Gawat! Bos OJK Ungkap Era Dana Mudah dan Murah Sudah Berakhir
Senin, 08 Mei 2023 - 15:24 WIB
JAKARTA - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) Mahendra Siregar mengatakan, sudah tidak ada lagi era dana mudah dan murah. Pasalnya, kondisi sistem keuangan global sudah berubah secara drastis dan menyebabkan suku bunga acuan meningkat dengan cepat.
"Dengan berubahnya secara drastis kondisi keuangan dan moneter global, maka tingkat bunga menjadi begitu cepat naik dalam waktu singkat. Sudah tidak ada lagi dana murah, dana mudah dan bahkan dana gratis," kata Mahendra di acara diskusi panel dalam rangkaian Opening Ceremony of Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) 2023 yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (8/5/2023).
Menurutnya, fenomena tidak adanya dana mudah dan murah bukan hanya sementara, namun akan menjadi new normal. "Saya rasa inilah the new normal and permanent future ke depan, tidak ada lagi dana yang dengan mudahnya saja bisa diberikan," ujarnya.
Dia menerangkan, saat era dana murah, dana mudah, dan hampir-hampir dana gratis serta likuiditas perbankan berlimpah-limpah, maka keberadaan industri dan pelaku usaha jasa keuangan digital tidak harus terlalu memperhatikan aspek keuntungan, prospek, dan juga kesehatan dari kondisinya.
"Jadi yang diperhatikan itu hanya top line, berapa besar akan tumbuh berapa besar, akan mencapai target yang ditentukan, apalagi oleh iming-iming investasi yang series berikutnya menuju kepada unicorn, IPO dan seterusnya," jelasnya.
Namun saat ini, tambah Mahendra, industri dan pelaku usaha jasa keuangan digital diharuskan untuk tidak hanya melihat aspek top line, tapi juga harus melihat bottom line. Mereka harus melihat keberlanjutan dalam jangka panjang dari kacamata bisnisnya, dari kacamata provitability-nya, dan juga sekaligus berkelanjutan.
"Di sini kunci dari pengawasan yang dalam hal ini termasuk dilakukan oleh OJK kepada pengawasan mikro prudential, yaitu masing-masing perusahaan maupun industri di sektor jasa keuangan," jelasnya.
Mahendra mencontohkan banyak negara di dunia memberi perlakuan terhadap bank digital ataupun industri keuangan digital itu berbeda dengan pengawasan dan perangkat pengaturan yang diberlakukan kepada bank yang konvensional atau industri konvensional. Di Indonesia kedua hal itu sama, sebab kalau itu dikorbankan maka persoalannya adalah ada trade off antara inovasi perkembangan pertumbuhan dengan kondisi kesehatan stabilitas.
"Jadi apa pun namanya bank itu, tetap bank harus memenuhi kaidah kriteria dan persyaratan yang prudent dan juga kondisi kesehatan jelas, rasio-rasio keuangan juga sama, bank apa pun itu, sehingga kekhawatiran untuk melihat kondisi yang berbeda dari diversifikasi jenis industri keuangan akan lebih berkurang," pungkasnya.
"Dengan berubahnya secara drastis kondisi keuangan dan moneter global, maka tingkat bunga menjadi begitu cepat naik dalam waktu singkat. Sudah tidak ada lagi dana murah, dana mudah dan bahkan dana gratis," kata Mahendra di acara diskusi panel dalam rangkaian Opening Ceremony of Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) 2023 yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (8/5/2023).
Menurutnya, fenomena tidak adanya dana mudah dan murah bukan hanya sementara, namun akan menjadi new normal. "Saya rasa inilah the new normal and permanent future ke depan, tidak ada lagi dana yang dengan mudahnya saja bisa diberikan," ujarnya.
Dia menerangkan, saat era dana murah, dana mudah, dan hampir-hampir dana gratis serta likuiditas perbankan berlimpah-limpah, maka keberadaan industri dan pelaku usaha jasa keuangan digital tidak harus terlalu memperhatikan aspek keuntungan, prospek, dan juga kesehatan dari kondisinya.
"Jadi yang diperhatikan itu hanya top line, berapa besar akan tumbuh berapa besar, akan mencapai target yang ditentukan, apalagi oleh iming-iming investasi yang series berikutnya menuju kepada unicorn, IPO dan seterusnya," jelasnya.
Namun saat ini, tambah Mahendra, industri dan pelaku usaha jasa keuangan digital diharuskan untuk tidak hanya melihat aspek top line, tapi juga harus melihat bottom line. Mereka harus melihat keberlanjutan dalam jangka panjang dari kacamata bisnisnya, dari kacamata provitability-nya, dan juga sekaligus berkelanjutan.
"Di sini kunci dari pengawasan yang dalam hal ini termasuk dilakukan oleh OJK kepada pengawasan mikro prudential, yaitu masing-masing perusahaan maupun industri di sektor jasa keuangan," jelasnya.
Mahendra mencontohkan banyak negara di dunia memberi perlakuan terhadap bank digital ataupun industri keuangan digital itu berbeda dengan pengawasan dan perangkat pengaturan yang diberlakukan kepada bank yang konvensional atau industri konvensional. Di Indonesia kedua hal itu sama, sebab kalau itu dikorbankan maka persoalannya adalah ada trade off antara inovasi perkembangan pertumbuhan dengan kondisi kesehatan stabilitas.
Baca Juga
"Jadi apa pun namanya bank itu, tetap bank harus memenuhi kaidah kriteria dan persyaratan yang prudent dan juga kondisi kesehatan jelas, rasio-rasio keuangan juga sama, bank apa pun itu, sehingga kekhawatiran untuk melihat kondisi yang berbeda dari diversifikasi jenis industri keuangan akan lebih berkurang," pungkasnya.
(uka)
tulis komentar anda