Fluktuasi Rupiah Masih Akan Terjadi di Semester I
Rabu, 25 Februari 2015 - 13:58 WIB

Fluktuasi Rupiah Masih Akan Terjadi di Semester I
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, fluktuasi rupiah masih akan terjadi sepanjang semester I. Fluktuasi rupiah yang terjadi sepanjang pekan ini diakibatkan tekanan eksternal dari zona Euro dan keputusan AS untuk menunda kenaikan The Fed.
Hari ini, menurut perhitungan kurs tengah Bank Indonesia (BI) menyebutkan, rupiah kembali melemah 21 bps dari sebelumnya Rp12.866 menjadi Rp. 12.887.
"Masih didorong faktor eksternal, kemarin isu keluarnya Yunani dari Euro. Pada Jumat malam waktu Eropa, diputuskan kreditur utang Yunani memperpanjang bailout sampai empat bulan ke depan, namun Euro akan tertekan sampai empat bulan ke depan, karena tenggat waktu akan seperti itu juga," katanya kepada Sindonews di Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Di sisi lain, keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) untuk menunda kenaikan The Fed hingga awal semester kedua juga ikut memengaruhi fluktuasi rupiah di sepanjang semester I. Keputusan AS untuk menunda kenaikan The Fed lantaran kondisi ekonomi AS yang kembali tertekan, di mana pertumbuhan ekonomi belum seperti yang diharapkan, penjualan ritel di luar ekspektasi, dan peningkatan pengangguan.
"Kalau dilihat pidato Yellen (Jenet Yellen) kemarin tidak secepat perkiraan di awal, kenaikan The Fed awal semester kedua, tekanan inflasi masih di bawah perkiraan, pertumbuhan ekonomi belum seperti yang diharapakan, penjualan ritel di luar ekspektasi, peningkatan pengangguran, faktor itulah yang masih dilihat," imbuhnya.
Selama ini, tekanan bukan hanya terjadi pada rupiah, namun dibanding negara lain rupiah yang paling lemah secara yoy to date, "Dibanding Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Ini karena kepemilikan investor asing paling besar, sehingga cenderung volatile, terlalu besar obligasi volatile, maka nya kita masuk nilai tukar fluktuatif," terang dia.
"Saya pikir, untuk menjaga fundamental Rp12.500-Rp13.000 bisa dimulai dengan menaikkan fasbi rate, makanya itu perlu dinaikkan terlebih dulu," tandas Josua.
Hari ini, menurut perhitungan kurs tengah Bank Indonesia (BI) menyebutkan, rupiah kembali melemah 21 bps dari sebelumnya Rp12.866 menjadi Rp. 12.887.
"Masih didorong faktor eksternal, kemarin isu keluarnya Yunani dari Euro. Pada Jumat malam waktu Eropa, diputuskan kreditur utang Yunani memperpanjang bailout sampai empat bulan ke depan, namun Euro akan tertekan sampai empat bulan ke depan, karena tenggat waktu akan seperti itu juga," katanya kepada Sindonews di Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Di sisi lain, keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) untuk menunda kenaikan The Fed hingga awal semester kedua juga ikut memengaruhi fluktuasi rupiah di sepanjang semester I. Keputusan AS untuk menunda kenaikan The Fed lantaran kondisi ekonomi AS yang kembali tertekan, di mana pertumbuhan ekonomi belum seperti yang diharapkan, penjualan ritel di luar ekspektasi, dan peningkatan pengangguan.
"Kalau dilihat pidato Yellen (Jenet Yellen) kemarin tidak secepat perkiraan di awal, kenaikan The Fed awal semester kedua, tekanan inflasi masih di bawah perkiraan, pertumbuhan ekonomi belum seperti yang diharapakan, penjualan ritel di luar ekspektasi, peningkatan pengangguran, faktor itulah yang masih dilihat," imbuhnya.
Selama ini, tekanan bukan hanya terjadi pada rupiah, namun dibanding negara lain rupiah yang paling lemah secara yoy to date, "Dibanding Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Ini karena kepemilikan investor asing paling besar, sehingga cenderung volatile, terlalu besar obligasi volatile, maka nya kita masuk nilai tukar fluktuatif," terang dia.
"Saya pikir, untuk menjaga fundamental Rp12.500-Rp13.000 bisa dimulai dengan menaikkan fasbi rate, makanya itu perlu dinaikkan terlebih dulu," tandas Josua.
(izz)