Melimpah, Rumput Laut Indonesia Kurang Terserap
A
A
A
JAKARTA - Kalangan pengusaha rumput laut menyatakan, bahan baku rumput laut untuk industri persediaannya masih tinggi.
Padahal sebelumnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, bahwa industri hilir kelautan kekurangan bahan baku akibat masih maraknya penjualan bahan mentah keluar negeri baik legal maupun ilegal.
Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis mengatakan, penyerapan rumput laut Indonesia oleh industri nasional masih relatif rendah.
Hal ini dikarenakan daya beli industri Indonesia untuk bahan baku rumput laut masih rendah, jika dibandingkan dengan pembeli dari industri luar negeri seperti China, Filipina dan Chile.
"Angka ekspornya pasti lebih tinggi karena penyerapan dari industri pengolahan kita masih kecil. Para pelaku lebih suka mengekspor rumput laut kering karena di luar harganya tinggi," kata dia dalam rilisnya, Jumat (16/1/2015).
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa 2013 produksi nasional rumput laut mencapai 930.000 ton kering. Jumlah yang diekspor mencapai 176.000 ton kering dengan nilai USD162,4 juta.
Sementara, jumlah yang diolah lebih kecil yakni hanya mencapai 120.000 ton kering. Berdasarkan data tersebut, setelah diekspor ketersediaan rumput laut mencapai 640.000 ton kering.
Safari mengatakan, pemerintah seharusnya dapat lebih bijaksana dalam memandang permasalahan di lapangan dan mendorong daya saing industri nasional dalam rangka hilirisasi.
"Kita harapkan industri rumput laut jalan, ekspornya tetap jalan karena peluangnya tinggi untuk meningkatkan perolehan devisa dan membantu kelancaran pasar rumput laut yang dihasilkan pembudidaya rumput laut di daerah pesisir dan pulau-pulau," terangnya.
Menurutnya, daya beli industri nasional seharusnya dapat ditingkatkan dan mengikuti harga internasional. Jadi, yang terjadi di lapangan itu bukan bahan baku rumput laut yang kekurangan, melainkan penyerapan oleh industrinya yang kecil.
Menanggapi ekspor ilegal rumput laut, dia menilai bahwa kemungkinan adanya ekspor ilelgal sangat kecil. Untuk melakukan ekspor anggota ARLI harus memliki sederetan berbagai dokumen legal dan pergerakannya diawasi badan yang berwenang.
Pihaknya tidak yakin terjadi ekspor ilegal, karena petugas Bea Cukai tidak akan ada yang membiarkan adanya penyelundup.
"Jangan karena industri dalam negeri dikatakan kekurangan bahan baku lalu dianggap diselundupkan, padahal seharusnya ketersediaan bahan baku itu bisa diserap industri nasional," pungkas Safari.
Padahal sebelumnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, bahwa industri hilir kelautan kekurangan bahan baku akibat masih maraknya penjualan bahan mentah keluar negeri baik legal maupun ilegal.
Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis mengatakan, penyerapan rumput laut Indonesia oleh industri nasional masih relatif rendah.
Hal ini dikarenakan daya beli industri Indonesia untuk bahan baku rumput laut masih rendah, jika dibandingkan dengan pembeli dari industri luar negeri seperti China, Filipina dan Chile.
"Angka ekspornya pasti lebih tinggi karena penyerapan dari industri pengolahan kita masih kecil. Para pelaku lebih suka mengekspor rumput laut kering karena di luar harganya tinggi," kata dia dalam rilisnya, Jumat (16/1/2015).
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa 2013 produksi nasional rumput laut mencapai 930.000 ton kering. Jumlah yang diekspor mencapai 176.000 ton kering dengan nilai USD162,4 juta.
Sementara, jumlah yang diolah lebih kecil yakni hanya mencapai 120.000 ton kering. Berdasarkan data tersebut, setelah diekspor ketersediaan rumput laut mencapai 640.000 ton kering.
Safari mengatakan, pemerintah seharusnya dapat lebih bijaksana dalam memandang permasalahan di lapangan dan mendorong daya saing industri nasional dalam rangka hilirisasi.
"Kita harapkan industri rumput laut jalan, ekspornya tetap jalan karena peluangnya tinggi untuk meningkatkan perolehan devisa dan membantu kelancaran pasar rumput laut yang dihasilkan pembudidaya rumput laut di daerah pesisir dan pulau-pulau," terangnya.
Menurutnya, daya beli industri nasional seharusnya dapat ditingkatkan dan mengikuti harga internasional. Jadi, yang terjadi di lapangan itu bukan bahan baku rumput laut yang kekurangan, melainkan penyerapan oleh industrinya yang kecil.
Menanggapi ekspor ilegal rumput laut, dia menilai bahwa kemungkinan adanya ekspor ilelgal sangat kecil. Untuk melakukan ekspor anggota ARLI harus memliki sederetan berbagai dokumen legal dan pergerakannya diawasi badan yang berwenang.
Pihaknya tidak yakin terjadi ekspor ilegal, karena petugas Bea Cukai tidak akan ada yang membiarkan adanya penyelundup.
"Jangan karena industri dalam negeri dikatakan kekurangan bahan baku lalu dianggap diselundupkan, padahal seharusnya ketersediaan bahan baku itu bisa diserap industri nasional," pungkas Safari.
(izz)