Perceived Safety dan Pergeseran Segmentasi: QZ 8501

Kamis, 08 Januari 2015 - 10:28 WIB
Perceived Safety dan...
Perceived Safety dan Pergeseran Segmentasi: QZ 8501
A A A
Beberapa bulan lalu Garuda Indonesia meluncurkan kampanye iklan televisi yang membandingkan kenyamanan bepergian dengan full services- nya vs ketidaknyamanan bepergian dengan low cost carrier (LCC).

Saya sempat mempertanyakan apakah konsep iklan perbandingan ini efektif atau tidak. Mengapa saya meragukan efektivitas iklan tersebut, karena consumer behaviour yang sudah terbagi secara cukup tajam dengan segmentasi berdasarkan occasion . Pada occasion atau saat tertentu, konsumen akan mencari full services .

Di saat yang lain, konsumen yang sama akan mencari basic services . Segmentasi konsumen di jasa penerbangan bukan lagi berdasarkan demography dan psikografi saja, tetapi sudah lebih dari itu yaitu berdasarkan occasional needs. Sebagai contoh, saat berangkat untuk urusan bisnis penting, banyak orang memilih full-services flight.

Alasannya bukan karena ingin mendapatkan kenyamanan saja, tetapi yang lebih kritikal adalah karena ingin sampai ke tempat tujuan TEPAT WAKTU. Bagaimana saat liburan, di mana tidak ada keharusan untuk sampai tepat waktu? Di sini proses pengambilan keputusannya menjadi berubah. Occasion needs nya adalah saat tidak harus tepat waktu, maka atribut harga mencuat.

Harga yang terjangkau menjadi pilihan agar bisa mengajak anggota keluarga untuk bersama-sama menikmati liburan di lokasi destinasi yang dituju. Saat liburan, harga tiket yang terjangkau ini penting bagi konsumen baik dari golongan kelas sosial ekonomi tinggi maupun yang menengah. Keharusan membayar bagasi, hot seat hingga makanan dalam pesawat bukan sesuatu ketidaknyamanan yang akan menghambat keinginan untuk memilih tipe LCC.

Penumpang pesawat menyadari bahwa dalam setiap kenyamanan yang diberikan, ada harga yang harus dibayarkan. Itu dasar pemikiran dalam mempertanyakan efektivitas iklan Garuda Indonesia yang membandingkan secara langsung full-services nya dengan LCC services .

Dalam hal ini mereka tidak bersaing di liga/pertandingan yang sama. Bagaimana dengan situasi terbaru yaitu setelah terjadi kecelakaan pada Air Asia QZ 8510? Jelas kasus ini mewakili kategori LCC dan masalah yang dialami oleh Air Asia bisa jadi akan merambat ke LCC lainnya.

“Lebih baik tidak berangkat daripada tidak sampai”. Itu ungkapan Bapak Ignatius Jonan Menteri Perhubungan saat merespons surat terbuka dari beberapa pilot yang ditujukan kepada beliau. Apapun untuk menjamin keselamatan penumpang harus dilakukan dan sesuai prosedur, karena nyawa penumpang itu tidak ternilai harganya.

Safety vs Perceived Safety

Mengapa produk yang secara teknis sangat tinggi kualifikasinya, tetap kalah di pasaran dibandingkan dengan produk yang kualitasnya biasa saja? Jawabannya sederhana. Kualitas yang dibakukan berdasarkan guidance di buku manual di pabrik dan kantor research & development sebuah brand tidak sama dengan persepsi kualitas (perceived quality ) yang ada di dalam benak konsumen.

Sama halnya dengan atribut safety dalam jasa penerbangan. Boleh saja maskapai penerbangan menjelaskan dengan sangat teknis bagaimana kesiapan mereka untuk terbang dan betapa safe nya penerbangan tersebut. Tetapi, itu akan berpulang kepada Perceived Safety yang ada di benak konsumennya.

Pergeseran perceived safety inilah yang harus dipelajari kembali secara utuh oleh perusahaan jasa penerbangan, baik di kategori full services maupun kategori LCC. Adanya kecelakaan yang menimpa brand yang awalnya termasuk dalam kategori trusted brand, peta segmentasi perlu disusun ulang. Isu nya bukan lagi saat bisnis vs saat liburan. isunya juga bukan saat perlu tepat waktu vs saat santai.

Jika sebelumnya occasion needs menjadi pembeda segmen yang cukup signifikan, maka saat ini bisa jadi variable utamanya adalah perceived safety bercampur dengan tingkat kepercayaan pada takdir (risk taking ). Hasil analisa studi etnografi etnomark di berbagai media sosial adalah sebagai berikut:

1. Segmen Realistis.

Memersepsikan safety adalah bagian dari harga tiket yang harus dibayar. ‘Safety adalah segalanya’. Baik itu urusan bisnis maupun liburan. Tidak ada lagi batasan “occasion needs ‘ bagi mereka. Ia lebih memilih untuk menghindar dari penerbangan murah yang dianggap ‘low perceived safety ‘. “Harga tidak bohong. Saya mau membayar harga berapa saja demi sampai ke tujuan dengan peace of mind”

2. Segmen: Optimis, Risk Taker.

Percaya bahwa kematian adalah takdir, bisa terjadi di mana saja, tidak harus di udara. Kelompok ini tidak merasa harus ganti ke full services untuk mendapatkan nilai ‘safety ‘. Mereka tetap percaya kepada penerbangan LCC. “Intinya berdoa sebelum berangkat minta dilindungi selama perjalanan mau secanggih apapun pesawat kalo alam mah ga bisa dilawan”

3. Segmen: Pesimist. Risk Averser.

Konsumen ini memilih untuk tidak terbang sama sekali, mengganti rencana bepergian terutama di musim cuaca buruk. Konsumen segmen ini menghindari pesawat sama sekali. Jika terdesak, memilih jalan darat.

“Memang semua itu takdir Allah, tetapi saya masih punya anak-anak kecil. Saya tidak mau ambil resiko” Apa yang dijelaskan di atas hanyalah sebuah gambaran besar yang masih perlu digali kembali, sejauh mana tingkat perceived safety dan risk taking konsumen saat ini. Perusahaan Jasa Penerbangan perlu melihat secara lebih jauh bagaimana pergeseran consumer behaviour yang diakibatkan oleh tragedi bertubi.

Air Asia sebagai brand besar sedang mengalami ujian hebat. Walaupun banyak pujian mengalir tentang bagusnya penanganan krisis oleh CEO-nya Tony Fernandez yang sangat berempati, brand ini tetap ‘introuble ‘. Brand Air Asia setelah kejadian kasus QZ 8510 harus diaudit ulang dengan basis peta segmentasi konsumen yang baru.

Bila jumlah konsumen di segmen Realistis membengkak dan konsumen di segmen Optimis menyusut drastis, dapat dipastikan bahwa ekuitas brand Air Asia akan mengalami penurunan yang signifikan.

Persaingan bukan lagi ada pada technical safety tetapi pada perceived safety yang ada di benak konsumen. Perceived safety terbentuk dari multiple brand experience sebagai saat moment of truth, baik yang dialami sendiri maupun apa yang bisa dibaca di media.

AMALIA E. MAULANA. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8371 seconds (0.1#10.140)