Pengembangan Bioenergi Nasional Harus Didukung Regulasi
Rabu, 15 Maret 2023 - 23:43 WIB
JAKARTA - Anggota Ombudsman Republik Indonesia Hery Susanto mengatakan pengembangan bioenergi nasional harus didukung dengan regulasi. Menurut Hery, RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) akan dibahas oleh DPR RI pada Juni 2023 mendatang.
“Regulasi ini akan mengatur mulai dari hulu sampai ke hilir. Mudah-mudahan Juni 2023 ini bisa terealisasi dan sah menjadi UU oleh DPR RI,” dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/3/2023).
Dia menambahkan, hal itu perlu dilakukan gara ada kepastian pengelolaaan bioenergi terutama biodiesel, serta peran masing-masing dari daerah penghasil sawit. “Kemudian, sistem peremajaannya sampai pengelolaan biodiesel oleh Pertamina bisa saling bersinergi dalam mendukung pengadaan biodiesel secara nasional,” lanjutnya.
(Baca juga:RUU EBT Dikhawatirkan Tidak Dorong Kemandirian Energi Nasional)
Sementara itu,Senior Analyst Non Hydrocarbon Commercial Development Meta Tri Jayanthy yang mewakili Direktur Pertamina menyampaikan pengadaan biofuel masih memiliki banyak kendala. Salah satunya ialah keterbatasan teknologi, serta pabrik untuk dilakukan pengadaan secara nasional.
“Mulai dari ketersedian bahan baku yang tidak ada kepastian, harga bahan baku yang cukup tinggi sehingga menyebabkan Pertamina masih mengkaji untuk pengadaan biofuel itu secara massal,” kata Meta.
Gubernur Riau Syamsuar menyampaikan bahwa energi merupakan kebutuhan primer. Sebab setiap aspek kehidupan selalu berkaitan dengan energi. Hal ini mempengaruhi kebutuhan energi yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
(Baca juga:Skema Power Wheeling Diminta Tidak Masuk RUU EBT)
Konsumsi energi fosil Indonesia pada tahun 2021 sebesar 909,24 juta barel setara minyak Barrel Oil Equivalent (BOE). Hal ini berbanding terbalik dengan produksi energi fosil saat ini.
Di sektor migas, realisasi produksi minyak Indonesia pada 2021 rata-rata mencapai 660.000 BOPD (Barrel Oil Per Day) dari target APBN yang sebesar 705.000 BOPD. “Sedangkan produksi migas di Riau sebesar 181.000 BOPD,” katanya.
Stok energi fosil yang terus berkurang, kata dia, baik dari segi produksi maupun dari segi penemuan cadangan baru, diperparah dengan fluktuasi harga minyak dunia, sehingga berdampak bagi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. “Terobosan baru terus diusahakan oleh pemerintah agar pemanfaatan energi secara maksimal dengan harga yang terjangkau atau energi berkeadilan dapat dirasakan oleh rakyat,” kata Syamsuar.
Tren energi baru dan energi terbarukan (EBET) semakin meningkat. Hal ini didasari oleh energi baru dan energi terbarukan memiliki konsep keberlanjutan. “Namun, perkembangan ini harus mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan keekonomian, sistem dan kebijakan energi suatu daerah atau dinamakan transisi energi,” ungkapnya.
“Regulasi ini akan mengatur mulai dari hulu sampai ke hilir. Mudah-mudahan Juni 2023 ini bisa terealisasi dan sah menjadi UU oleh DPR RI,” dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/3/2023).
Dia menambahkan, hal itu perlu dilakukan gara ada kepastian pengelolaaan bioenergi terutama biodiesel, serta peran masing-masing dari daerah penghasil sawit. “Kemudian, sistem peremajaannya sampai pengelolaan biodiesel oleh Pertamina bisa saling bersinergi dalam mendukung pengadaan biodiesel secara nasional,” lanjutnya.
(Baca juga:RUU EBT Dikhawatirkan Tidak Dorong Kemandirian Energi Nasional)
Sementara itu,Senior Analyst Non Hydrocarbon Commercial Development Meta Tri Jayanthy yang mewakili Direktur Pertamina menyampaikan pengadaan biofuel masih memiliki banyak kendala. Salah satunya ialah keterbatasan teknologi, serta pabrik untuk dilakukan pengadaan secara nasional.
“Mulai dari ketersedian bahan baku yang tidak ada kepastian, harga bahan baku yang cukup tinggi sehingga menyebabkan Pertamina masih mengkaji untuk pengadaan biofuel itu secara massal,” kata Meta.
Gubernur Riau Syamsuar menyampaikan bahwa energi merupakan kebutuhan primer. Sebab setiap aspek kehidupan selalu berkaitan dengan energi. Hal ini mempengaruhi kebutuhan energi yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
(Baca juga:Skema Power Wheeling Diminta Tidak Masuk RUU EBT)
Konsumsi energi fosil Indonesia pada tahun 2021 sebesar 909,24 juta barel setara minyak Barrel Oil Equivalent (BOE). Hal ini berbanding terbalik dengan produksi energi fosil saat ini.
Di sektor migas, realisasi produksi minyak Indonesia pada 2021 rata-rata mencapai 660.000 BOPD (Barrel Oil Per Day) dari target APBN yang sebesar 705.000 BOPD. “Sedangkan produksi migas di Riau sebesar 181.000 BOPD,” katanya.
Stok energi fosil yang terus berkurang, kata dia, baik dari segi produksi maupun dari segi penemuan cadangan baru, diperparah dengan fluktuasi harga minyak dunia, sehingga berdampak bagi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. “Terobosan baru terus diusahakan oleh pemerintah agar pemanfaatan energi secara maksimal dengan harga yang terjangkau atau energi berkeadilan dapat dirasakan oleh rakyat,” kata Syamsuar.
Tren energi baru dan energi terbarukan (EBET) semakin meningkat. Hal ini didasari oleh energi baru dan energi terbarukan memiliki konsep keberlanjutan. “Namun, perkembangan ini harus mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan keekonomian, sistem dan kebijakan energi suatu daerah atau dinamakan transisi energi,” ungkapnya.
(dar)
tulis komentar anda