Bebani Petani Sawit, Bursa CPO Perlu Ditinjau Ulang
Selasa, 23 Mei 2023 - 10:39 WIB
JAKARTA - Rencana pemerintah meluncurkan bursa untuk perdagangan komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Juni 2023 mendatang perlu ditinjau ulang. Pasalnya, kebijakan tersebut dapat menguntungkan buyer/asing, sekaligus merugikan pelaku usaha termasuk petani sawit karena menanggung biaya tambahan.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menilai bursa CPO di Indonesia tentu akan menguntungkan buyer karena memberikan banyak pilihan selain bursa Malaysia dan Rotterdam.
"Sekarang kan ada duapoli, yakni di Malaysia dan Rotterdam. Kalau ditambah lagi akan lebih banyak. Jadi kan persaingan lebih ketat. Akhirnya buyer lebih selektif karena punya banyak pilihan," kata Tauhid.
Namun demikian, kata Tauhid Ahmad, bursa CPO Indonesia akan menguntungkan bagi pemerintah karena lebih fair dalam mengacu pada penetapan pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK). "Itu lebih clear ketimbang yang dipakai bursa Malaysia. Nah ini menguntungkan bagi pemerintah dalam menetapkan pungutan bea keluar dan lainnya," jelasnya.
Tapi, lanjut dia, bagi eksportir, belum tentu harga yang diterima itu lebih baik. Bisa saja harga lebih tinggi, tapi karena ada persaingan yang lebih ketat antar bursa, itu bisa membentuk harga yang lebih rendah. Sama halnya seperti komoditas minyak mentah, ada Brent, ada WTI, dan lainnya. Biasanya ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah.
"Tinggal nanti apakah kita menjual CPO dengan kualitas yang sama atau tidak. Nah, itu yang berbeda. Selain itu kemungkinan ada perbedaan karena adanya biaya logistik dan lain sebagainya. Kalau beli di sini, ada cost untuk mengambilnya, misalnya. Tinggal dilihat dinamika harganya seperti apa," jelasnya.
Di sisi lain, Tauhid menambahkan, yang masuk dalam bursa komoditas itu ada biaya/cost walaupun mungkin nanti tergantung volume yang diperdagangkan.
"Semakin banyak yang diperdagangkan, ya semakin tinggi cost-nya. Kayak di bursa efek, ada biaya fee bursa, tapi kecil. Nah ini juga sama. Lembaga bursa itu harus hidup, dia punya infrastruktur, SDM, dan lainnya. Tidak mungkin lembaga bursa ini dibiayai pemerintah secara utuh," jelasnya.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menilai bursa CPO di Indonesia tentu akan menguntungkan buyer karena memberikan banyak pilihan selain bursa Malaysia dan Rotterdam.
"Sekarang kan ada duapoli, yakni di Malaysia dan Rotterdam. Kalau ditambah lagi akan lebih banyak. Jadi kan persaingan lebih ketat. Akhirnya buyer lebih selektif karena punya banyak pilihan," kata Tauhid.
Namun demikian, kata Tauhid Ahmad, bursa CPO Indonesia akan menguntungkan bagi pemerintah karena lebih fair dalam mengacu pada penetapan pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK). "Itu lebih clear ketimbang yang dipakai bursa Malaysia. Nah ini menguntungkan bagi pemerintah dalam menetapkan pungutan bea keluar dan lainnya," jelasnya.
Tapi, lanjut dia, bagi eksportir, belum tentu harga yang diterima itu lebih baik. Bisa saja harga lebih tinggi, tapi karena ada persaingan yang lebih ketat antar bursa, itu bisa membentuk harga yang lebih rendah. Sama halnya seperti komoditas minyak mentah, ada Brent, ada WTI, dan lainnya. Biasanya ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah.
"Tinggal nanti apakah kita menjual CPO dengan kualitas yang sama atau tidak. Nah, itu yang berbeda. Selain itu kemungkinan ada perbedaan karena adanya biaya logistik dan lain sebagainya. Kalau beli di sini, ada cost untuk mengambilnya, misalnya. Tinggal dilihat dinamika harganya seperti apa," jelasnya.
Di sisi lain, Tauhid menambahkan, yang masuk dalam bursa komoditas itu ada biaya/cost walaupun mungkin nanti tergantung volume yang diperdagangkan.
"Semakin banyak yang diperdagangkan, ya semakin tinggi cost-nya. Kayak di bursa efek, ada biaya fee bursa, tapi kecil. Nah ini juga sama. Lembaga bursa itu harus hidup, dia punya infrastruktur, SDM, dan lainnya. Tidak mungkin lembaga bursa ini dibiayai pemerintah secara utuh," jelasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda