Aturan Kelonggaran Likuiditas Bank Terbit Juni
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) siap keluarkan aturan Loan to Funding Ratio (LFR) pada Juni tahun ini. Aturan ini diyakini dapat memperbesar ruang likuiditas perbankan, sehingga mendorong ekspansi kredit di kuartal berikutnya.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yati Kurniati mengatakan, pihaknya memperluas definisi simpanan atau dana pihak ketiga (DPK) perbankan, sehingga rasio likuiditas atau Loan to Deposit Ratio (LDR) berubah menjadi LFR dengan turut menghitung pencarian dana lewat surat utang.
"Aturan LFR harusnya terbit Mei, namun ada masalah sistem untuk teknis laporan. Di bulan Juni sudah bisa diterapkan," ujar Yati beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan dalam kriteria funding tersebut bank tidak hanya menghitung DPK tapi juga obligasi korporasi. Selain obligasi juga berlaku surat utang lainnya, seperti medium term notes (MTN) dan juga mandatory convertible notes (MCN) dan kriteria ini tidak berlaku untuk subordinated debt.
"Kami juga menentukan syarat surat utang tersebut dengan rate tertentu, sehingga jangan sampai surat utang asal diterbitkan saja demi manajemen resiko bank yang lebih baik," ujarnya.
Dia mengatakan, dengan rasio yang semakin besar maka dapat mendorong bank memperbesar ruang penyaluran kredit ke masyarakat. Minggu depan pihaknya akan mulai melakukan sosialisasi aturan tersebut demi mengantisipasi penurunan nilai kredit yang disalurkan perbankan hingga kuartal I tahun ini.
Meskipun kondisi likuiditas perbankan sudah lebih baik di bawah batas atas 92%, namun ini dinilai karena perlambatan kredit dan juga kesenjangan DPK dengan kredit makin kecil, sehingga kredit tidak bisa tumbuh cepat.
Nantinya bank boleh memasukkan surat berharga untuk menghindari aturan kewajiban rasio LDR terhadap Giro Wajib Minimum (GWM). Dalam aturan LDR-GWM, bank yang memiliki LDR di atas 92%, terkena tambahan GWM 0,2%, dari 1% kelebihan GWM.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, baik LDR atau LFR itu berarti ada masalah mikro dan makro, sehingga pihaknya tidak mempermasalahkan apakah nanti kebijakannya dalam bentuk peraturan BI ataupun Peraturan OJK.
"Ya makro dan mikro ada dampaknya. Jadi, dua instansi ini harus bersama sama membahas seperti apa formulanya. Kalau soal bentuk aturannya sebenarnya tidak terlalu masalah. Yang penting ada kesepakatan antara kedua instansi," ujar Nelson kemarin di Jakarta.
Executive Director Mandiri Destry Damayanti menilai kondisi bunga kredit tinggi perbankan merupakan dampak cost of fund dari dana mahal, sehingga paling tidak dengan LFR membuat kondisi jadi positif karena bagi beberapa bank juga sudah banyak yang melewati batas atas 92% dan terkena pinalti setoran GWM.
"Semoga kredit bisa lebih agresif karena masalahnya kalau kena pinalti bisa merusak reputasi bank tersebut," ujar Destry.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yati Kurniati mengatakan, pihaknya memperluas definisi simpanan atau dana pihak ketiga (DPK) perbankan, sehingga rasio likuiditas atau Loan to Deposit Ratio (LDR) berubah menjadi LFR dengan turut menghitung pencarian dana lewat surat utang.
"Aturan LFR harusnya terbit Mei, namun ada masalah sistem untuk teknis laporan. Di bulan Juni sudah bisa diterapkan," ujar Yati beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan dalam kriteria funding tersebut bank tidak hanya menghitung DPK tapi juga obligasi korporasi. Selain obligasi juga berlaku surat utang lainnya, seperti medium term notes (MTN) dan juga mandatory convertible notes (MCN) dan kriteria ini tidak berlaku untuk subordinated debt.
"Kami juga menentukan syarat surat utang tersebut dengan rate tertentu, sehingga jangan sampai surat utang asal diterbitkan saja demi manajemen resiko bank yang lebih baik," ujarnya.
Dia mengatakan, dengan rasio yang semakin besar maka dapat mendorong bank memperbesar ruang penyaluran kredit ke masyarakat. Minggu depan pihaknya akan mulai melakukan sosialisasi aturan tersebut demi mengantisipasi penurunan nilai kredit yang disalurkan perbankan hingga kuartal I tahun ini.
Meskipun kondisi likuiditas perbankan sudah lebih baik di bawah batas atas 92%, namun ini dinilai karena perlambatan kredit dan juga kesenjangan DPK dengan kredit makin kecil, sehingga kredit tidak bisa tumbuh cepat.
Nantinya bank boleh memasukkan surat berharga untuk menghindari aturan kewajiban rasio LDR terhadap Giro Wajib Minimum (GWM). Dalam aturan LDR-GWM, bank yang memiliki LDR di atas 92%, terkena tambahan GWM 0,2%, dari 1% kelebihan GWM.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, baik LDR atau LFR itu berarti ada masalah mikro dan makro, sehingga pihaknya tidak mempermasalahkan apakah nanti kebijakannya dalam bentuk peraturan BI ataupun Peraturan OJK.
"Ya makro dan mikro ada dampaknya. Jadi, dua instansi ini harus bersama sama membahas seperti apa formulanya. Kalau soal bentuk aturannya sebenarnya tidak terlalu masalah. Yang penting ada kesepakatan antara kedua instansi," ujar Nelson kemarin di Jakarta.
Executive Director Mandiri Destry Damayanti menilai kondisi bunga kredit tinggi perbankan merupakan dampak cost of fund dari dana mahal, sehingga paling tidak dengan LFR membuat kondisi jadi positif karena bagi beberapa bank juga sudah banyak yang melewati batas atas 92% dan terkena pinalti setoran GWM.
"Semoga kredit bisa lebih agresif karena masalahnya kalau kena pinalti bisa merusak reputasi bank tersebut," ujar Destry.
(rna)