Produk Kulit Sukaregang Diharapkan Jadi Ikon Nasional
A
A
A
GARUT - Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin menginginkan sentra industri kulit Sukaregang menjadi ikon industri kulit nasional. Meski begitu, Saleh mengaku terdapat sejumlah hambatan yang dialami para penyamak dan perajin kulit.
“Dari pertemuan (dengan penyamak dan perajin kulit) itu, ternyata ada banyak sekali kendala yang dihadapi. Misalnya, persoalan kesulitan bahan baku, aspek pasar dan desain, sumber daya manusia, teknologi hingga pengelolaan limbah pascaproduksi,” kata Saleh di Garut, Senin (27/4/2015).
Menurut para penyamak dan perajin, dia menambahkan, kesulitan dalam hal memperoleh bahan baku karena mereka harus mengimpor dengan harga cukup tinggi. Kondisi tersebut karena impor bahan baku tidak terjadi secara langsung dengan negara pengekspor, melainkan mesti melewati negara lain dahulu.
“Mereka jika ingin mengimpor bahan baku kulit dari Arab Saudi itu harus melalui negara perantara dahulu. Semestinya bisa langsung. Kulit dari Arab Saudi itu merupakan hasil dari hewan yang dikurbankan di Tanah Suci. Sebenarnya bisa langsung. Saya sudah berkoordinasi dengan pak Dirjen. Beliau menjelaskan masalah ini bisa diatasi,” paparnya.
Mengenai masalah aspek pasar dan desain, Saleh mengatakan, pihaknya sudah meneken perjanjian kesepakatan dengan Duta Besar Italia untuk Indonesia. Kerja sama tersebut ditujukan untuk meningkatkan mutu dan desain.
“Untuk masalah limbah, kita sudah koordinasi dengan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan Lingkungan Hidup (LH) agar masalah ini bisa teratasi," ujarnya.
Dia berharap, industri kulit memiliki program-program baik dalam peralatan desain dan pendekatan mutu. Diharapkan juga bisa menjadi ikon Indonesia.
"Bagaimana tidak, kualitas kulit dari Sukaregang ini tidak kalah dengan Turki. Harga kulit hasil produksi Turki adalah USD1.000, sementara hasil produk Sukaregang hanya USD100,” ungkapnya.
Sekretaris Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Kabupaten Garut Yusuf mengungkapkan, hambatan yang dihadapi para pelaku industri kulit Sukaregang adalah sulitnya mendapat bahan baku.
"Sementara kondisi pasar lesu. Impor harga mahal, sehingga sulit bersaing. Teknologi juga masih kurang. Apalagi selama ini kami menghadapi persoalan dalam mengelola limbah. Semoga bisa diselesaikan dengan lintas kementerian,” tandasnya.
“Dari pertemuan (dengan penyamak dan perajin kulit) itu, ternyata ada banyak sekali kendala yang dihadapi. Misalnya, persoalan kesulitan bahan baku, aspek pasar dan desain, sumber daya manusia, teknologi hingga pengelolaan limbah pascaproduksi,” kata Saleh di Garut, Senin (27/4/2015).
Menurut para penyamak dan perajin, dia menambahkan, kesulitan dalam hal memperoleh bahan baku karena mereka harus mengimpor dengan harga cukup tinggi. Kondisi tersebut karena impor bahan baku tidak terjadi secara langsung dengan negara pengekspor, melainkan mesti melewati negara lain dahulu.
“Mereka jika ingin mengimpor bahan baku kulit dari Arab Saudi itu harus melalui negara perantara dahulu. Semestinya bisa langsung. Kulit dari Arab Saudi itu merupakan hasil dari hewan yang dikurbankan di Tanah Suci. Sebenarnya bisa langsung. Saya sudah berkoordinasi dengan pak Dirjen. Beliau menjelaskan masalah ini bisa diatasi,” paparnya.
Mengenai masalah aspek pasar dan desain, Saleh mengatakan, pihaknya sudah meneken perjanjian kesepakatan dengan Duta Besar Italia untuk Indonesia. Kerja sama tersebut ditujukan untuk meningkatkan mutu dan desain.
“Untuk masalah limbah, kita sudah koordinasi dengan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan Lingkungan Hidup (LH) agar masalah ini bisa teratasi," ujarnya.
Dia berharap, industri kulit memiliki program-program baik dalam peralatan desain dan pendekatan mutu. Diharapkan juga bisa menjadi ikon Indonesia.
"Bagaimana tidak, kualitas kulit dari Sukaregang ini tidak kalah dengan Turki. Harga kulit hasil produksi Turki adalah USD1.000, sementara hasil produk Sukaregang hanya USD100,” ungkapnya.
Sekretaris Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Kabupaten Garut Yusuf mengungkapkan, hambatan yang dihadapi para pelaku industri kulit Sukaregang adalah sulitnya mendapat bahan baku.
"Sementara kondisi pasar lesu. Impor harga mahal, sehingga sulit bersaing. Teknologi juga masih kurang. Apalagi selama ini kami menghadapi persoalan dalam mengelola limbah. Semoga bisa diselesaikan dengan lintas kementerian,” tandasnya.
(rna)