Pergerakan Rupiah Selama Sepekan Kemarin
A
A
A
PERGERAKAN nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) selama sepekan kemarin mengalami fluktuatif dan berakhir menguat.
Berdasarkan data Sindonews bersumber dari Limas menunjukkan bahwa rupiah pada Jumat (20/3/2015) ditutup pada level Rp13.150/USD. Posisi itu terdepresiasi 75 poin dibanding hari sebelumnya di level Rp13.075/USD.
Data Yahoo Finance mencatat mata uang domestik di akhir pekan pada level Rp13.135/USD, dengan kisaran harian Rp13.060-Rp13.150/USD. Posisi tersebut memburuk 15 poin dibanding hari sebelumnya di Rp13.020/USD.
Nilai tukar rupiah berdasarkan data Bloomberg pada level Rp13.124/USD. Posisi tersebut terkoreksi 67 poin dibanding posisi penutupan Kamis (19/3/2015) di level Rp13.057/USD.
Masih berdasarkan data Bloomberg, rupiah pagi sebelumnya dibuka pada level Rp13.066/USD. Adapun posisi rupiah terkuat di level Rp13.041/USD dan terlemah pada level Rp13.140/USD.
Posisi rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI pada level Rp13.075/USD. Posisi ini melemah 67 poin dibanding posisi penutupan hari sebelumnya di level Rp13.008/USD.
Head of Research & Analysis BNI Nurul Eti Nurbaeti mengatakan, meningkatnya tekanan USD yang tercermin dari eskalasi USD indeks menggambarkan bertambahnya keperkasaan mata uang negara Paman Sam tersebut atas mata uang lainnya, termasuk rupiah.
"Nilai tukar rupiah di pasar off shore tercatat meningkat dan menghadang pergerakan rupiah di dalam negeri," kata dia, Jumat (20/3/2015).
Sementara IHSG hari ini berakhir di zona merah ditekan meningkatnya aksi jual investor asing. IHSG turun 10,79 poin atau 0,20% ke level 5.443,06.
Sebelumnya, pada perdagangan awal pekan rupiah dibuka terkoreksi seiring berlanjutnya pelemahan IHSG. Berdasarkan data Sindonews bersumber dari Limas menunjukkan bahwa rupiah, Senin (16/3/2015) dibuka pada level Rp13.274/USD. Posisi itu terdepresiasi 69 poin dibanding hari sebelumnya di level Rp13.205/USD.
Data Yahoo Finance mencatat mata uang domestik pada awal pekan di level Rp13.248/USD. Posisi tersebut lebih buruk 31 poin dibanding hari sebelumnya di Rp13.217/USD.
Posisi rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI pada level Rp13.237/USD. Posisi ini melemah 46 poin dibanding posisi penutupan hari sebelumnya di level Rp13.191/USD.
Nilai tukar rupiah berdasarkan data Bloomberg pada level Rp13.212/USD. Posisi tersebut menjauh 7 poin dari posisi penutupan Jumat (13/3/2015) di level Rp13.205/USD.
Menanggapi pelemahan rupiah, pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diam-diam telah memanggil belasan perusahaan nakal, baik swasta maupun BUMN yang masih bertransaksi menggunakan mata uang USD. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menekankan agar perusahaan tersebut menggunakan mata uang nasional dalam proses transaksi.
Hal ini diungkapkan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago. Dia mengatakan, perusahaan tersebut telah diidentifikasi dan dipanggil Jokowi untuk tidak menggunakan mata uang selain rupiah dalam transaksi.
"Itu semua sudah diidentifikasi. Sudah dipanggil (Jokowi), sudah dikasih tahu supaya jangan (transaksi pakai USD," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/3/2015).
Sayang, Andrinof tidak menyebutkan siapa saja perusahaan yang telah dipanggil Jokowi terkait tingkahnya yang tidak mematuhi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Dia hanya menyebutkan, setidaknya belasan perusahaan baik swasta ataupun pelat merah telah memenuhi panggilan Jokowi.
"Belasanlah. Pokoknya yang melakukan pembayaran dengan dolar secara besar. Ada BUMN, ada swasta," tandasnya.
Analis Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Hendro Utomo memandang melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD akan memiliki dampak terhadap perusahaan sektor pembiayaan.
Dia mengungkapkan, pihaknya melihat dampak tersebut cukup kuat bagi sektor pembiayaan, seperti Mandiri Tunas Finance (MTF) dan Adira Finance, yang mengalami pelemahan dari sisi pembiayaan.
"Dari sisi pembiayaan mengalami pelemahan karena dari harga motor kemungkinan akan disesuaikan jika pelemahan rupiah terus berlanjut. Dampaknya konsumer makin berat jika harga motor naik," ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (17/3/2015).
Menurut Hendro, secara keseluruhan dampak terkoreskinya rupiah terhadap perusahaan pembiayaan akan terasa kepada jumlah permintaan, meski sudah ada pencegahan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan.
"Dari sumber pendanaan dari yang kita rating seperti MTF masih andalkan rupiah dari Bank Mandiri," jelas Hendro.
Sementara itu, perusahaan pembiayaan yang melakukan pinjaman ke mata uang asing biasanya sudah melakukan lindung nilai (hedging). Selain itu, mereka juga mempertimbangkan risiko tingkat bunga atau cross currency swap.
"Memang untuk ini bagi Pefindo lihatnya dampak cukup kuat untuk sektor tertentu. Kendati demikian, ada beberapa hal yang dilakukan perusahaan untuk mencegah pelemahan rupiah," terangnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA), Muhammad Idrus menilai, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terlalu lambat menyikapi pelemahan rupiah. Antisipasi seharusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari agar tidak terjadi aksi spekulasi.
"Sikap pemerintah seolah tidak ada masalah nilai tukar dan menyalahkan eksternal. Ini membahayakan, posisi rupiah, yang kini terendah sejak 15 tahun lalu," ujarnya, Minggu (15/3/2015).
Dia mengkritik pemerintah yang selalu mengatakan kondisi ini dari faktor eksternal. Seharusnya ada upaya serius dari moneter dan fiskal untuk membendung depresiasi terlalu dalam.
Pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) disebutkan mengeluarkan kebijakan dari kementerian keuangan untuk jangka pendek. "Waktu dulu dolar (USD) baru lewati Rp10.000 dan akhirnya tidak melampaui 12.000. Pemerintah harus lebih proaktif karena instrumen BI tidak terlalu banyak. Jangan selalu bilang aman saja," tegasnya.
Kondisi depresiasi ini sangat buruk karena mendorong inflasi. Sehingga pendapatan masyarakat kelas menengah yang tumbuh berkurang. Dibutuhkan rencana mitigasi yang substansial dan seharusnya dilakukan sejak kondisi normal.
"Jangan malu akui kita belum siap. Pemerintahan harus punya action plan mitigasi depresiasi untuk jangka pendek," tegasnya.
Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah membuat industri perbankan harus waspada dan pintar mengatur strategi. Salah satunya dilakukan Bank Permata. Mereka sudah mempersiapkan antisipasi volatilitas nilai tukar dengan penyaluran kredit yang lebih selektif.
Direktur Retail Banking Bank Permata, Bianto Surodjo memperkirakan likuiditas masih akan cenderung ketat. Pihak otoritas diprediksi akan mempertimbangkan potensi capital outflow apabila The Fed menaikkan suku bunga pada semester kedua tahun ini.
Menurutnya, hal ini membuat ruang untuk menurunkan suku bunga masih terbatas walaupun inflasi cukup rendah. "Karena BI menjaga aliran dana untuk antisipasi ekonomi AS. Kami sangat mewaspadai dampak pelemahan nilai tukar ini terhadap kredit bermasalah," ujar Bianto dalam kunjungannya ke Gedung Sindo, Jakarta, Rabu (18/3/2015).
Dia menerangkan perseroan sudah seharusnya berjaga jika tidak mau kredit bermasalahnya semakin bertambah tahun ini. Porsi kredit korporasi atau wholesale banking masih menjadi mayoritas dalam penyaluran kredit, sehingga wajar dampak pelemahan industri akibat volatilitas nilai tukar cukup signifikan.
"Porsi wholesale banking setengah dari total kredit. Dan, ke depan masih akan menjadi andalan. Namun, kami akan lebih selektif dalam proses underwriting," katanya.
Dia menyebutkan, perbankan mencoba menjaga risiko volatilitas nilai tukar dengan berbagai cara. Meskipun porsi kredit dalam USD hanya 20% dari total pinjaman pihaknya tetap akan mewaspadai dampak lebih luas.
"Kredit USD harus sesuai dengan cashflow nasabah korporasi. Kami prioritaskan untuk perusahaan yang sudah melakukan hedging utangnya. Kami harus disiplin untuk antisipasi risiko," ujarnya.
Bianto menegaskan pemberian pinjaman akan lebih selektif untuk sektor yang sensitif dalam kondisi berat seperti saat ini. Sektor komoditas dan industri yang sensitif pada volatilitas nilai tukar akan diseleksi dengan ketat. Setidaknya dalam semester pertama perseroan akan melihat perkembangan perekonomian dan depresiasi nilai tukar rupiah.
"BI Rate memang turun, namun tidak signifikan. Masih harus dilihat apakah cost of fund sudah aman untuk kami turunkan suku bunga. Karena kami juga ingin kompetitif," jelasnya.
Berdasarkan data Sindonews bersumber dari Limas menunjukkan bahwa rupiah pada Jumat (20/3/2015) ditutup pada level Rp13.150/USD. Posisi itu terdepresiasi 75 poin dibanding hari sebelumnya di level Rp13.075/USD.
Data Yahoo Finance mencatat mata uang domestik di akhir pekan pada level Rp13.135/USD, dengan kisaran harian Rp13.060-Rp13.150/USD. Posisi tersebut memburuk 15 poin dibanding hari sebelumnya di Rp13.020/USD.
Nilai tukar rupiah berdasarkan data Bloomberg pada level Rp13.124/USD. Posisi tersebut terkoreksi 67 poin dibanding posisi penutupan Kamis (19/3/2015) di level Rp13.057/USD.
Masih berdasarkan data Bloomberg, rupiah pagi sebelumnya dibuka pada level Rp13.066/USD. Adapun posisi rupiah terkuat di level Rp13.041/USD dan terlemah pada level Rp13.140/USD.
Posisi rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI pada level Rp13.075/USD. Posisi ini melemah 67 poin dibanding posisi penutupan hari sebelumnya di level Rp13.008/USD.
Head of Research & Analysis BNI Nurul Eti Nurbaeti mengatakan, meningkatnya tekanan USD yang tercermin dari eskalasi USD indeks menggambarkan bertambahnya keperkasaan mata uang negara Paman Sam tersebut atas mata uang lainnya, termasuk rupiah.
"Nilai tukar rupiah di pasar off shore tercatat meningkat dan menghadang pergerakan rupiah di dalam negeri," kata dia, Jumat (20/3/2015).
Sementara IHSG hari ini berakhir di zona merah ditekan meningkatnya aksi jual investor asing. IHSG turun 10,79 poin atau 0,20% ke level 5.443,06.
Sebelumnya, pada perdagangan awal pekan rupiah dibuka terkoreksi seiring berlanjutnya pelemahan IHSG. Berdasarkan data Sindonews bersumber dari Limas menunjukkan bahwa rupiah, Senin (16/3/2015) dibuka pada level Rp13.274/USD. Posisi itu terdepresiasi 69 poin dibanding hari sebelumnya di level Rp13.205/USD.
Data Yahoo Finance mencatat mata uang domestik pada awal pekan di level Rp13.248/USD. Posisi tersebut lebih buruk 31 poin dibanding hari sebelumnya di Rp13.217/USD.
Posisi rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI pada level Rp13.237/USD. Posisi ini melemah 46 poin dibanding posisi penutupan hari sebelumnya di level Rp13.191/USD.
Nilai tukar rupiah berdasarkan data Bloomberg pada level Rp13.212/USD. Posisi tersebut menjauh 7 poin dari posisi penutupan Jumat (13/3/2015) di level Rp13.205/USD.
Menanggapi pelemahan rupiah, pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diam-diam telah memanggil belasan perusahaan nakal, baik swasta maupun BUMN yang masih bertransaksi menggunakan mata uang USD. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menekankan agar perusahaan tersebut menggunakan mata uang nasional dalam proses transaksi.
Hal ini diungkapkan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago. Dia mengatakan, perusahaan tersebut telah diidentifikasi dan dipanggil Jokowi untuk tidak menggunakan mata uang selain rupiah dalam transaksi.
"Itu semua sudah diidentifikasi. Sudah dipanggil (Jokowi), sudah dikasih tahu supaya jangan (transaksi pakai USD," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/3/2015).
Sayang, Andrinof tidak menyebutkan siapa saja perusahaan yang telah dipanggil Jokowi terkait tingkahnya yang tidak mematuhi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Dia hanya menyebutkan, setidaknya belasan perusahaan baik swasta ataupun pelat merah telah memenuhi panggilan Jokowi.
"Belasanlah. Pokoknya yang melakukan pembayaran dengan dolar secara besar. Ada BUMN, ada swasta," tandasnya.
Analis Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Hendro Utomo memandang melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD akan memiliki dampak terhadap perusahaan sektor pembiayaan.
Dia mengungkapkan, pihaknya melihat dampak tersebut cukup kuat bagi sektor pembiayaan, seperti Mandiri Tunas Finance (MTF) dan Adira Finance, yang mengalami pelemahan dari sisi pembiayaan.
"Dari sisi pembiayaan mengalami pelemahan karena dari harga motor kemungkinan akan disesuaikan jika pelemahan rupiah terus berlanjut. Dampaknya konsumer makin berat jika harga motor naik," ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (17/3/2015).
Menurut Hendro, secara keseluruhan dampak terkoreskinya rupiah terhadap perusahaan pembiayaan akan terasa kepada jumlah permintaan, meski sudah ada pencegahan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan.
"Dari sumber pendanaan dari yang kita rating seperti MTF masih andalkan rupiah dari Bank Mandiri," jelas Hendro.
Sementara itu, perusahaan pembiayaan yang melakukan pinjaman ke mata uang asing biasanya sudah melakukan lindung nilai (hedging). Selain itu, mereka juga mempertimbangkan risiko tingkat bunga atau cross currency swap.
"Memang untuk ini bagi Pefindo lihatnya dampak cukup kuat untuk sektor tertentu. Kendati demikian, ada beberapa hal yang dilakukan perusahaan untuk mencegah pelemahan rupiah," terangnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA), Muhammad Idrus menilai, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terlalu lambat menyikapi pelemahan rupiah. Antisipasi seharusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari agar tidak terjadi aksi spekulasi.
"Sikap pemerintah seolah tidak ada masalah nilai tukar dan menyalahkan eksternal. Ini membahayakan, posisi rupiah, yang kini terendah sejak 15 tahun lalu," ujarnya, Minggu (15/3/2015).
Dia mengkritik pemerintah yang selalu mengatakan kondisi ini dari faktor eksternal. Seharusnya ada upaya serius dari moneter dan fiskal untuk membendung depresiasi terlalu dalam.
Pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) disebutkan mengeluarkan kebijakan dari kementerian keuangan untuk jangka pendek. "Waktu dulu dolar (USD) baru lewati Rp10.000 dan akhirnya tidak melampaui 12.000. Pemerintah harus lebih proaktif karena instrumen BI tidak terlalu banyak. Jangan selalu bilang aman saja," tegasnya.
Kondisi depresiasi ini sangat buruk karena mendorong inflasi. Sehingga pendapatan masyarakat kelas menengah yang tumbuh berkurang. Dibutuhkan rencana mitigasi yang substansial dan seharusnya dilakukan sejak kondisi normal.
"Jangan malu akui kita belum siap. Pemerintahan harus punya action plan mitigasi depresiasi untuk jangka pendek," tegasnya.
Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah membuat industri perbankan harus waspada dan pintar mengatur strategi. Salah satunya dilakukan Bank Permata. Mereka sudah mempersiapkan antisipasi volatilitas nilai tukar dengan penyaluran kredit yang lebih selektif.
Direktur Retail Banking Bank Permata, Bianto Surodjo memperkirakan likuiditas masih akan cenderung ketat. Pihak otoritas diprediksi akan mempertimbangkan potensi capital outflow apabila The Fed menaikkan suku bunga pada semester kedua tahun ini.
Menurutnya, hal ini membuat ruang untuk menurunkan suku bunga masih terbatas walaupun inflasi cukup rendah. "Karena BI menjaga aliran dana untuk antisipasi ekonomi AS. Kami sangat mewaspadai dampak pelemahan nilai tukar ini terhadap kredit bermasalah," ujar Bianto dalam kunjungannya ke Gedung Sindo, Jakarta, Rabu (18/3/2015).
Dia menerangkan perseroan sudah seharusnya berjaga jika tidak mau kredit bermasalahnya semakin bertambah tahun ini. Porsi kredit korporasi atau wholesale banking masih menjadi mayoritas dalam penyaluran kredit, sehingga wajar dampak pelemahan industri akibat volatilitas nilai tukar cukup signifikan.
"Porsi wholesale banking setengah dari total kredit. Dan, ke depan masih akan menjadi andalan. Namun, kami akan lebih selektif dalam proses underwriting," katanya.
Dia menyebutkan, perbankan mencoba menjaga risiko volatilitas nilai tukar dengan berbagai cara. Meskipun porsi kredit dalam USD hanya 20% dari total pinjaman pihaknya tetap akan mewaspadai dampak lebih luas.
"Kredit USD harus sesuai dengan cashflow nasabah korporasi. Kami prioritaskan untuk perusahaan yang sudah melakukan hedging utangnya. Kami harus disiplin untuk antisipasi risiko," ujarnya.
Bianto menegaskan pemberian pinjaman akan lebih selektif untuk sektor yang sensitif dalam kondisi berat seperti saat ini. Sektor komoditas dan industri yang sensitif pada volatilitas nilai tukar akan diseleksi dengan ketat. Setidaknya dalam semester pertama perseroan akan melihat perkembangan perekonomian dan depresiasi nilai tukar rupiah.
"BI Rate memang turun, namun tidak signifikan. Masih harus dilihat apakah cost of fund sudah aman untuk kami turunkan suku bunga. Karena kami juga ingin kompetitif," jelasnya.
(dmd)