Penetapan Iuran Jaminan Pensiun Terancam Terlambat
A
A
A
JAKARTA - Polemik penentuan iuran Program Jaminan Pensiun bisa mengakibatkan pengesahan RPP Jaminan Pensiun, yang menurut UU 24/2011 harus sudah beroperasi mulai 1 Juli 2015, terlambat. BPJS Watch menilai polemik ini mencoreng pemerintahan Jokowi karena antar kementerian tidak sejalan.
Keterlambatan pengesahan RPP Jaminan Pensiun juga menyebabkan kurangnya waktu sosialisasi Jaminan Pensiun kepada pengusaha dan pekerja.
“Atas masalah ini, Pak Hanif (menteri ketenagakerjaan) tidak boleh berdiam diri saja. Pak Hanif harus meminta Presiden Jokowi segera menandatangani RPP Jaminan Pensiun April ini dengan iuran 8%,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar dalam siaran persnya kepada Sindonews, Senin (20/4/2015).
Menurutnya, Presiden Jokowi harus segera bersikap dengan menandatangani RPP Jaminan Pensiun dengan menetapkan iuran 8% yang telah dirilis Kemenaker sebagai iuran awal Jaminan Pensiun. RPP tersebut harus ditandatangani pada April ini, sehingga masih ada waktu 2 bulan (Mei dan Juni) untuk sosialisasi.
Bila Presiden Jokowi tidak bersikap cepat dan tidak menetapkan iuran 8%, Jokowi akan dicap sebagai presiden yang tidak peduli pada jaminan sosial, dan telah melanggar UU 40/2004 dan UU 24 tahun 2011. Sementara Menaker akan dinilai gagal dan telah melakukan kebohongan publik karena sebelumnya telah menyatakan iuran 8% sudah final. “Pak Hanif harus berani menyatakan pengunduran dirinya sebagai menteri,” tegas Timboel.
Sebelumnya, Menaker menyatakan iuran jaminan pensiun 8% (pengusaha 5%, dan pekerja 3%) sudah final, dan RPP Jaminaan pensiun akan ditandatangani pada April ini merupakan pertanda baik jaminan pensiun akan berjalan mulai 1 Juli 2015.
Namun pernyataan Menaker tersebut tidak otomatis mewakili suara pemerintah secara keseluruhan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa angka 8% belum final, dan iuran 8% tersebut diminta untuk diturunkan
Keterlambatan pengesahan RPP Jaminan Pensiun juga menyebabkan kurangnya waktu sosialisasi Jaminan Pensiun kepada pengusaha dan pekerja.
“Atas masalah ini, Pak Hanif (menteri ketenagakerjaan) tidak boleh berdiam diri saja. Pak Hanif harus meminta Presiden Jokowi segera menandatangani RPP Jaminan Pensiun April ini dengan iuran 8%,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar dalam siaran persnya kepada Sindonews, Senin (20/4/2015).
Menurutnya, Presiden Jokowi harus segera bersikap dengan menandatangani RPP Jaminan Pensiun dengan menetapkan iuran 8% yang telah dirilis Kemenaker sebagai iuran awal Jaminan Pensiun. RPP tersebut harus ditandatangani pada April ini, sehingga masih ada waktu 2 bulan (Mei dan Juni) untuk sosialisasi.
Bila Presiden Jokowi tidak bersikap cepat dan tidak menetapkan iuran 8%, Jokowi akan dicap sebagai presiden yang tidak peduli pada jaminan sosial, dan telah melanggar UU 40/2004 dan UU 24 tahun 2011. Sementara Menaker akan dinilai gagal dan telah melakukan kebohongan publik karena sebelumnya telah menyatakan iuran 8% sudah final. “Pak Hanif harus berani menyatakan pengunduran dirinya sebagai menteri,” tegas Timboel.
Sebelumnya, Menaker menyatakan iuran jaminan pensiun 8% (pengusaha 5%, dan pekerja 3%) sudah final, dan RPP Jaminaan pensiun akan ditandatangani pada April ini merupakan pertanda baik jaminan pensiun akan berjalan mulai 1 Juli 2015.
Namun pernyataan Menaker tersebut tidak otomatis mewakili suara pemerintah secara keseluruhan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa angka 8% belum final, dan iuran 8% tersebut diminta untuk diturunkan
(dmd)