Tensi Geopolitik Meninggi, Waspada Risiko Impor dan Subsidi Energi
Selasa, 30 April 2024 - 16:52 WIB
JAKARTA - Pemerintah perlu segera mengukur kemampuan fiskal menghadapi risiko akibat dinamika ekonomi yang tengah terjadi terutama berkaitan dengan meningkatnya tensi geopolitik saat ini. Salah satu faktor penting yang perlu menjadi perhatian Pemerintah Jokowi di akhir masa jabatannya serta bagi pemerintahan baru Prabowo-Gibran adalah tentang subsidi dan impor minyak dan gas bumi (migas).
"Tentu saja sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk memperhatikan beban subsidi energi. Saya pernah mengingatkan bahwa ada tiga indikator yang akan muncul dari situasi global saat ini," ungkap Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky, Selasa (30/4/2024).
Tiga indikator dimaksud, pertama adalah harga pangan, khususnya beras yang berpotensi naik dan saat ini mulai terjadi. Kedua adalah harga energi, dan ketiga adalah nilai tukar (kurs). ”Karena ada rencana Jepang juga untuk keluar dari suku bunga negatif. Dia ingin mereverse kebijakan yang sudah hampir dua dekade. Tiga faktor itu akan sangat berpengaruh terhadap kondisi di depan kurva saat ini di 2024,” terusnya.
Khusus berkaitan dengan energi, Yanuar menjelaskan, potensi kenaikan harga tidak hanya bersumber dari geopolitik akan tetapi juga dari perpolitikan di Amerika Serikat (AS). ”Setiap Amerika Serikat mau pemilihan umum, karena donatur terbesar politik di Amerika itu adalah oil and gas, itu biasanya harga minyak itu naik,” terangnya.
Kenaikan harga energi akan memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia sehingga perlu diantisipasi dengan baik. Sebab, pada satu sisi, Indonesia masih melakukan impor minyak dalam jumlah banyak baik minyak mentah maupun BBM.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini mengumumkan impor minyak Indonesia masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebab produksi nasional hanya sebanyak 600 ribu barel per hari sedangkan impornya mencapai 840 ribu barel per hari dengan rincian sebanyak 600 ribu barel dalam bentuk BBM dan 240 ribu barel adalah minyak mentah.
Selain faktor volume impor yang besar di tengah risiko kenaikan harga, pada saat yang sama, pemerintah masih harus memikirkan biaya subsidi khususnya subsidi BBM kepada masyarakat.
"Dengan segala situasi yang terjadi, pemerintahan baru nanti perlu menilai, sanggup atau tidak untuk terus memberikan belanja fiskalnya di tengah dunia yang lagi kayak begini. Kalau kemarin bisa memberikan berbagai subsidi, saat ini geopolitiknya semakin meruncing, semakin ke arah penyempitan-penyempitan ruang fiskal yang tertutup," ujar Yanuar.
"Tentu saja sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk memperhatikan beban subsidi energi. Saya pernah mengingatkan bahwa ada tiga indikator yang akan muncul dari situasi global saat ini," ungkap Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky, Selasa (30/4/2024).
Tiga indikator dimaksud, pertama adalah harga pangan, khususnya beras yang berpotensi naik dan saat ini mulai terjadi. Kedua adalah harga energi, dan ketiga adalah nilai tukar (kurs). ”Karena ada rencana Jepang juga untuk keluar dari suku bunga negatif. Dia ingin mereverse kebijakan yang sudah hampir dua dekade. Tiga faktor itu akan sangat berpengaruh terhadap kondisi di depan kurva saat ini di 2024,” terusnya.
Khusus berkaitan dengan energi, Yanuar menjelaskan, potensi kenaikan harga tidak hanya bersumber dari geopolitik akan tetapi juga dari perpolitikan di Amerika Serikat (AS). ”Setiap Amerika Serikat mau pemilihan umum, karena donatur terbesar politik di Amerika itu adalah oil and gas, itu biasanya harga minyak itu naik,” terangnya.
Kenaikan harga energi akan memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia sehingga perlu diantisipasi dengan baik. Sebab, pada satu sisi, Indonesia masih melakukan impor minyak dalam jumlah banyak baik minyak mentah maupun BBM.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini mengumumkan impor minyak Indonesia masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebab produksi nasional hanya sebanyak 600 ribu barel per hari sedangkan impornya mencapai 840 ribu barel per hari dengan rincian sebanyak 600 ribu barel dalam bentuk BBM dan 240 ribu barel adalah minyak mentah.
Selain faktor volume impor yang besar di tengah risiko kenaikan harga, pada saat yang sama, pemerintah masih harus memikirkan biaya subsidi khususnya subsidi BBM kepada masyarakat.
"Dengan segala situasi yang terjadi, pemerintahan baru nanti perlu menilai, sanggup atau tidak untuk terus memberikan belanja fiskalnya di tengah dunia yang lagi kayak begini. Kalau kemarin bisa memberikan berbagai subsidi, saat ini geopolitiknya semakin meruncing, semakin ke arah penyempitan-penyempitan ruang fiskal yang tertutup," ujar Yanuar.
Lihat Juga :
tulis komentar anda