Naiknya Harga Properti Masih Ditentukan Pengembang
A
A
A
Besarnya kenaikan harga properti di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kemauan pengembang untuk menaikkan harga, karenanya karakteristik pasar properti yang ada lebih ditentukan oleh supply driven dan bukan demand driven.
Pengembang akan terus menaikkan harga pada saat permintaan sedang tinggi dan tidak ada instrumen yang bisa mengendalikan harga properti sampai harga yang dipatok menjadi over value dan pasar jenuh. Bahkan sebenarnya kenaikan BBM pun relatif tidak memengaruhi harga properti secara langsung.
Naiknya BBM akan memengaruhi biaya produksi namun tidak secara tiba-tiba, melainkan akan berdampak 3 bulan berikutnya. Namun, dengan turunnya BBM saat ini, dampaknya pun hampir diperkirakan tidak ada. Naiknya harga properti saat ini lebih dikarenakan inflasi bahan bangunan dan bukan semata-mata karena kenaikan BBM semata-mata.
Di sisi lain, tertahannya harga properti saat ini lebih dikarenakan kondisi daya beli yang relatif tergerus akibat naiknya suku bunga KPR dan kondisi pasar properti saat ini yang sudah jenuh karena kenaikan harga yang sudah sangat tinggi dalam 3 tahun terakhir. Karenanya, meskipun adanya kenaikan BBM relatif sebagian besar pengembang tidak serta-merta menaikkan harga propertinya karena memang pasar sedang lemah.
Kenaikan diperkirakan akan terjadi antara 3%-7% (qtq) pada triwulan I/2015. Dengan karakteristik pasar properti Indonesia seperti ini, pemerintah harus segera membuat instrumen yang dapat mengendalikan harga tanah agar tidak didominasi oleh pengembang. Indonesia Property Watch selalu mengusulkan agar pemerintah segera membentuk bank tanah, bahkan sejak 2009 sebelum pasar properti naik tidak terkendali.
Bank tanah bukan merupakan konsep baru yang merupakan lahan-lahan milik pemerintah yang dibangun dengan sistem dan mekanisme yang baik sehingga pemerintah akan bertindak sebagai master developer untuk pembangunan rumah rakyat, yang mana juga dilakukan oleh Singapura dengan Housing Development Board yang sampai saat ini telah membangun 1 juta flat hunian untuk rakyatnya. Bagaimana dengan penyediaan rumah di Indonesia?
Menpupera Basuki Hadimuljono mengatakan, dana sebesar Rp8,3 triliun untuk perumahan akan dipakai untuk membangun 153.000 unit hunian. Rinciannya 19.800 unit rumah susun, 28.987 unit rumah khusus, dan rehabilitasi rumah tidak layak huni sebanyak 105.000 unit. Sementara dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp5,1 triliun akan digunakan untuk membangun 58.000 rumah yang terdiri atas 55.000 rumah tapak dan 3.000 unit rusun.
Sementara dana dari Bapertarum sebesar Rp2 triliun untuk membangun 100.000 unit rumah. Dana Kementerian PU-Pera sebesar Rp33 triliun hanya sekitar 20% yang khusus untuk pembangunan rumah sedangkan sisanya lebih ke pembangunan infrastruktur. Perlu diingat, rehabilitasi rumah tidak layak bukan bagian dari pengurangan backlog pemerintah.
Hal ini sah saja, mengingat fokus pemerintahan Jokowi selain kemaritiman juga terlihat dengan didorongnya sektor infrastruktur. Namun, Indonesia Property Watch mengingatkan saat ini dana tersebut tidak akan cukup dengan rencana pemerintah untuk membangun 2 juta unit, di mana 1 juta unit per tahun dibangun oleh pemerintah.
Saat ini fokus pemerintah lebih ke tujuan secara fisik terbangun tanpa mempertimbangkan wilayah-wilayah mana saja yang membutuhkan rumah paling besar, mengingat saat ini pemerintah belum mempunyai mapping mengenai kebutuhan rumah tersebut di masing-masing wilayah. Jadi, kebijakan pembangunan rumah yang ada tidak memperhitungkan lapangan dan hanya mengejar target secara fisik bangunan tanpa memperhatikan tingkat kebutuhan yang ada.
Dengan langkah strategi seperti ini, dikhawatirkan sustainability perumahan nasional tidak akan terjadi. Dengan adanya pembangunan infrastruktur tanpa perencanaan wilayah yang jelas akan mendongkrak nilai tanah. Karenanya, bila pemerintah tidak segera membuat bank tanah yang khusus untuk rumah rakyat maka dikhawatirkan harga akan terus melambung dan rumah pun semakin tidak terjangkau.
Karenanya, Indonesia Property Watch mendesak pemerintah untuk segera membentuk bank tanah untuk dapat mengendalikan harga tanah. Bank tanah akan dapat mengendalikan harga tanah yang khusus untuk dibangun rumah murah sehingga tidak mengikuti mekanisme pasar yang semakin tinggi.
Bank tanah ini bukanlah sesuatu yang baru karena ketika orde baru pernah ada konsep mengenai kaveling siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba). Karena itu, fokus pemerintah ke sektor infrastruktur juga harus memperhatikan ketersediaan prasarana dan sarana wilayah untuk kawasan perumahan murah agar pengembang dapat menekan biaya yang ada.
Ali tranghanda
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch
Pengembang akan terus menaikkan harga pada saat permintaan sedang tinggi dan tidak ada instrumen yang bisa mengendalikan harga properti sampai harga yang dipatok menjadi over value dan pasar jenuh. Bahkan sebenarnya kenaikan BBM pun relatif tidak memengaruhi harga properti secara langsung.
Naiknya BBM akan memengaruhi biaya produksi namun tidak secara tiba-tiba, melainkan akan berdampak 3 bulan berikutnya. Namun, dengan turunnya BBM saat ini, dampaknya pun hampir diperkirakan tidak ada. Naiknya harga properti saat ini lebih dikarenakan inflasi bahan bangunan dan bukan semata-mata karena kenaikan BBM semata-mata.
Di sisi lain, tertahannya harga properti saat ini lebih dikarenakan kondisi daya beli yang relatif tergerus akibat naiknya suku bunga KPR dan kondisi pasar properti saat ini yang sudah jenuh karena kenaikan harga yang sudah sangat tinggi dalam 3 tahun terakhir. Karenanya, meskipun adanya kenaikan BBM relatif sebagian besar pengembang tidak serta-merta menaikkan harga propertinya karena memang pasar sedang lemah.
Kenaikan diperkirakan akan terjadi antara 3%-7% (qtq) pada triwulan I/2015. Dengan karakteristik pasar properti Indonesia seperti ini, pemerintah harus segera membuat instrumen yang dapat mengendalikan harga tanah agar tidak didominasi oleh pengembang. Indonesia Property Watch selalu mengusulkan agar pemerintah segera membentuk bank tanah, bahkan sejak 2009 sebelum pasar properti naik tidak terkendali.
Bank tanah bukan merupakan konsep baru yang merupakan lahan-lahan milik pemerintah yang dibangun dengan sistem dan mekanisme yang baik sehingga pemerintah akan bertindak sebagai master developer untuk pembangunan rumah rakyat, yang mana juga dilakukan oleh Singapura dengan Housing Development Board yang sampai saat ini telah membangun 1 juta flat hunian untuk rakyatnya. Bagaimana dengan penyediaan rumah di Indonesia?
Menpupera Basuki Hadimuljono mengatakan, dana sebesar Rp8,3 triliun untuk perumahan akan dipakai untuk membangun 153.000 unit hunian. Rinciannya 19.800 unit rumah susun, 28.987 unit rumah khusus, dan rehabilitasi rumah tidak layak huni sebanyak 105.000 unit. Sementara dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp5,1 triliun akan digunakan untuk membangun 58.000 rumah yang terdiri atas 55.000 rumah tapak dan 3.000 unit rusun.
Sementara dana dari Bapertarum sebesar Rp2 triliun untuk membangun 100.000 unit rumah. Dana Kementerian PU-Pera sebesar Rp33 triliun hanya sekitar 20% yang khusus untuk pembangunan rumah sedangkan sisanya lebih ke pembangunan infrastruktur. Perlu diingat, rehabilitasi rumah tidak layak bukan bagian dari pengurangan backlog pemerintah.
Hal ini sah saja, mengingat fokus pemerintahan Jokowi selain kemaritiman juga terlihat dengan didorongnya sektor infrastruktur. Namun, Indonesia Property Watch mengingatkan saat ini dana tersebut tidak akan cukup dengan rencana pemerintah untuk membangun 2 juta unit, di mana 1 juta unit per tahun dibangun oleh pemerintah.
Saat ini fokus pemerintah lebih ke tujuan secara fisik terbangun tanpa mempertimbangkan wilayah-wilayah mana saja yang membutuhkan rumah paling besar, mengingat saat ini pemerintah belum mempunyai mapping mengenai kebutuhan rumah tersebut di masing-masing wilayah. Jadi, kebijakan pembangunan rumah yang ada tidak memperhitungkan lapangan dan hanya mengejar target secara fisik bangunan tanpa memperhatikan tingkat kebutuhan yang ada.
Dengan langkah strategi seperti ini, dikhawatirkan sustainability perumahan nasional tidak akan terjadi. Dengan adanya pembangunan infrastruktur tanpa perencanaan wilayah yang jelas akan mendongkrak nilai tanah. Karenanya, bila pemerintah tidak segera membuat bank tanah yang khusus untuk rumah rakyat maka dikhawatirkan harga akan terus melambung dan rumah pun semakin tidak terjangkau.
Karenanya, Indonesia Property Watch mendesak pemerintah untuk segera membentuk bank tanah untuk dapat mengendalikan harga tanah. Bank tanah akan dapat mengendalikan harga tanah yang khusus untuk dibangun rumah murah sehingga tidak mengikuti mekanisme pasar yang semakin tinggi.
Bank tanah ini bukanlah sesuatu yang baru karena ketika orde baru pernah ada konsep mengenai kaveling siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba). Karena itu, fokus pemerintah ke sektor infrastruktur juga harus memperhatikan ketersediaan prasarana dan sarana wilayah untuk kawasan perumahan murah agar pengembang dapat menekan biaya yang ada.
Ali tranghanda
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch
(bbg)