Perekonomian Amerika dan China Lagi Lelet, Ekonomi Global Diramal Hanya Tumbuh 2,7%
Kamis, 22 Juni 2023 - 16:17 WIB
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut ekonomi global masih dilingkupi ketidakpastian dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi.
"Pertumbuhan ekonomi global diprakirakan sebesar 2,7% (yoy) dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat dan China," ujarnya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Di Amerika Serikat (AS), tekanan inflasi masih tinggi terutama karena keketatan pasar tenaga kerja di tengah kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan (SSK) yang mereda.
Menurut Perry, situasi ini mendorong kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) ke depan. "Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar," tuturnya.
Senada, di China pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prakiraan di tengah inflasi yang rendah sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter. Sementara itu, pemulihan ekonomi di negara berkembang lain, seperti India, tetap kuat didorong oleh permintaan domestik dan ekspor jasa.
Kondisi ekonomi di negara maju dan berkembang tersebut mendorong nilai tukar dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang negara maju namun menguat terhadap mata uang negara berkembang.
"Perkembangan tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia," tutup Perry.
"Pertumbuhan ekonomi global diprakirakan sebesar 2,7% (yoy) dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat dan China," ujarnya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Di Amerika Serikat (AS), tekanan inflasi masih tinggi terutama karena keketatan pasar tenaga kerja di tengah kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan (SSK) yang mereda.
Menurut Perry, situasi ini mendorong kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) ke depan. "Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar," tuturnya.
Senada, di China pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prakiraan di tengah inflasi yang rendah sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter. Sementara itu, pemulihan ekonomi di negara berkembang lain, seperti India, tetap kuat didorong oleh permintaan domestik dan ekspor jasa.
Baca Juga
Kondisi ekonomi di negara maju dan berkembang tersebut mendorong nilai tukar dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang negara maju namun menguat terhadap mata uang negara berkembang.
"Perkembangan tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia," tutup Perry.
(ind)
tulis komentar anda