ini dapat dilakukan melalui revisi UU Migas dan dengan menerbitkan peraturan menteri terkait agar lebih cepat.
“Selama ini kita menganut liberalisasi di hilir. Tapi ternyata Pertamina sulit masuk ke negara lain. Harus ada pertukaran yang adil sebab dengan peralihan ke pertamax itu pasti akan menarik perusahaan asing,” sebutnya.
Dian ramdhani/ Oktiani endarwati/ Hafid fuad
(ars)