Pemberlakuan EUDR, Indonesia Berpotensi Kehilangan Rp107 Triliun
Senin, 11 September 2023 - 12:17 WIB
JAKARTA - Kebijakan Uni Eropa yang telah mengesahkan Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/ EUDR ) yang berpotensi besar menimbulkan efek negatif terhadap necara perdagangan Indonesia.
Pakar Hukum Bisis dan Perdagangan Internasional, Prof. Dr. Ariawan Gunadi mengatakan sebagai negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia, implementasi EUDR dapat menghambat perdagangan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya bahkan berpotensi memicu kerugian sebesar USD7 miliar atau Rp107 triliun terhadap neraca perdagangan internasional Indonesia.
"Ini membebani produsen kelapa sawit, dan merugikan petani kecil dari rantai pasokan," ujar Ariawan Gunadi, Senin (11/9/2023).
Selain itu, adanya persyaratan uji tuntas (due diligence) deforestasi dalam semua supply chain perdagangan internasional Uni Eropa secara inheren menciptakan sistem penolokukuran (benchmarking) yang bersifat diskriminatif bagi negara-negara eksportir kelapa sawit karena mempersulit akses market penetration ke pasar Uni Eropa, membebani produsen kelapa sawit, dan merugikan petani kecil dari rantai pasokan.
Menurut dia regulasi EUDR ini juga tidak sejalan dengan prinsip dan kaidah aturan di World Trade Organization (WTO) karena merupakan bentuk hambatan non tarif (non tariff barrier) dan menggunakan standarisasi yang berbeda dari ketentuan standarisasi yang telah berlaku serta bertentangan dengan semangat kerja sama negara-negara dunia untuk mengatasi isu perubahan iklim baik dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs), Paris Agreement, maupun Conference of The Parties (COP).
"Seharusnya Uni Eropa menghargai upaya-upaya yang telah dilakukan negara-negara produsen eksportir komoditas dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya dengan melibatkan negara-negara produsen eksportir komoditas seperti Indonesia," kata alumni S3 Universitas Indonesia ini.
Karena besarnya potensi kerugian yang akan dihadapi oleh Indonesia imbas dari pemberlakuan EUDR, Ariawan yang juga guru besar Universitas Tarumanagara ini menyarakan pemerintah Indonesia melakukan sejumlah langkah, di antaranya Indonesia bersama dengan negara-negara eksportir lainnya dapat mengajukan keberatan secara resmi dan tertulis kepada Uni Eropa untuk membatalkan regulasi EUDR.
Pemerintah Indonesia perlu untuk melakukan penilaian kembali secara internal untuk memastikan bahwa produk-produk yang diekspor ke Uni Eropa telah sesuai dengan prinsip dan kaidah aturan di World Trade Organization (WTO). Selain itu, sebagai anggota G20, Pemerintah Indonesia dapat melakukan diplomasi kepada Uni Eropa untuk mencabut ketentuan wajib melakukan uji tuntas dalam EUDR karena bersifat diskriminasi dan mendesak WTO untuk memastikan tidak agar upaya-upaya delegitimasi yang bertentangan dengan perdagangan yang berkeadilan (fair trade).
Keempat, Pemerintah Indonesia juga harus mempersiapkan strategi diversifikasi pasar minyak sawit ke kawasan lain seperti Afrika, Eropa Timur dan Asia Tengah jika Uni Eropa tidak mau mencabut regulasi EUDR. Kelima, dari sisi hukum, Pemerintah Indonesia perlu untuk segera merampungkan regulasi mengenai penyelesaian legalitas kebun sawit domestik agar nantinya tidak ada lagi perkebunan kelapa sawit yang diklaim sepihak sehingga percepatan sertifikasi sustainability sawit dapat dilakukan.
Pakar Hukum Bisis dan Perdagangan Internasional, Prof. Dr. Ariawan Gunadi mengatakan sebagai negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia, implementasi EUDR dapat menghambat perdagangan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya bahkan berpotensi memicu kerugian sebesar USD7 miliar atau Rp107 triliun terhadap neraca perdagangan internasional Indonesia.
"Ini membebani produsen kelapa sawit, dan merugikan petani kecil dari rantai pasokan," ujar Ariawan Gunadi, Senin (11/9/2023).
Selain itu, adanya persyaratan uji tuntas (due diligence) deforestasi dalam semua supply chain perdagangan internasional Uni Eropa secara inheren menciptakan sistem penolokukuran (benchmarking) yang bersifat diskriminatif bagi negara-negara eksportir kelapa sawit karena mempersulit akses market penetration ke pasar Uni Eropa, membebani produsen kelapa sawit, dan merugikan petani kecil dari rantai pasokan.
Menurut dia regulasi EUDR ini juga tidak sejalan dengan prinsip dan kaidah aturan di World Trade Organization (WTO) karena merupakan bentuk hambatan non tarif (non tariff barrier) dan menggunakan standarisasi yang berbeda dari ketentuan standarisasi yang telah berlaku serta bertentangan dengan semangat kerja sama negara-negara dunia untuk mengatasi isu perubahan iklim baik dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs), Paris Agreement, maupun Conference of The Parties (COP).
"Seharusnya Uni Eropa menghargai upaya-upaya yang telah dilakukan negara-negara produsen eksportir komoditas dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya dengan melibatkan negara-negara produsen eksportir komoditas seperti Indonesia," kata alumni S3 Universitas Indonesia ini.
Karena besarnya potensi kerugian yang akan dihadapi oleh Indonesia imbas dari pemberlakuan EUDR, Ariawan yang juga guru besar Universitas Tarumanagara ini menyarakan pemerintah Indonesia melakukan sejumlah langkah, di antaranya Indonesia bersama dengan negara-negara eksportir lainnya dapat mengajukan keberatan secara resmi dan tertulis kepada Uni Eropa untuk membatalkan regulasi EUDR.
Pemerintah Indonesia perlu untuk melakukan penilaian kembali secara internal untuk memastikan bahwa produk-produk yang diekspor ke Uni Eropa telah sesuai dengan prinsip dan kaidah aturan di World Trade Organization (WTO). Selain itu, sebagai anggota G20, Pemerintah Indonesia dapat melakukan diplomasi kepada Uni Eropa untuk mencabut ketentuan wajib melakukan uji tuntas dalam EUDR karena bersifat diskriminasi dan mendesak WTO untuk memastikan tidak agar upaya-upaya delegitimasi yang bertentangan dengan perdagangan yang berkeadilan (fair trade).
Keempat, Pemerintah Indonesia juga harus mempersiapkan strategi diversifikasi pasar minyak sawit ke kawasan lain seperti Afrika, Eropa Timur dan Asia Tengah jika Uni Eropa tidak mau mencabut regulasi EUDR. Kelima, dari sisi hukum, Pemerintah Indonesia perlu untuk segera merampungkan regulasi mengenai penyelesaian legalitas kebun sawit domestik agar nantinya tidak ada lagi perkebunan kelapa sawit yang diklaim sepihak sehingga percepatan sertifikasi sustainability sawit dapat dilakukan.
(nng)
tulis komentar anda