Mengukur Uang Pertanggungan Asuransi

Senin, 30 Maret 2015 - 09:50 WIB
Mengukur Uang Pertanggungan...
Mengukur Uang Pertanggungan Asuransi
A A A
Saya adalah seorang agen asuransi. Saya baru saja berkecimpung di bidang ini setelah sekitar tiga tahun terakhir saya menjadi seorang pengusaha. Sekarang sih usaha saya masih jalan, tapi saya sambi dengan menjadi agen asuransi yang sudah jalan sekitar enam bulan.

Enaknya menjadi pengusaha seperti saya sekarang Pak, saya bisa punya banyak kenalan yang juga pengusaha. Banyak dari mereka yang saya tawari produk- produk saya dan sambutannya positif. Bahkan, saya juga sering bertemu dengan para profesional yang berpenghasilan besar seperti dokter, artis, dan sebagainya. Yang saya tanyakan, bagaimana cara mengukur berapa sebaiknya uang pertanggungan yang diambil oleh profesional-profesional berpenghasilan besar tersebut?

Dewi, Surabaya Jawaban

Mbak Dewi, untuk orang yang berpenghasilan besar seperti artis, dokter, pengacara, dan lain sebagainya di mana mereka mendapatkan penghasilan berupa honor setiap kali mereka memberikan jasa, maka ada dua metode yang bisa digunakan. Pendekatannya human life value, financial needs, serta income needs.

Secara sederhana, human life value artinya adalah berapa potensi penghasilan yang hilang dari seseorang kalau dia meninggal dunia, dan jumlah ini harus bisa tetap dinikmati si ahli waris yang ditinggalkan sampai mereka bisa mandiri. Ini berarti, kalau seorang dokter saat ini punya penghasilan sebesar, katakan Rp1 miliar setahun, maka kalau dia meninggal dunia, maka human life value-nya adalah Rp1 miliar setahun.

Dengan asumsi bahwa keluarga yang ditinggalkan baru bisa mandiri sekitar lima tahun lagi dari sekarang, maka Anda bisa sarankan agar dia mengambil asuransi dengan uang pertanggungan sebesar lima tahun human life value-nya, misalkan Rp 5 miliar. Ini berarti, kalau dia meninggal dunia, maka keluarga yang dia tinggalkan akan tetap memiliki penghasilan seolah- olah dia masih tetap hidup selama lima tahun.

Tapi, jangan lupa, ada inflasi lho. Jadi, asumsikan saja bahwa uang pertanggungan yang diambil mengikuti human life value yang naik 10% per tahun karena inflasi, ini berarti: Potensi penghasilan tahun pertama Rp1 miliar, potensi penghasilan tahun kedua Rp1,1 miliar, potensi penghasilan tahun ketiga Rp1,21 miliar, potensi penghasilan tahun keempat Rp1,331 miliar dan potensi penghasilan tahun kelima Rp1,4641 miliar.

Total human life value selama lima tahun adalah Rp6,1051 miliar. Dibulatkan saja menjadi Rp6,5 miliar. Itulah uang pertanggungan asuransi yang bisa Anda sarankan kepada dia. Metode kedua adalah menggunakan metode financial needs. Metode ini menghitung uang pertanggungan bukan dengan melihat berapa besar potensi penghasilan yang hilang dari seseorang kalau dia meninggal dunia, tapi dari seberapa banyak biaya hidup dan kewajiban-kewajiban yang bisa-bisa tidak terbayar kalau dia meninggal dunia.

Contoh, seorang dokter yang memiliki istri dan satu anak punya penghasilan Rp1 miliar setahun. Biaya hidup keluarga yang ditanggungnya sebesar Rp30 juta sebulan atau Rp360 juta setahun. Kalau dia meninggal dunia, diperkirakan biaya hidup dalam keluarga akan menurun menjadi sebesar Rp20 juta sebulan atau Rp240 juta setahun.

Ini berarti, dengan asumsi bahwa anaknya mungkin belum akan mandiri sampai setelah 10 tahun, dan dengan asumsi inflasi 10% setahun, maka biaya hidup yang mungkin tidak akan terbayar selama 10 tahun adalah biaya hidup tahun pertama Rp240 juta, biaya hidup tahun kedua Rp264 juta, biaya hidup tahun ketiga Rp290,4 juta, biaya hidup tahun keempat Rp319,44 juta, biaya hidup tahun kelima Rp351,384 juta, dan biaya hidup tahun keenam Rp386,5224 juta.

Kemudian, biaya hidup tahun ketujuh Rp425,17464 juta, biaya hidup tahun kedelapan Rp467,692104 juta, biaya hidup tahun kesembilan Rp514,4613144 juta, dan biaya hidup tahun kesepuluh Rp565,90744584 juta. Jadi, total Rp3,8 miliar lebih. Nah ditambah dengan biaya-biaya lain yang mungkin muncul, plus uang kuliah anak dan sebagainya, maka mungkin Anda bisa sarankan uang pertanggungan sebesar Rp4,5 miliar kepada calon klien Anda.

Tapi, financial needs ini bisa dibilang masih gross. Katakan saja calon klien Anda punya simpanan di tabungan sebesar Rp1 miliar yang bisa dipakai. Jadi, financial needs yang benarbenar dibutuhkan adalah Rp3,5 M. Itulah uang pertanggungan yang bisa disarankan kepada calon klien. Metode ketiga adalah income needs yang lebih suka saya sebut sebagai metode fixed income investment needs.

Di sini, apa yang akan dilakukan oleh si ahli waris adalah dengan menghitung berapa besar UP yang dibutuhkan kalau UP itu, bila diinvestasikan (anggap saja ke deposito yang memberikan bunga, misalnya, 5% setahun), maka bunganya bisa menyamai pendapatan tahunan dari orang yang meninggal dunia, atau biaya hidup dari keluarga yang ditinggalkan, minimal sampai keluarga tersebut mandiri. Misalnya, pendapatan tahunan seseorang adalah Rp1 miliar setahun, dengan biaya hidup dari keluarga yang ditinggalkan adalah Rp20 juta sebulan atau Rp240 juta setahun.

Ini berarti, kalau dihitung dari income, maka dengan asumsi bunga deposito 5% setahun, jumlahnya mencapai Rp20 miliar. Itulah uang pertanggungan yang bisa disarankan kepada calon klien. Jadi, kalau terjadi kematian, maka si ahli waris bakal mendapatkan Rp20 miliar yang kalau diinvestasikan ke deposito yang memberikan 5% setahun, maka hasilnya adalah Rp1 miliar setahun.

Cukup untuk menggantikan pendapatan tahunan keluarga selama lima tahun tanpa memperhitungkan inflasi. Tapi, tidak apaapalah, toh biaya hidup tahunannya hanya Rp240 juta setahun, jauh di bawah Rp1 miliar setahun. Bisa juga metode income needs tadi tidak dikaitkan dengan potensi pendapatan tahunan, tapi dari biaya hidup.

Jadi kalau biaya hidup adalah Rp240 juta setahun, maka berapa uang pertanggungan yang dibutuhkan yang kalau diinvestasikan ke investasi yang memberikan 5% setahun bisa memberikan bunga Rp240 juta setahun. Ini berarti: Rp240 juta : 5% = Rp4,8 miliar. Ya, itu dia uang pertanggungan yang bisa disarankan.

Dengan UP itu, maka kalau terjadi kematian, uang Rp4,8 miliar, bila diinvestasikan ke investasi yang memberikan 5% setahun, akan sama dengan Rp240 juta setahun. Sekali lagi, ini tanpa memperhitungkan faktor Inflasi. Kalau diperhatikan, tentu makin besar asumsi bunga Investasinya, maka makin sedikit uang pertanggungan yang bisa disarankan ke calon klien sehingga makin besar kemungkinan dia akan mengambil produk Anda.

Ini berarti, mungkin Anda tidak hanya bisa menggunakan deposito sebagai alternatif investasi untuk menghitung asumsi suku bunga, mengingat suku bunga deposito sering kali malah di bawah 5%, tapi pertimbangkan juga alternatif lain seperti reksa dana pasar uang yang bisa memberikan return lebih besar, atau bisa juga uang pertanggungan itu dibelikan properti untuk disewakan. Hasil sewanya malah bisa naik terus tiap tahun. Jadi, asumsi suku bunga 5% setahun mungkin bisa dinaikkan jadi 10% setahun.

Dari ketiga metode di atas, maka human life value adalah metode yang paling rendah risikonya, karena keluarga yang ditinggalkan bisa tetap menikmati penghasilan yang biasa didapatkan si pencari nafkah tanpa harus menginvestasikan uang pertanggungan tersebut. Cuma ya enggak enaknya, uang itu akan habis setelah beberapa tahun, paling tidak sampai si ahli waris mandiri. Sementara, financial needs adalah metode yang paling murah.

Dengan asumsi bahwa jumlah biaya hidup pasti selalu lebih ke-cil dari pendapatan, maka jumlah uang pertanggungan yang dibutuhkan pasti jauh lebih kecil daripada metode human life value. Bagaimana dengan metode income needs atau yang sering saya sebut juga dengan fixed income investment needs? Ini metode yang membuat calon klien Anda harus membayar sangat mahal karena kebutuhan uang pertanggungannya jadi besar sekali.

Tapi, kalau calon klien Anda tidak masalah dengan uangnya, maka metode ini adalah metode yang sangat aman di mana keluarga yang ditinggalkan tidak akan pernah kehabisan uang sepanjang mereka terus menginvestasikan uang pertanggungan itu dengan baik. Salam, Safir.

Safir Senduk
Perencana Keuangan bit.ly/safirsendukrekan
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0809 seconds (0.1#10.140)