Menperin: Thorium Sumber Pembangkit Listrik Alternatif
A
A
A
JAKARTA - Upaya pemerintah dalam penyediaan energi alternatif, seperti tenaga matahari dan angin masih terbentur biaya produksi yang tinggi. Untuk itu, diperlukan pengembangan sumber daya energi yang murah dan ramah lingkungan, salah satunya thorium (material radioaktif dengan massa atom 232/Th-232).
“Kita bisa gunakan pembangkit listrik tenaga thorium, keunggulannya bahan baku mudah dan melimpah di Bangka Belitung (Babel), serta jauh lebih murah,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin dalam seminar Indonesia & Diversifikasi Energi di Jakarta, Selasa (14/4/2015).
Di Indonesia, lanjut dia, sumber daya thorium di Babel diperkirakan sebesar 170 ribu ton. Perhitungan 1 ton thorium mampu memproduksi 1.000 MW per tahun, maka jumlah bahan baku tersebut cukup untuk mengoperasikan 170 unit pembangkit listrik selama 1.000 tahun.
Dari sisi total biaya produksi termasuk operasional, pembangkit listrik tenaga thorium (PLTT) lebih murah karena hanya USD3 sen per kWH. Bandingkan dengan batu bara (USD5,6 sen), gas (USD4,8 sen), tenaga angin (USD18,4 sen) dan panas matahari (USD23,5 sen).
Dia menjelaskan, pengembangan thorium terhitung jangka panjang. Pertama, memenuhi energi secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku yang tersedia.
Kedua, membangun kemampuan teknologi industri energi berbasis thorium. Ketiga mengembangkan kemampuan industri pendukung terkait, termasuk industri komponen.
“Penggunaan thorium merupakan bagian diversifikasi energi sebagai salah satu kunci ketahanan dan kestabilan pasokan energi,” jelas Menperin.
Dorong Penurunan Harga Gas
Menperin juga menyinggung rasionalisasi harga energi gas. Pasalnya, harga gas untuk industri di Indonesia masih mahal, bertengger di angka USD10,2 per million metric British thermal unit (MMBTU).
Bandingkan dengan negara industri sekaliber Amerika Serikat yang harga gasnya justru turun dari USD5 per MMBTU (Januari 2014) menjadi USD2,94 per MMBTU (Desember 2014). Begitu juga dengan harga gas alam Asia yang mengacu pada impor LNG Jepang turun dari USD15,5 per MMBTU. “Jika kita ingin punya daya saing maka harga energi harus lebih kompetitif,” imbuhnya.
Menperin yakin, jika harga gas untuk industri diturunkan akan memberi multiefek yang luas karena menggerakkan industri, penciptaan lapangan kerja dan mendongkrak daya beli masyarakat.
Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran mengatakan, penguatan daya saing industri harus menjadi salah satu prioritas nasional. Karena kepentingannya tidak hanya meliputi para pelaku bisnis namun juga jutaan tenaga kerja.
“Untuk itu, energi termasuk gas seharusnya menjadi bagian dari proses produksi dan tidak hanya sebagai komoditas,” tandas Tumiran, yang juga akademisi dari Fakultas Teknik UGM.
“Kita bisa gunakan pembangkit listrik tenaga thorium, keunggulannya bahan baku mudah dan melimpah di Bangka Belitung (Babel), serta jauh lebih murah,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin dalam seminar Indonesia & Diversifikasi Energi di Jakarta, Selasa (14/4/2015).
Di Indonesia, lanjut dia, sumber daya thorium di Babel diperkirakan sebesar 170 ribu ton. Perhitungan 1 ton thorium mampu memproduksi 1.000 MW per tahun, maka jumlah bahan baku tersebut cukup untuk mengoperasikan 170 unit pembangkit listrik selama 1.000 tahun.
Dari sisi total biaya produksi termasuk operasional, pembangkit listrik tenaga thorium (PLTT) lebih murah karena hanya USD3 sen per kWH. Bandingkan dengan batu bara (USD5,6 sen), gas (USD4,8 sen), tenaga angin (USD18,4 sen) dan panas matahari (USD23,5 sen).
Dia menjelaskan, pengembangan thorium terhitung jangka panjang. Pertama, memenuhi energi secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku yang tersedia.
Kedua, membangun kemampuan teknologi industri energi berbasis thorium. Ketiga mengembangkan kemampuan industri pendukung terkait, termasuk industri komponen.
“Penggunaan thorium merupakan bagian diversifikasi energi sebagai salah satu kunci ketahanan dan kestabilan pasokan energi,” jelas Menperin.
Dorong Penurunan Harga Gas
Menperin juga menyinggung rasionalisasi harga energi gas. Pasalnya, harga gas untuk industri di Indonesia masih mahal, bertengger di angka USD10,2 per million metric British thermal unit (MMBTU).
Bandingkan dengan negara industri sekaliber Amerika Serikat yang harga gasnya justru turun dari USD5 per MMBTU (Januari 2014) menjadi USD2,94 per MMBTU (Desember 2014). Begitu juga dengan harga gas alam Asia yang mengacu pada impor LNG Jepang turun dari USD15,5 per MMBTU. “Jika kita ingin punya daya saing maka harga energi harus lebih kompetitif,” imbuhnya.
Menperin yakin, jika harga gas untuk industri diturunkan akan memberi multiefek yang luas karena menggerakkan industri, penciptaan lapangan kerja dan mendongkrak daya beli masyarakat.
Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran mengatakan, penguatan daya saing industri harus menjadi salah satu prioritas nasional. Karena kepentingannya tidak hanya meliputi para pelaku bisnis namun juga jutaan tenaga kerja.
“Untuk itu, energi termasuk gas seharusnya menjadi bagian dari proses produksi dan tidak hanya sebagai komoditas,” tandas Tumiran, yang juga akademisi dari Fakultas Teknik UGM.
(dmd)